Menjaga yang Tersisa dari Reruntuhan Pancoran

Redaksi Suara Mahasiswa · 8 April 2021
6 menit

*Nama orang-orang yang bersangkutan telah disamarkan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

“Aku tinggal di bawah, Kak, sekarang udah ancur. Rumah aku diancurin. Pas itu, aku lagi di dalem rumah dan (rumahku—red) diancurin di depan mata aku. Aku sendirian, aku marah, aku takut, Kak,” ucap seorang anak bernama Ara yang kehilangan rumah akibat tindakan penggusuran yang dilakukan ormas.

Kejadian ini terjadi di Pancoran, tepatnya Gang Buntu II. Awalnya Gang Buntu II merupakan lahan permukiman bagi para pengadu nasib. Kebanyakan dari penduduk Gang Buntu II berprofesi sebagai pemulung. Kehidupan mereka yang awalnya tentram, damai, dan tenang berubah dalam sekejap. Penggusuran paksa yang dilakukan oleh pihak PT. PTC membawa dampak besar bagi mereka. Mulai dari rumah-rumah warga yang dihancurkan di depan mata mereka sendiri, intimidasi dari preman yang membuat warga ketakutan, beko-beko besar yang berbahaya bagi anak-anak, hingga PAUD yang hampir rata dengan tanah—jika saja para warga dan anak-anak tidak menjaganya.

Pendudukan terhadap PAUD Milik Warga
Seorang ibu yang akrab disapa oleh warga sekitar dengan panggilan Mama Intan menceritakan kondisi PAUD atau tempat yang selama ini dijadikan tempat anak-anak Gang Buntu II Pancoran mendapatkan pendidikan prasekolah. Di sana, anak-anak biasanya menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain. Buku-buku dan bangku-bangku menyesaki seisi ruangan. Namun nahas, piranti yang biasa digunakan anak-anak mengasah kemampuan intelektualnya kini secara serampangan dirampas oleh orang-orang yang justru bertugas memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat.

“Dulu, di dalam itu (PAUD—red) banyak bangku anak sekolah TK—PAUD. Semenjak diambil sama Brimob sama orang PT itulah nggak tahu ke mana itu bangku-bangkunya,  buku-bukunya semua nggak ada,” ucap Mama Intan.

PAUD sempat diduduki oleh aparat dan ormas selama 8 bulan. Padahal, berdasarkan pengakuan ibu-ibu setempat masih terdapat anak-anak yang bersekolah di sana. Oknum-oknum itu menempatinya dengan alasan sebagai tempat berjaga polisi. Sementara mereka bersantai dan nongkrong di dalam PAUD, anak-anak yang seharusnya belajar di sana terpaksa pindah ke tempat seadanya; duduk di atas reruntuhan bangunan dengan alas spanduk-spanduk bekas. Namun, itu semua tak membuat semangat anak-anak redup, mereka tetap ceria dan bersemangat mewarnai gambar. Lalu, anak-anak menempel karya mereka di tembok-tembok pembatas yang dibangun PT. Pertamina. Dengan didudukinya bangunan tersebut oleh aparat, telah membuat anak-anak kehilangan ruang untuk tumbuh, bermain, dan belajar.

Mama Ilmi, salah satu warga Gang Buntu II, bercerita bahwa PAUD telah dijual oleh oknum yang sebenarnya tidak memiliki hak atas bangunan PAUD. PAUD awalnya dibangun oleh Kakak Madani (panggilan akrab warga sekitar terhadap pengelola PAUD) dan Sampoerna University dengan bantuan donatur. Beberapa sumber mengatakan bahwa PAUD juga merupakan hasil hibah Al Azhar. Warga pun turut andil dalam membuat PAUD tersebut. Dulu, sebelum PAUD dijual, perlengkapan sekolah, seperti seragam, alat tulis, dan buku-buku pelajaran disediakan gratis oleh mahasiswa-mahasiswa yang menjadi sukarelawan. Semenjak PAUD dipegang oleh warga (yang menjadi kepala sekolah), PAUD sudah tidak gratis lagi, karena dikenakan biaya.

“Dulu paling enak di sini, ada Kakak Madani. Ini sekolah gratis, belajar gratis. Ya namanya pemulung ya di sini, jadi ya kayak gini lah keadaannya. Banyak anak yang nggak mampu sekolah kan gara-gara orang tuanya pemulung, berapa sih emang pendapatannya,” ungkap Mama Ilmi.

Saat PAUD diambil alih, warga melakukan aksi di depan PAUD. Ibu-ibu dan anak-anak berada di barisan depan. Tidak ada tindakan kekerasan yang dilakukan, hanya terjadi perang mulut antara warga dengan pihak aparat.

“Aku ikut. Ini pintu, aku gedor-gedor. Kan aku dobrak kenceng banget, terus sama PP-nya (Pemuda Pancasila, ormas yang disinyalir mengintimidasi warga—red) gini, “Ngapain kamu, dek? Jangan kayak gitu!”. Aku dibelain sama yang lain, “Jangan beraninya sama anak kecil”. Nah, terus disuruh masuk sama yang lain, “Ayo adek-adek, masuk-masuk pada menggambar”, ya udah pada menggambar, biar PP-nya pada keluar (dari bangunan PAUD—red),” cerita Keira, salah satu anak yang ikut dalam aksi tersebut. Awalnya Keira takut, tetapi ia lebih merasa kesal karena tempat dia belajar mau diambil alih oleh “mereka” yang menghancurkan rumahnya.

Pasti ada rasa khawatir terhadap aparat, maupun kelompok-kelompok tertentu yang melakukan perampasan hingga pengerusakan aset-aset pribadi maupun kolektif, selalu membayangi hidup warga Pancoran Gang Buntu II. Rasa aman menjadi kebutuhan yang sangat mahal bagi ibu-ibu dan anak-anak di wilayah ini. Kehadiran mahasiswa dan masyarakat yang mendukung perjuangan mereka di lingkungan ini memberikan angin segar, ibu-ibu dan anak-anak merasa sangat terbantu dengan hadirnya mereka.

“Sekarang ini kalau bisa tuh pada di sana—PAUD—semua biar penuh lagi, biar rame lagi. Soalnya itu kalo misalkan sepi, nggak ada orang, bakal diambil lagi,” pinta Mama Intan.

Banyaknya orang yang mendukung perjuangan dalam mempertahankan tempat tinggal mereka, warga yakin hal tersebut dapat meredam tindakan semena-mena yang dilakukan oleh aparat maupun preman, yang bisa kapan saja merampas bahkan menyerang mereka. Mama Intan sendiri meyakini hal itu, bahwa ancaman bisa datang kapan saja dan selalu mencari titik lengah dari warga.

Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terkait perjuangan yang dilakukan warga tampaknya sudah mereka perkirakan sebelumnya, termasuk hambatan yang akan menghadangnya. Pola-pola  yang dilakukan oleh oknum yang ingin mengosongkan lahan, tampaknya telah dapat dibaca oleh warga. Pengalaman yang selama ini mereka alami secara tidak langsung telah mengajarkan mereka perihal antisipasi dini terhadap kemungkinan yang akan terjadi.

“Sekarang ini banyak mahasiswa, dia (oknum—red) ngancem pasti bikin isu apa supaya kita itu bubar, supaya mahasiswa ini pada pecah, itu pasti banyak caranya dia,” ujar Mama Intan, yang terlihat sudah hafal pola-pola penggembosan perjuangan warga.

Ketika adanya penyerangan oleh ormas kepada mereka, ibu-ibu tidak begitu saja absen dalam memperjuangkan tanah tempat tinggalnya. Saat terdengar akan ada penggusuran rumah, ibu-ibu selalu menjaga kawasan yang akan digempur. Mereka bahu membahu membentuk barikade pertahanan, sebagai bentuk perlawanan terhadap ganasnya beko yang dapat menyerang rumah-rumah mereka dengan serampangan. “Kita mah jaga-jaga dan nungguin, kita ini bikin pagar,” ujar Mama Intan.

Ibu-Ibu sebagai “Barisan Terdepan” dalam Menghadang Kerusuhan
Saat bentrok yang terjadi antara warga dan preman pada Rabu (17/3) lalu, ibu-ibu turut berjuang di garda terdepan. Ibu-ibu meyakini tokoh sentral yang berambisi merampas lahan warga ini takut dengan hadirnya mereka di barisan depan. Bahkan, Mama Ilmi mengatakan pernah pada suatu waktu, ada seseorang yang dianggap menginisiasi penggusuran datang ke lokasi warga. Tetapi ketika dihadang oleh ibu-ibu, orang tersebut justru sembunyi di dalam PAUD. “Kalau ada ibu-ibu berontak, dia langsung tutup pintu di PAUD, nggak berani keluar,” jelas Mama Ilmi sembari tertawa.

Penyerangan preman kepada warga yang berlangsung pada tanggal 17 Maret lalu tidak luput dari peran para ibu.  Ibu-ibu menempati barisan terdepan, tetapi ketika keadaan semakin runyam dan tidak terkontrol, posisi terdepan pun digantikan oleh para mahasiswa dan bapak-bapak. Terlebih, banyak ibu-ibu yang kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk berjuang di garis terdepan.

“Saya udah takut ini, kaki udah lemes, kepala udah pada bocor, kaki udah pada kena batu,” cerita Mama Ilmi. Selain itu, beliau juga mencemaskan keadaan anak-anaknya di rumah, oleh karena itu Mama Ilmi memutuskan untuk memprioritaskan keselamatan keluarganya. Kekhawatiran terhadap penyerangan ormas yang semakin masif kian menghantui Mama Ilmi, terlebih di rumahnya anak-anak tidak ada yang menjaga.

Penyerangan Permukiman dan Trauma dan Menghantui Anak-anak
Selain Mama Ilmi, ada anak-anak yang terkena gas air mata akibat penyerangan tersebut. Pukul 12 malam, waktu yang seharusnya digunakan sebagai jam istirahat berubah menjadi jam-jam genting, Kiera dan keluarganya menjadi saksi dari parahnya kejadian malam itu. Saat kejadian tersebut, ia bersama keluarganya sedang bergegas mengungsi, dan saat melewati posko utama, ia terkena serangan gas air mata yang dilemparkan polisi ke arah permukiman warga.

Kiera menjabarkan peristiwa yang ia lihat, “Kan lagi tidur-tidur nih, bapak-bapak lagi pada ngejaga, di tenda biru itu. Nah mahasiswa pada bilang, “Bapak-bapak ayo tolong, tolong” digituin. Nah langsung deh pada keluar. Aku dibangunin, semua dibangunin. Terus pada langsung maju tuh bawa helm, bawa ketapel, bawa pentungan, bawa batu, bawa kelereng, banyak. Kalau mereka (pihak penyerang—red) pake bom molotov, make api. Polisi ngasih (meleparkan—red) gas air mata, terus langsung pada lari. Itu polisi beneran, cuma dibayar. Bapak aku juga kena, tapi sekarang udah nggak pa-pa, cuma nyengat aja sama perih,” ujar Keira menceritakan kejadian pada 17 Maret 2021 silam.

Rasa cemas, takut, dan gelisah pasti mereka rasakan akibat intimidasi-intimidasi yang kerap dilakukan oleh aparat yang seharusnya menjaga dan mengayomi masyarakatnya. Bagaimana tidak takut? Anak-anak terbiasa melihat oknum polisi dan brimob berjalan menggunakan seragam lengkap di lingkungan mereka. Tak lupa, mereka menenteng senjata laras panjang saat “berpatroli” di sana, dengan dalih ingin “mengamankan” warga dari preman-preman.

Saat mereka sedang patroli, pihak-pihak dari PT. PTC juga datang. Mereka berkeliling sambil memfoto-foto keadaan rumah-rumah di sana dan memvideokan keadaan sekitar. Mama Intan mengatakan, “Ya kan, itu kita dikelilingin terus. Dari siang sampe sore itu yang mengatasnamakan PTC keliling, moto-moto, videoin. Ntar abis dipoto-poto, kita digempur,”

Bagaimana dengan psikis anak-anak yang harus melihat ini semua? Anak-anak menjadi ketakutan melihat polisi berseragam lengkap dengan senjatanya yang berbahaya, takut melihat intimidasi yang dilakukan terhadap keluarganya, menangis karena teman-temannya perlahan berkurang karena pindah dari sana, sedih melihat PAUD mereka yang hampir dihancurkan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab trauma yang dirasakan anak-anak.

Kendati begitu, sinar harapan masih ada di mata anak-anak ini. Mereka masih memimpikan masa depan yang lebih baik. Ada beragam jawaban menarik yang kami dapatkan saat bertanya mengenai cita-cita pada anak-anak yang sedang bermain. Beberapa ingin menjadi masinis, beberapa yang ingin mejadi mahasiswa, beberapa yang ingin menjadi TNI, beberapa yang ingin menjadi marshaller.

Salah satu anak tiba-tiba menyeletuk, “Aku mau jadi PP. Nggak mau jadi polisi,” ucap Aiman. Lalu, ada temannya membalas, “Yang ada kebalik, Man. Jangan mau jadi Polisi sama PP. Kalau polisi (yang melakukan penggusuran-Red) mah, duitnya haram. Biasanya itu dibayar. Kayak itu aja, yang orang PP, kan dibayar,” sahut Gilang sambil tertawa.


Teks: Rifki Wahyudi, Magdalena Natasya, Humairah Nur Ramadilah
Foto: Almas Satria B., Mikail Arya J.M.
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!