Logo Suma

Menjawab Stereotip Antisosial terhadap Penggemar Jejepangan

Redaksi Suara Mahasiswa · 15 Februari 2022
5 menit

Jepang dikenal dengan berbagai budayanya yang sudah mendunia, seperti anime dan manga. Anime sendiri diartikan sebagai animasi dari Jepang yang diproduksi dengan teknik gambar tangan atau memanfaatkan teknologi komputer. Sementara manga adalah komik atau novel grafik yang dibuat di Jepang atau menggunakan bahasa Jepang yang pembuatannya disesuaikan dengan gaya yang dikembangkan di Jepang pada abad ke-19. Seiring berjalannya waktu, perkembangan anime dan manga Jepang pun tidak bisa dielakkan. Popularitas anime dapat dilihat dari banyaknya penggemar anime dan manga, yang disebut sebagai Otaku. Julukan Otaku mulai muncul di Jepang sekitar tahun 1980-an yang dianggap sebagai subkultur geek dengan berbagai stigma buruknya. Dikutip dari Japanese Subculture in the 1990s: Otaku and the Amataeur Manga Movement yang ditulis oleh Sharon Kinsella, para Otaku dikarakterisasikan sebagai seorang antisosial atau orang yang tidak aktif dalam kehidupan sosial.

Di samping Otaku, istilah lain yang juga cukup familiar didengar adalah istilah Wibu. Wibu sering kali diasosiasikan dengan setiap orang yang menonton anime, membaca manga, atau sekadar menyukai budaya-budaya Jepang. Nyatanya, istilah Wibu, yang berasal dari kata Weeaboo memiliki makna yang berbeda dengan Otaku. Istilah ini sejatinya digunakan secara beriringan dengan istilah Wapanese atau wannabe Japanese, yaitu orang yang bukan berasal dari Jepang, tetapi bertindak atau berusaha terlihat seperti orang Jepang. Stereotip yang muncul sejak adanya istilah Otaku dan Wibu pun masih berlanjut hingga saat ini. Antisosial, freak, culun, dan aneh merupakan beberapa stereotip yang sering dilontarkan terhadap para penggemar anime, pembaca manga, dan penyuka budaya Jepang. Bahkan, istilah Wibu sendiri sudah seperti menjadi adjektiva baru yang mencerminkan berbagai stereotip tersebut. Bagi sebagian orang, stereotip ini mungkin hanya candaan semata. Namun, bagaimana pandangan dari mereka yang sering kali dilekatkan dengan stereotip ini?

Suara dari Mereka yang Tersteriotip: “Apa Bedanya Kami dari Orang-Orang yang Terobsesi Budaya Barat?”
D (nama disamarkan) dan J (nama disamarkan) sama-sama mengidentifikasi diri sebagai penggemar anime dan manga. Selain menyukai anime dan manga, keduanya juga mengaku tertarik dengan kebudayaan Jepang seperti bahasa, makanan, dan gaya hidupnya. Satu hal yang membedakan keduanya: D adalah pribadi yang cenderung aktif secara sosial, sedangkan J cenderung tidak aktif secara sosial.

Wibu, menurut D dan J, merupakan panggilan bagi seseorang yang terobsesi terhadap budaya Jepang. J sendiri mengaku tidak nyaman dengan panggilan Wibu yang ditujukan kepadanya, sebab, Ia merasa bahwa kini panggilan tersebut sudah melenceng dari makna aslinya. Menurutnya, panggilan Wibu tidak seharusnya ditujukan kepada seseorang yang hanya menyukai anime atau manga tanpa adanya obsesi lebih lanjut. Sementara itu, D merasa tidak bermasalah dengan panggilan Wibu selama panggilan tersebut berasal dari teman dekatnya dan dimaksudkan sebagai guyonan belaka.

Berbicara tentang stereotip negatif, D dan J menyadari adanya stereotip negatif yang melekat kepada para penggemar anime dan manga. “Banyak orang awam yang menyebut penggemar anime sebagai seseorang yang ‘sakit’ karena menyukai karakter yang tidak nyata, padahal hal tersebut sejatinya sama saja dengan hobi lainnya (seperti menyukai serial barat),” ucap D, “jika Wibu adalah sebutan orang yang terobsesi dengan Jepang dan dipandang dengan stereotip negatif, bagaimana orang yang terobsesi dengan budaya barat dan lainnya, apakah itu bisa dibilang ‘Wibu’ dengan versi mereka sendiri dan tidak mengandung stereotip negatif?” lanjutnya.

D dan J sama-sama tidak mengetahui pasti penyebab di balik berbagai stereotip negatif yang melekat kepada penggemar anime dan manga. Akan tetapi, mereka memiliki pendapatnya masing-masing terkait hal tersebut. “Banyak karakter di anime yang berpenampilan culun, tetapi memiliki kekuatan luar biasa. Barang kali, karena hal tersebut, banyak penggemar anime yang menjadikannya sebagai acuan untuk menjalani kehidupannya, dan ‘culun’ menjadi memiliki makna yang keren bagi penggemar anime,” terang J. Lebih lanjut, J juga mengemukakan bahwa stereotip tersebut tidak terlepas dari dunia anime dan manga yang lekat dengan budaya menghabiskan waktu di depan komputer, yakni untuk menonton anime atau membaca manga, sehingga kemampuannya untuk bersosialisasi menjadi kurang memadai.

Berbeda dengan J, D berpendapat bahwa stereotip tersebut adalah wujud miskonsepsi masyarakat terhadap para penggemar anime dan manga, “Mereka bukan antisosial, culun, aneh, dan sebagainya, mereka hanya tidak merasa sejalan dengan orang di sekitarnya. Hal tersebut normal-normal saja, tetapi orang selalu mengecap mereka dengan stigma negatif.” Meskipun begitu, D tidak memungkiri bahwa memang terdapat beberapa penggemar anime dan manga yang bersikap berlebihan sehingga menimbulkan atau bahkan memvalidasi berbagai stereotip yang ada. “Tapi mungkin ada beberapa penggemar animanga yang memang ansos, mungkin karena pemikirannya belum matang jadinya merasa seperti karakter di animanga,” jelas D, “dan mungkin ada beberapa penggemar animanga yang ansos karena diperlakukan tidak enak (seperti -red) dicap aneh atau sebagainya oleh sekitarnya,” timpalnya.

Penjelasan Psikolog Mengenai Stereotip Terhadap ‘Wibu’
Dilekatkan dengan stereotip negatif tentu merupakan hal yang tidak menyenangkan, terlebih jika hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya. Menurut Psikolog Klinis Klinik Satelit UI, Qaishum Matsuroh, M.Psi., manusia memang cenderung senang memaknai sesuatu, khususnya hal-hal asing yang baru ditemui. Jika dikaitkan dengan anime dan manga, masyarakat yang tidak biasa dengan budaya para penggemar anime dan manga tentu saja akan merasa asing dengan keduanya. Dipicu oleh hal ini, kemudian muncul berbagai stereotip yang diberikan terhadap para penggemar anime yang belum tentu sesuai dengan kondisi sebenarnya. “Kalau mau dibilang wajar ya wajar, karena kita berusaha memaknai sesuatu, tapi kalau ngomong tepat atau nggak, jelas gak tepat karena kita jatohnya mengembangkan stigma atau stereotip tertentu sama orang padahal kita belum tau jelas apa yang dia hadapi atau apa yang membuat mereka melakukan tingkah laku itu,” terang Qaishum.

Lebih lanjut, Qaishum juga menjelaskan bahwa memang terdapat keterkaitan antara kegemaran seseorang dengan minat atau kemampuan sosialnya. Menurutnya, dalam konteks anime dan manga, terdapat kemungkinan seseorang yang menggemari anime dan manga menjadi terlalu terpaku pada kegemarannya tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada kurang cakapnya kemampuan bersosialisasi penggemar tersebut dengan hal-hal di luar kegemarannya itu. “Ada karakteristik tertentu biasanya yang suka anime terlalu terabsorbsi sama anime, mungkin mereka ngomongin anime mulu karena hal tersebut memberikan emotional comfort. Tapi kadang karena terlalu terabsorbsi mereka jadi kurang bisa luwes bersosialisasi sama hal-hal yang di luar anime,” pungkas Qaishum, “ini kasusnya kalo mereka terlalu mengurung diri atau membatasi lingkungan pergaulannya sebatas anime aja karena ada orang yang spend time buat anime banyak, tapi mereka masih bisa manage sosialisasi sama orang yang nggak nonton anime,” lengkapnya.

Waktunya Menyudahi Stigma dan Membuka Perspektif Baru
Sifat seseorang, baik sifat negatif maupun positif, adalah hasil dari kumpulan pengalaman pribadi seseorang dalam sebuah proses yang kompleks. Oleh karena itu, sifat-sifat yang sering dilekatkan kepada penggemar anime dan manga seperti culun, aneh, antisosial, dsb. dapat saja berasal dari pengalaman pribadi, bukan karena sekadar menyukai anime atau manga. Selain itu, walaupun tidak sepenuhnya salah bahwa terdapat dampak negatif yang dapat timbul karena kegemaran berlebihan terhadap anime dan manga, anime dan manga juga memiliki berbagai dampak positif selayaknya hobi-hobi lainnya, seperti memicu semangat dalam beraktivitas, menambah relasi pertemanan, dan menjadi wadah eksplorasi diri.

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa stereotip terhadap penggemar anime dan manga tersebut memiliki kemungkinan menghadirkan dampak psikologis yang tidak diinginkan. “Kita akan ngerasa aman kalau kita bisa diterima sama lingkungannya. Bayangkan kalo punya minat yang mungkin gak semua orang suka, otomatis bakal lebih sulit cari kesamaan dan bisa berteman sama orang. Saat di situasi seperti itu yang ada mendapatkan label negatif yang membuat mereka merasa terasingkan sehingga kebutuhan mereka diterima lingkungannya tidak terpenuhi,” tutup Qaishum.

Pada akhirnya, semua yang berkaitan dengan stereotip terhadap penggemar anime dan manga adalah tentang bagaimana kita memandang dan menyikapi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan stereotip terhadap penggemar anime dan manga adalah dengan mengubah cara pandang dan sikap sebagaimana diucapkan oleh D dalam kalimat penutupnya, “Untuk masyarakat awam, mungkin sudah waktunya ubah stigma dan stereotip negatif. Jangan hanya melihat anime dan manga melalui sisi negatif saja karena hal lain pun memiliki sisi negatifnya masing-masing, semua tergantung bagaimana cara memandang dan menyikapinya.”

Referensi

  1. Lacuesta, Jacob. (2020). The Weeaboo Subculture: Identification and Performance. 10.13140/RG.2.2.32604.21125.
  2. Ito, Mizuko. Okabe, Daisuke. Tsuji, Izumi. (2021). Fandom Unbound: Otaku Culture in a Connected World. Yale University Press.
  3. Gardiner, Rowan Elizabeth Arbuthnott. (2019). ‘Weeaboo Japanese’: Exploring English-Japanese Language-Mixing in Online Japanese Popular Culture Fandom. Massey University.Gravett, P. (2010). Manga: Sixty Years of Japanese Comics. Laurence King.

Teks: Izza Maulana Rizqi, Vanya Annisa
Ilustrasi: Amalia Ananda
Editor: Ninda Maghfira

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas