Menwa dan Jejak Militerisme di Kampus

Redaksi Suara Mahasiswa · 6 November 2021
4 menit

Kematian Gilang Endi Saputra saat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Dasar Resimen Mahasiswa (Diklatsar Menwa) di kampusnya tidak bisa serta-merta kita sebut tragedi. Kematiannya di tangan para begundal berseragam yang kebetulan memegang kartu mahasiswa itu lebih pantas disebut pembunuhan sebagai akibat tindak kekerasan mematikan.

Tidak melebih-lebihkan, sebab hasil visum et repertum telah menegaskan bahwa kematian Gilang disebabkan pukulan benda tumpul yang fatal hingga mengakibatkan mahasiswa D-4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja itu meninggal lemas. Tetapi apalah arti pukulan benda tumpul di tangan para pembunuh berkedok mahasiswa yang, barangkali, menyebut pukulan itu hanya sebagai “bentuk kedisiplinan” dan “melatih kekuatan fisik”.

Satu hal yang pasti: kematian Gilang sebagai bukti nomor kesekian yang semakin lama semakin mementahkan argumentasi nasionalis naif yang menempatkan resimen mahasiswa sebagai bagian dari unsur “pertahanan rakyat semesta”, tetapi tutup mata terhadap fakta bahwa organisasi intrakampus itu telah menjadi simpul yang mengekalkan budaya kekerasan di lingkungan menara gading. Menyebut kematian itu sebagai  “tragedi”, jelas bukan cara yang tepat untuk menghormati mendiang, keluarganya, sekaligus rentetan korban lain yang menjadi saksi betapa beracunnya habitus kedisiplinan bersalut kekerasan maskulin yang dipelihara dalam organisasi paramiliter itu.

Dekat dengan Politik
Jejak sejarah Resimen Mahasiswa (Menwa) dapat dilacak pada sejarah Kodam Siliwangi di akhir dasawarsa 1950-an, persisnya ketika pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat mulai mengalami kemunduran. Kala itu, Menwa dibentuk sebagai langkah antisipasi seandainya situasi darurat terjadi di Indonesia. mengingat organisasi ini menjadi bagian dari Sistem Keamanan dan Pertahanan Rakyat Semesta.

Memasuki tahun-tahun berikutnya, ketika Presiden Sukarno menggerakkan rakyat dalam Tri Komando Rakjat untuk merebut Irian Barat, mahasiswa yang tergabung dalam Menwa berperan dan ikut serta diterjunkan ke pedalaman. Demikian pula saat Presiden Sukarno menggagas pengerahan 21 juta sukarelawan ke Kalimantan Utara dalam Dwi Komando Rakjat, mahasiswa pun tidak ketinggalan berpartisipasi memanggul senjata di garis depan. Puncaknya, Menwa tampil sebagai garda depan para demonstran yang bersama-sama TNI Angkatan Darat menggulingkan Presiden Sukarno pada 1966-1967.

Melihat latar belakangnya, tidak diragukan bahwa Menwa sudah sangat politis karena dibentuk sesuai kebutuhan politik tentara di era kepemimpinan Presiden Sukarno. Karena kedekatan itu pula, Menwa masih mendapat hak istimewa menggunakan fasilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pelatihannya, kendati sudah tidak lagi menjadi bagian TNI sejak 2003.

Dalam pelatihannya, Menwa memiliki beberapa kemiripan dengan pelatihan militer. Menwa sendiri dikenal dengan latihan fisik yang keras: menuntut anggotanya memiliki fisik yang tangguh. Berangkat dari alasan pembentukannya, peran TNI dalam pelatihan Menwa tidak terelakkan. “Soalnya memang secara sukarela meminta pendampingan karena memang ada hubungan dekat antara Menwa dengan TNI. Jadi, bukan diawasi seperti dimata-matai, ya,” ujar Salvatore Guilliano Tristan Christiansen, FISIP UI 2016, mantan anggota Menwa UI.

Rumor Penganiayaan
Menwa sebagai organisasi intrakampus yang mengklaim dirinya termasuk “unsur pertahanan negara” dan “komando cadangan” dalam pertahanan rakyat semesta, hadir di berbagai kampus, termasuk di Universitas Indonesia (UI). Dengan kontroversi yang sarat menyelubunginya, Menwa UI pun tidak luput dari isu kekerasan, di mana pada tahun 2019 silam sempat beredar desas-desus penggunaan kekerasan oleh seorang anggota Menwa kepada mahasiswa baru. Rumor yang beredar bahkan diarahkan hingga penganiayaan mahasiswa baru oleh seorang anggota Menwa saat pembagian jaket kuning. Dalam kesempatan ini, Suara Mahasiswa berkesempatan untuk berbincang bersama anggota Menwa yang diduga pelaku.

“Kebenarannya, tuh, diprintil-printil [dipotong-potong―red]. Jadi ceritanya, waktu pembagian jakun, kita secara fisik ada di parkiran Balairung, ya. Waktu itu hari ke-3 pengambilan jakun. Ketika itu, kami (panitia pembagian jakun) baru datang sekitar jam 6, tetapi ada mahasiswa ambis, sumpah nggak ngerti kenapa, sudah datang dari jam 4. Mereka yang datang jam 4 ini jatah pembagian jakunnya memang terakhir, akhirnya percuma mereka datang jam 4.

Karena merasa tidak adil, mereka-mereka ini istilahnya berontak, mereka nggak mau diatur, maju-maju sendiri. Sampai akhirnya, ada dua mahasiswi perempuan, satu berjilbab dan satu tidak, sebagai identifikasi buat gua jelasin nanti, berhadapan sama gua. Mereka, tuh, nyolot sampai benar-benar di depan gua, sampai nggak ada jarak. Gua arahin mereka buat mundur. Gua teriakin mereka pakai toa [megafon―red] gua.

Akhirnya, [mahasiswi] yang berjilbab, karena gua teriakin, mau nangis. Temannya yang satu lagi, nggak terima temannya nangis. Dia maju dan mau tampar gua. Gua refleks, karena ada program bela diri ya di Menwa, loncat ke belakang sambil nendang. Karena posisi mahasiswi yang mau tampar gua ini membelakangi barisan mahasiswa lain, jadi mahasiswa lain hanya bisa lihat kalau gua mau tendang mahasiswi ini tanpa ngelihat kalau mahasiswi ini mau tampar gua. Tendangan gua nggak kena, tamparan dia nggak kena. Sehabis itu kami dipanggil ke Dirmawa. Setelah klarifikasi, orang di Dirmawa sendiri bilang kalau itu salah dua-duanya,” jelas Budi (bukan nama sebenarnya).

Masih Relevan?
Eksistensi Resimen Mahasiswa sebagai organisasi paramiliter intrakampus sejatinya telah lama dipertanyakan dan semakin diragukan relevansinya, terlebih sejak kematian Gilang Endi Saputra menambah senarai panjang korban kekerasan kampus atas nama kedisiplinan. Pengamat militer dan konflik ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, Made Supriatma, secara tegas menyatakan bahwa Menwa merupakan salah satu langkah menginfiltrasi pengaruh militer ke lingkungan menara gading. “Menwa adalah militerisasi kampus dalam bentuk yang paling telanjang,” tegasnya saat dihubungi Suara Mahasiswa.

Lebih lanjut, menurut Made, keberadaan Menwa sebagai organisasi intrakampus memiliki kedudukan berlainan dengan perkumpulan seperti Himpunan Mahasiswa Islam atau Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Pula, Menwa berbeda dengan Reserve Office Training Corps di Amerika Serikat, di mana perwira-perwira militer dikirim untuk belajar ilmu-ilmu nonmiliter ke universitas, tetapi tidak mengadakan kegiatan bergaya kemiliteran di kampusnya. “Mereka [ROTC] cukup sadar diri bahwa kampus adalah lembaga sipil. Tidak seperti Menwa yang punya markas dan pos khusus serta bertindak seperti militer dalam kampus,” imbuh Made pula.

Made tidak mengingkari bahwa selain sebagai organisasi yang menekankan kedisiplinan fisik, Menwa juga menjadi patron pembentuk budaya kekerasan dalam kampus, yang seringkali dipadukan dengan machoisme dan etos kejantanan. “Jika ini digabungkan dalam kultur perpeloncoan, akibatnya sangat fatal, karena bisa menjadi mesin pembunuh,” jelas Made. “Kaum militer biasa melihat siapa musuh dan menaklukkannya. Kalau militer di dalam kampus, musuhnya siapa?” gugatnya pula.

Karenanya, relevansi Menwa dalam kedudukannya sebagai bagian pertahanan rakyat semesta pun patut diragukan. “Saya tidak melihat relevansi Menwa baik sekarang maupun dahulu. Kita melihat bahwa dunia mahasiswa dan dunia militer itu tidak berhubung satu sama lain. Saya kira, lembaga Menwa ini sebaiknya dihapus saja.” (*)


Penulis: Chris Wibisana, Mohammad Qhisyam R., Fitri Hasanah
Foto: Wikimedia Commons
Editor: Syifa Nadia


Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!