Logo Suma

Menyambangi Pesantren Waria di Yogyakarta

Redaksi Suara Mahasiswa · 9 Maret 2022
5 menit

Siang itu terik. Peluh kami berjatuhan bersama semangat kami yang meluap lantaran tak kuasa menahan rasa antusias yang begitu tinggi. Kami berjalan sejauh satu kilometer menuju satu perkampungan padat nan jauh. Di sebuah gang yang sempit itulah kami menjumpai sebuah bangunan berarsitektur Jawa kuno yang tak kami sangka ternyata merupakan tempat yang kami cari: Pesantren Al-Fattah. Tak ada palang yang gamblang secara jelas tertera di depan bangunan tersebut. Kami langsung memasukinya dan dari koridor bangunan tersebut sayup-sayup terdengar cengkerama asyik dari ruangan sebelah, yang setelah kami sambangi ternyata merupakan pendopo tempat para santriwati berkumpul.

Yang menarik di sini adalah, santriwati tersebut tidak seperti santriwati biasanya. Beberapa di antara mereka memang berkerudung dan memakai riasan lengkap, tetapi suara mereka berat dan pundaknya bidang. Kami disambut dengan hangat oleh kira-kira lima belas santriwati yang seluruhnya merupakan transpuan. Tak sulit bagi kami untuk menyimpulkan betapa hangatnya ruangan kecil yang tak banyak diisi perabot pada pendopo itu. Hangat, aman, dan nyaman – mungkin itu juga deskripsi yang digambarkan oleh para transpuan di sana.

“Kami mendapat jaminan keamanan untuk melakukan ibadah (di sini -red),” demikian ujar Bu Sinta, selaku Ketua Pesantren Al-Fattah.


Pernyataannya tak jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh Jamilah, seorang transpuan berusia sekitar lima puluhan ini telah mengalami masa-masa pahit dalam hidupnya yang ditandai dengan beberapa momen kurangnya rasa penerimaan dari orang-orang terdekatnya, tersandung-sandung demi mencari pekerjaan, dan tersesat dalam mencari arah hidup. Tak hanya sampai di situ, sebagai transpuan, ia juga dialienasi dari kegiataan keagamaan yang hingga saat ini masih dinilai eksklusif dan sarat akan nilai heteronormativitas.

Di tengah kebingungan Jamilah, ia mendengar kabar dari sesama kawan transpuan yang juga merupakan pengamen yang biasa mangkal di lampu merah Yogyakarta, mengenai kabar telah didirikannya pesantren khusus transpuan yang terletak di Kotagede, Yogyakarta ini. Bak gayung bersambut, Jamilah lantas bergabung. Di tempat inilah ia kemudian menemukan kawan-kawan yang senasib sepenanggungan. Banyak hal yang berubah dari dirinya. Mempelajari agama membuat ia memperoleh lebih banyak kontrol diri dan pedoman hidup yang dapat menjadi sandarannya.

“Yang saya bilang tadi bahwasanya memang di ruang publik itu waria tidak nyaman untuk beribadah karena membuat ketidaknyamanan kemudian, kami ingin memperjuangkan hak untuk beribadah,” jelas Bu Sinta, mewakili keresahan dari sesama santriwati transpuan. Alasan ini juga yang melatarbelakangi didirikannya pesantren ini, “kita juga tidak membayangkan bahwa ada orang-orang yang menolak, tetapi kita maju terus. Artinya kita sama-sama punya hak sebagai manusia untuk beribadah.”

Tatapan Bu Sinta menerawang sejenak, ia tampak mencoba mengingat sesuatu, sebelum akhirnya menceritakan peristiwa yang tak mungkin dilupakan seisi pesantren tersebut: sebuah peristiwa penggerudukan oleh Front Jihad Islam Yogyakarta pada 2016 lalu. Segerombolan orang datang dan memaksa untuk membubarkan pesantren tersebut. Pula, mereka meminta para santriwati untuk bertobat dan kembali menjadi laki-laki. Seisi pesantren merasa dilanda teror dan ketakutan hingga mereka memutuskan untuk menghentikan kegiatan pesantren dalam kurun waktu empat bulan. Bu Sinta lantas melanjutkan, “Pernah mereka berusaha untuk menutup ataupun melarang beribadah. Nah itu kita baru sadar bahwa ternyata di luar sana ada orang tidak menginginkan waria itu, (mereka menyuruh kita -red) untuk beribadah sebelum bertobat dulu menjadi seorang laki-laki. Nah inilah yg kemudian kita advokasikan.”

Dalam pondok pesantren tersebut, prinsip paling fundamental yang dipegang bersama adalah: identitas dan ekspresi gender individual tak mengurangi hak mereka atas kebertuhanan. Dalam kegiatan beribadah, ustadz di pesantren tersebut tidak pernah mempermasalahkan syariah dan tata cara beribadah para santriwati. Mereka diberikan kebebasan untuk memilih hendak beribadah dengan identitas gender yang paling membuat mereka nyaman. Entah sebagai perempuan dengan mukena mereka, ataupun sebagai laki-laki lengkap dengan sarung dan pecinya.

Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh kelompok transpuan adalah minimnya sumber penghasilan. Di pondok pesantren tersebut, mayoritas santriwati berprofesi sebagai pengamen jalanan. Sementara, beberapa yang lain, merupakan eks-pekerja seks yang sudah berhenti sejak masuk ke pesantren. Menurut laporan Komnas HAM, bentuk paling umum atas diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas adalah kurangnya lapangan pekerjaan bagi mereka. Konsep gender biner yang mengakar dan terkonstruksi dalam masyarakat berperan besar dalam membentuk stigma terhadap kelompok ini, yang mempengaruhi proses perekrutan sehingga kelompok ini kehilangan akses atas kesempatan pekerjaan sedari awal. Rini, misalnya, terpaksa untuk mengubah tampilannya untuk menjadi sesuai seperti jenis kelamin asalnya—laki-laki demi mempertahankan aksesnya atas penghasilan yang layak.

Akan tetapi, hal ini dipatahkan oleh Ayu, seorang ketua dari sebuah perkumpulan waria se-Indonesia, yang mendobrak heteronormativitas dalam lingkungan ekonomi. Seperti namanya, penampilannya ayu dan luwes – dengan gayanya yang santai, ia bercerita bagaimana ia mengatasi minimnya kesempatan bekerja kepada kaum transpuan. Wirausaha menjadi bidang yang ditekuninya selama bertahun-tahun belakangan. Setelah masuk ke komunitas, ia menyelenggarakan pelatihan softskill dalam bidang memasak untuk memberdayakan sesama transpuan. Di tengah keterbatasannya, ia tidak hanya berusaha untuk mengembangkan dirinya sendiri, tetapi juga berupaya untuk mengembangkan para transpuan di sekitarnya.

Demikian pula respons yang beragam muncul dari lingkungan sekitar mereka. Di ujung jalan yang terletak tak jauh dari pendopo nan unik ini, terdapat beberapa masyarakat yang melihat bagaimana sisi positif yang didapatkan, mereka mendukung, menyuarakan bahkan memberikan ruang untuk mengekspresikan hak dan kebebasannya.

"Ya nggak apa-apa tho, Mbak. Asalkan nggak ganggu warga sekitar, nggak masalah," ucap Rahmi, seorang warga yang tinggal tak jauh dari Pondok Pesantren Al-Fattah.

Meskipun demikian, kami juga menemui beberapa pendapat dari warga sekitar yang tidak terlalu menyetujui keberadaan pondok pesantren ini. Salah satu warga, dengan ekspresi yang menunjukkan ketidaksetujuannya, berujar, "Waria itu kan belum dilegalkan di Indonesia, tho?"

Namun, dukungan atas nama kemanusiaan terus bergulir kepada mereka. Meskipun menerima diskriminasi dari berbagai pihak, mereka terus berdiri berdampingan dengan beberapa lembaga yang bersedia mengobarkan api perjuangan bersama-sama. Lembaga-lembaga nonprofit, hukum, keagamaan, dan bahkan dukungan langsung dari Kanjeng Ratu Hemas, istri dari Sri Sultan Hamengkubuwono X – telah berada di genggaman mereka. Namun, apakah ini cukup?

Nampaknya tidak. Jaminan keamanan bagi para transpuan dan minoritas gender tidak pernah disebut secara tertulis dalam regulasi mana pun. Dalam kasus ini, advokasi untuk memperjuangkan hak kaum minoritas gender selalu terbentur oleh penolakan dari berbagai kelompok masyarakat, meskipun HAM seharusnya adalah hak bagi setiap manusia. Pasal 5 ayat 3 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, "Setiap orang yang termasuk kelompok yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya."

Sekilas, tidak ada yang bermasalah dari pasal tersebut. Kendati demikian, penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat—tidak ada penyebutan kelompok minoritas gender dalam penjelasan tersebut. Diskriminasi atas nama identitas gender hanya menjadi bayang-bayang, tidak pernah dianggap nyata, apalagi dipertanggungjawabkan di hadapan hukum yang ‘katanya’ harus suci dari narasi impunitas.

Lebih dari itu, Tuhan semestinya tidak sama seperti hukum ciptaan manusia yang kurang akomodatif terhadap kebutuhan setiap pihak secara inklusif. Tuhan, dan rumah ibadahnya, adalah ruang aman bagi semua makhluk yang ia ciptakan.

Teks: Syifa Nadia, Sri Muliati, Nabilah Putri
Kontributor: Bowo A., Ryan F., Qawiyyul A., Anna Putri, Diponegoro, Rinda Aulia, Anjas
Foto: Tempo.co
Editor: Dian Amalia Ariani

Pers Suara Mahasiswa UI
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi:

Fadhli, Y. (2014). Kedudukan Kelompok Minoritas Dalam Perspektif Ham Dan Perlindungan Hukumnya Di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 11(2), 352–370. https://doi.org/10.31078/jk