Judul Film: The Edge of Seventeen
Sutradara: Kelly Femon Craig
Produser: Julie Ansell, James L. Brooks, Richard Sakai
Genre: Drama, Komedi
Tanggal Rilis: 18 November 2016
Durasi: 104 menit
Pemain: Hailee Steinfeld, Woody Harrelson, Kyra Sedgwick
Setiap tahapan kehidupan memang memiliki persoalannya masing-masing, tetapi masa remaja merupakan salah satu tahapan yang memiliki kekhasan sendiri untuk dikenang. Sekolah, pertemanan, percintaan, kesenangan; semua itu pasti dilalui oleh hampir setiap orang saat remaja. Untuk itu, bagi sebagian orang kehidupan remaja memang merupakan tahapan kehidupan yang paling indah. Namun, tidak dengan Nadine (Hailee Steinfeld). Baginya, masa remaja adalah neraka yang ingin cepat ia lalui. Permasalahan percintaan, keluarga, persahabatan, kepercayaan diri, sampai krisis eksistensial; The Edge of Seventeen berhasil mengangkat Nadine sebagai seorang tokoh dengan segudang permasalahan kehidupan dengan cara yang apik. Hal itu dapat dilihat dari penghargaan yang berhasil diraih The Edge of Seventeen seperti Best Comedy dalam Critics Choice Awards, Best First Film dalam AFCA Awards, dan nominasi Best Performance by an Actress in a Motion Picture – Musical or Comedy dalam Golden Globes Awards.
Remaja dan Segudang Persoalannya
“There are two types of people in the world: The people who naturally excel at life, and the people who hope all those people die in a big explosion.”
Begitulah kata Nadine, yang termasuk orang dengan tipe kedua. Ia adalah seorang drama queen yang antisosial, sinis, dan emosional yang sedang duduk di bangku SMA. Sifat-sifat yang dimilikinya tersebut menjadi alasan di balik fakta bahwa hanya ada beberapa orang yang benar-benar dekat dengannya, yaitu ayahnya dan Krista. Ayahnya selalu bersikap bijaksana dan memperlakukannya dengan baik sementara Krista—sahabatnya—merupakan satu-satunya teman sekaligus sahabat paling pengertian yang Nadine miliki. Di samping itu, Nadine juga memiliki orang kepercayaan yang selalu ia jadikan teman curhat: Mr. Brunner, guru sejarah di sekolahnya.
Nadine selalu hidup di dalam gelembung kasat mata yang dibuatnya. Ia hampir tidak memiliki teman karena selalu memandang buruk setiap orang yang tidak sesuai dengan ideologinya. Meskipun begitu, ia tidak peduli. Hidup di antara orang-orang dan nilai yang sesuai dengan pandangannya sudah lebih dari cukup. Sayangnya, hidup Nadine berubah 180 derajat setelah ayahnya meninggal mendadak saat sedang berbincang dengannya di dalam mobil. Di samping itu, persoalan hidupnya bertambah sejak ia mendapati kenyataan bahwa Krista ternyata berpacaran dengan Darian, kakaknya yang selalu ia pandang sinis. Ia merasa dikhianati, pertemanannya berakhir dan Nadine membencinya. Tidak cukup sampai di sana, persoalan-persoalan lainnya—seperti ibunya yang ia rasa hampir tidak pernah memihaknya—juga menambah kompleksitas kehidupan Nadine yang membuatnya frustrasi dan bertanya-tanya tentang kehidupan, sampai membawanya ke dalam krisis eksistensial.
Bukan Sekadar Drama Melankolis Remaja
The Edge of Seventeen memang merupakan film bergenre drama remaja yang biasanya identik dengan cerita tokoh utama dan segala permasalahan-permasalahan klise remaja. Namun, film ini berhasil mengangkat permasalahan kehidupan remaja dengan dalam dan serius. Nadine bukan sekadar remaja yang menghadapi permasalahan cinta bertepuk sebelah tangan, berselisih dengan sahabatnya, dan sebagainya. Permasalahan yang ia hadapi lebih dari itu. Hal tersebut ditunjukkan dengan adegan-adegan di mana Nadine bersikap meledak-ledak ketika berhadapan dengan argumen yang tidak sesuai dengannya. Meskipun begitu, sutradara tidak membiarkan penonton untuk menilai Nadine sebagai remaja problematis saja. Terdapat penjelasan dari berbagai kejadian buruk yang logis sehingga pada akhirnya membentuk Nadine menjadi seperti itu. Penonton juga dibuat untuk memahami karakter Nadine melalui sifatnya yang skeptis, merasa paling otentik dan banyak bicara, tetapi sebenarnya ia hanyalah remaja kesepian yang penuh dengan ketidakpercayaan diri dan rasa frustrasi—yang sangat mungkin dirasakan juga oleh sebagian besar remaja di kehidupan nyata. Film ini berhasil menyampaikan pesan bahwa menjadi seorang remaja itu bukanlah suatu hal yang mudah ketika seseorang sedang berhadapan dengan segudang permasalahan dalam dirinya.
Selain tokoh utama, pemain-pemain lain dalam film ini juga berhasil memerankan karakter-karakternya dengan porsi yang pas secara realistis dan tidak berlebihan. Chemistry antar karakter satu dengan lainnya juga berhasil dibangun dengan apik. Para pemain juga dimunculkan dengan nilai dan pesan moral yang mereka bawa masing-masing. Di samping itu, kostum yang ditunjukkan juga terlihat sesuai dengan usia dan karakter yang dibawakan.
Meskipun membawa pesan yang mendalam terkait peliknya kehidupan seorang remaja, film ini dikemas dengan cara yang fresh dan dibaluti komedi tanpa menghilangkan pesan yang berusaha disampaikan. Penonton akan memahami film ini tanpa harus tertekan dengan sajian cerita yang terlalu berat. Kelebihan lain pada film ini terletak pada dialog-dialognya yang to the point dan realistis khas remaja yang mudah dipahami oleh penonton.
Meskipun demikian, film ini bukan film yang terlalu mengutamakan estetikanya. Hal tersebut dapat dilihat dari sinematografinya yang terlihat tidak terlalu diutamakan. Film ini juga kurang tepat bagi pencinta film yang mengekspektasikan film yang akan membuat mereka berpikir keras dengan ending tak terduga, plot twist, dan hal serupa. Kekurangan lain dalam film ini juga terdapat pada Erwin, karakter yang terlihat hanya dibangun berdasarkan stereotip orang kulit putih terhadap orang Asia-Amerika, yaitu sebagai seorang laki-laki baik, canggung, dan memiliki orang tua yang strict.
Kesimpulan
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, The Edge of Seventeen tetap berhasil menjadi film yang sangat layak untuk ditonton. Film ini merupakan film yang tepat untuk ditonton oleh semua kalangan yang sudah melalui masa remaja. Sebelum menonton The Edge of Seventeen, penulis berekspektasi bahwa film ini hanyalah satu di antara sejumlah drama remaja yang ringan dan klise, tetapi ternyata tidak demikian. Film ini akan membawa kembali penonton ke kehidupan remaja yang sebenarnya tidak mudah untuk dilewati, memahami peliknya tenggelam dalam krisis eksistensial, dan memberikan pesan moral bahwa semua itu hanya serangkaian kejadian kehidupan yang pasti berlalu.
“Everyone is as miserable as I am, they’re just better at pretending.”
Teks: Radite Rahmadiana
Editor: Dimas Rama S. W.
Foto: Istimewa
Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!