Merakit Ulang, Sehimpun Puisi

Redaksi Suara Mahasiswa · 13 Januari 2022
2 menit

Di ujung pinggiran aspal yang runyam itu, masihkah kau temui aku. Aku yang setia menceritakan hal-hal lucu dan kerap memancing geliat tawamu. Hingga ku jumpai lubang kecil di pipimu kembang kempis diselingi amukan tanganmu di bahuku. Ku dengar suaramu yang merengek sebal bercampur kesal ketika mendengar leluconanku. Di saat itu pula aku memperhatikanmu dengan saksama. Kau tak ubahnya bocah kecil menggemaskan dan mengundang siapa saja tuk menyolek pipi itu, tak terkecuali aku yang sedang di hadapanmu.

Ah, kau selalu saja begitu. Kau selalu memintaku bercerita. Namun ketika kau tertidur pulas, kau lupa, ada beberapa frasa yang kuselipkan di sela rambut dan telingamu sebelum akhirnya kau menutup mata. Tentang lamunan-lamunan malam, cita-cita, dan pelbagai inginku pada malam agar ia tak cepat pulang. Aku bergulat pada teka-teki retoris, sesak, dan buntu berjejalan dengan gamang yang menghadang.Hanya siratan makna dalam celoteh ini kelak kau bakal tahu, tentang arti dari kayu yang lebih memilih menjadi asap daripada terus membakar diri.

Masih ingatkah kau, pukul dua belas lebih tiga puluh, kereta melaju dengan sorot lampu dan bel yang berseloroh ria menerjang gaduh suara angin dan pepohonan yang sedang bercengkrama. Kita pun masih bertanya-tanya, tentang bahasa hewan juga tumbuhan. Kau pikir kita tak ubahnya dengan mereka. Dua insan yang saling butuh, meski sekadar menyaksikan alam yang sedang bekerja. Mencipta, saling mengingat, dan merawatnya. Tentang kau yang berlari bersama anak-anak sore itu, memasak pisang cokelat dengan lapis luar yang sedikit gosong. Namun ketika kau tanya perihal cita rasa, aku menjawabnya dengan kata, “Sudah pas dan enak”. Demi Tuhan, aku tak mengada-ada jawabku sore itu.

Gurat wajahmu memanggilku lagi. Pesan-pesan di ruang obrolan yang tertinggal di gawai, abadi. Ku biarkan jadi potret usang yang berharga tanpa terbebani angka usia. Sesaat ketika rindu membuncah, aku putuskan tuk membacanya ulang. Kau begitu piawai dalam meninggalkan yang sudah lalu, jejakmu begitu mudah aku rakit ulang dalam fantasiku. Bekas obrolan dan segala memoar tentangmu adalah arsip sejarah, yang sejauh ini menjadi fakta primadona. Berbait-bait tersimpan rapi dalam lorong kedap suara. Kapanpun jika Tuhan mengizinkan, aku senantiasa siap tuk mengkaji atau sekadar menulisnya ulang. Entah, apa yang membuatmu sebegitu rupanya dalam diriku. Aku masih saja tak habis pikir.

Jika dalam tidurmu kau jumpai suara-suara yang memanggil namamu dengan nada sedikit lebih serius. Percayalah, itu aku. Aku dengan segala kesungguhanku tengah mengeja namamu. Nama yang ku eluh-eluhkan pada malam ketika sebagian mata terpejam. Aku panjatkan dengan harap-harap cemas. Aku tak cukup lihai dalam meminta, tapi kali ini tak ada salahnya jika perkara kau, sosok yang terlampau paripurna ku pasrahkan bagaimana baiknya pada Sang Pencipta. Agar kelak jika kau lebih dulu menemukan suakamu, aku dapat lebih akrab dan sanggup berdamai pada jawaban doaku di malam itu.

Penulis: Rifki Wahyudi
Foto: Istimewa
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!