Merdeka Bersuara, Narasi TV Selenggarakan Debat RKUHP di FH UI

Redaksi Suara Mahasiswa · 11 Agustus 2022
3 menit

Upaya rekodefikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional sebenarnya sudah digagas sejak puluhan tahun silam. Tepatnya, saat digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963. Kendati dirasa perlu pembaharuan, pembahasan di DPR yang bergulir sejak tahun 2018  mengundang banyak protes dari masyarakat sipil karena sejumlah pasal dianggap bermasalah.

Detik-detik menuju penyempurnaan dan pengesahan RKUHP sebagai kado kemerdekaan Indonesia ke-77, Narasi TV melalui programnya “Mata Najwa on Stage” menjembatani pembahasan pasal-pasal bermasalah RKUHP, khususnya terkait aspek kebebasan berpendapat dan berekspresi. Diselenggarakan di Auditorium Djokosoetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada Rabu (10/08), acara ini merupakan wadah diskusi yang dibungkus dalam konsep duel debat antara Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej dan Ahli Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar. Kedua alumni UGM ini sebelumnya sudah berdebat melalui tulisannya di media Kompas. Mengusung tema “Debat RKUHP: Merdeka Bersuara”, kedua guru besar Fakultas Hukum UGM ini diminta beradu argumen mengenai pasal-pasal kontroversial terkait kemerdekaan bersuara tersebut.

Kendati digaungkan sebagai menjadi kado kemerdekaan Indonesia, namun bagi sejumlah masyarakat sipil RKUHP ini justru dikhawatirkan mengancam kemerdekaan masyarakat Indonesia dalam aspek kebebasan berpendapat. “Malam ini, Mata Najwa judulnya ‘Merdeka Bersuara’, dan kita akan fokus pada pasal RKUHP yang dikhawatirkan dan sebagian orang sudah bilang terindikasi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ujar Najwa Shihab membuka acara.

Acara Mata Najwa on Stage dihadiri oleh beberapa kalangan dengan Mahasiswa UI sebagai mayoritas peserta. Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) turut hadir dan menyampaikan pendapatnya terkait pentingnya kebebasan bersuara. “[Kebebasan bersuara] amat sangat krusial, karena dalam konteks negara hukum dan demokrasi, kebebasan sipil jadi satu indikator. Kalau itu hilang, kita akan kembali menjadi negara otoriter yang tidak menyisahkan ruang apapun bagi masyarakat” ujarnya.

Pembahasan panjang terkait RKUHP pertama kali dibahas pada tahun 1963. Kemudian pada tahun 2018 disahkan 786 pasal yang didalamnya termasuk pasal terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Walaupun pada tahun 2019 RKUHP tersebut batal disahkan, tetapi draf RKUHP 2022 masih mencantumkan sejumlah pasal kontroversial yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat. Dalam Mata Najwa on Stage ini, pasal 218 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 351 dan 352 tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara Pusat, dan Pasal 240 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah merupakan tiga pasal yang dibahas secara spesifik dalam debat kali ini.

Melalui debat ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy O.S Hiariej teguh mengatakan bahwa pasal penghinaan Presiden ini diperlukan untuk melindungi objek hukum yang istimewa seperti Presiden. Hal ini juga diperlukan untuk melindungi martabat suatu negara. Dalam upaya agar tidak terjadi penyalahgunaan, menurutnya definisi penghinaan dalam hukum sudah cukup jelas.


“Di negara lain, seseorang bisa dikenakan pasal penghinaan Presiden. Ibaratnya, masa kita dilarang menghujat orang tua lain, tapi boleh menghujat orang tua sendiri,” terang Eddy.

Kendati demikian, Zainal Arifin Mochtar sebagai pihak yang berdiri di posisi kontra terhadap pasal kontroversial RKUHP menguraikan argumennya dari prinsip equality before the law. Sebagai Ahli Tata Hukum Negara, menurutnya dalam negara demokrasi dengan sistem presidensial, Presiden bukan simbol negara yang memerlukan pengkhususan dalam pasal penghinaan seperti negara monarki. Menurutnya, penggunaan pasal penghinaan ini tidak proporsional serta rentan disalahgunakan untuk melindungi penguasa, karena menurutnya penegak hukum sering sulit menjaga independensinya jika berhadapan dengan kekuasaan.

“Kita memakai beberapa cermin sebelumnya, UU ITE dan sebagainya… penafsir ini punya kecenderungan karena dia sudah menjadi alat negara, pada faktanya seberapa jauh independensi aparat hukum di hadapan kepentingan negaranya,” keluh Zainal.

Meskipun demikian, Eddy terus mengatakan bahwa pasal ini diperlukan dan menyamakannya dengan kebutuhan terhadap pasal makar atau pasal pembunuhan Presiden. Namun, Zainal tetap mempertahankan pendiriannya dengan mengatakan bahwa konteks pasal ini berbeda dengan pasal pembunuhan Presiden karena dianggap hanya menyangkut harga diri Presiden, tidak seperti makar atau pembunuhan Presiden yang secara langsung dapat mengancam keberlangsungan suatu negara.

Dalam pernyataan terakhirnya, Zainal juga menawarkan menggeser beberapa pasal kontroversial tersebut menjadi hukum perdata, alih-alih pidana dengan sanksi yang dianggap tidak proporsional. Zainal juga menyampaikan bahwa KUHP menjadi begitu penting karena bersifat sangat sakral, serta memiliki kekuatan hukum yang dapat menghilangkan nyawa seseorang. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memberi masukan dan bertarung untuk memperjuangkan nilai-nilai kebebasan berekspresi sebelum bisa dengan mudah dikriminalisasi. “Teman-teman mahasiswa di sini harus bertarung sebaik-baiknya untuk memperjuangkan nilai-nilai terakhir yang kita punya, yaitu kebebasan berekspresi. Kalau (kebebasan berekspresi) dirampas juga oleh negara, apalagi yang kita punyai?” tuntasnya.

Sementara itu, bagi Eddy Hiariej sebagai pihak yang berdiri mendukung pasal kontroversial RKUHP menyatakan bahwa pemerintah amat sangat siap mendengar aspirasi masyarakat untuk membahas ulang setiap pasal-pasal yang dianggap bermasalah agar meaningful participation terwujudkan.

Menutup acara ini, Najwa Shihab turut menyuarakan permasalahan terkait dikekangnya kebebasan bersuara. “Merdeka bersuara, hanya bila kita tidak harus mengecilkan suara ketika justru yang dibutuhkan adalah teriakan. Seperti itu rasanya kado yang kita nantikan di kemerdekaan negeri ini yang ke-77,” tutupnya.

Teks: Evangelyn Easter dan M. Zhillan
Editor: Dian Amalia Ariani

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, Berkualitas!