Miskonsepsi Seks dengan Persetujuan

Redaksi Suara Mahasiswa · 1 Oktober 2020
4 menit

By Ilyas Husein

Pada 13 September 2020 lalu, terunggah sebuah kiriman di Instagram yang berjudul “Kupas Tuntas Pakta Integritas UI dan Pendidikan Sex dengan Persetujuan” yang di dalamnya memuat kritik yang disampaikan oleh akun @almuzzammil.yusuf. Hal ini belakangan menjadi perbincangan hangat dan menjadi isu yang sangat seksi sekali, dibuktikan dengan diangkatnya peristiwa ini oleh beberapa media besar: Tempo, Kompas, Tirto.id, VOA Indonesia, dan sebagainya.


Saya yang notabenenya seorang mahasiswa Universitas Indonesia tentunya tidak mau ketinggalan info mengenai Pakta Integritas yang di dalamnya memuat poin-poin kontroversial yang dikatakan mengekang kebebasan HAM yang dimiliki oleh kami. Posisi saya senada dengan ungkapan Fajar Adi Nugroho selaku Ketua BEM UI, “Ini menjadi pertanyaan, sebenarnya tujuan Pakta Integritas ini untuk apa. Apakah untuk penguatan komitmen atau pengekangan lebih lanjut karena melihat mahasiswa sebagai ancaman?”
Saya mengapresiasi tindakan yang dilakukan oleh Dr. Almuzzammil Yusuf, M.Si, video unggahannya yang berdurasi 3 menit 14 detik sangatlah informatif dan apa yang diharapkannya pada poin-poin kontroversial dalam Pakta Integritas UI yaitu “semoga tidak terjadi pada universitas lain” memang selaras dengan keinginan masyarakat banyak. Namun, ada hal yang membuat saya skeptis dari opininya yakni pernyataan bahwa pendidikan consensual sex (seks dengan persetujuan) yang diadakan pada acara Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) dianggap mengedukasikan atau dalam titik ekstremnya menghasut pada tindakan free sex (seks bebas).


Beliau mengatakan bahwasanya pendidikan seks dengan persetujuan ialah bentuk pendidikan yang berbau budaya barat, yang bertentangan nilai-nilai kemajemukan budaya kita, dan tidak tepat untuk diajarkan di Universitas mana pun. Lebih lanjutnya, ia membawakan beberapa produk hukum untuk menguatkan argumennya, di antaranya: UUD 1945 Pasal 31, UU SISDIKNAS 20/2003 BAB X Pasal 36:3, dan UU SISDIKNAS 20/2003 BAB III Pasal 4.


Bak gayung bersambut, argumen yang dimiliki oleh Dr. Almuzammil diamini oleh Rita Hendrawati selaku Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA), ia berpendapat bahwasanya pemahaman akan consent sama saja dengan membuka ruang bagi seks bebas serta mengabaikan perkara legalitas hubungan. “Bukti-bukti empiris menunjukan banyaknya kejahatan terkait seksualitas dimulai dari hubungan yang tidak legal dan menyimpang,” tuturnya melalui rilis pers di situs AILA.
Rasa penasaran saya menggelitik dan ini jadi semakin tidak tertahankan, benarkah apa yang diungkapkan oleh mereka benar adanya? Benarkah pendidikan seks dengan persetujuan secara khusus dan pendidikan seks pada umumnya mengajarkan kita untuk melakukan tindakan seks bebas?


Sexual Consent = Free Sex [?]
Sexual consent adalah persetujuan yang jelas untuk melakukan kegiatan seksual. Segala bentuk aktivitas seks membutuhkan persetujuan antara kedua belah pihak, bahkan jika itu pasangan kita. Kegiatan seksual yang dilakukan tanpa kata sepakat dari salah satu pihak termasuk ke dalam kategori kekerasan seksual. Artinya, kegiatan seks tidak boleh dilakukan berdasarkan paksaan dari salah satu pihak. Lebih lanjutnya itu adalah ketiadaan manipulasi, ancaman, dan paksaan untuk berhubungan badan, atau upaya menghilangkan kesadaran satu pihak.


Senada hasil wawancara Tirto.id pada 21 September 2020 dengan Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, ia berpendapat bahwasanya aktivitas seksual dengan persetujuan berbeda dengan seks bebas (sebagaimana yang diutarakan oleh Dr. Almuzzammil). “Melalui sexual consent, diharapkan laki-laki dan perempuan bisa saling menghormati tubuh, harkat, dan martabat masing-masing. Aktivitas seksual tanpa persetujuan adalah pemerkosaan.”


Saya menyadari adanya kesalahan berpikir di sini, apabila kegiatan seksual yang disetujui oleh mereka ialah hanya yang diakui secara sah di mata hukum, apakah itu sertamerta menjamin kebebasan dari kekerasan seksual? Di mata saya legalisasi hubungan hanyalah sebuah pengakuan hukum dari negara terkait status pasangan, status ini bukanlah dan tidak pernah menjadi bukti bahwasanya kebebasan seksual tiap-tiap orang di dalamnya terjamin. Legalisasi dan persetujuan mesti dipahami berada di koridor yang berbeda.


Logika Dr. Almuzammil dan Rita Hendrawati yang mengatakan bahwa pendidikan seks dengan persetujuan dengan dalih tidak sesuai dengan budaya bangsa ini tidak tepat dan saya nilai cukup membahayakan. Bahkan pada titik ekstremnya malah bisa menjadi alat normalisasi dari tindak kekerasan seksual yang dilakukan dalam naungan pasangan sah berdasarkan hukum. Mengutip Asumsi.co, menurut "Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan," disusun oleh Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan Indonesia justru paling jamak terjadi di lingkungan keluarga: dari 14.719 yang dilaporkan sepanjang 2019, 75% di antaranya dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), perkawinan (suami), serta kekerabatan lainnya.


Salah satu penyebab tingginya angka kekerasan seksual adalah kurangnya pemahaman masyarakat terkait pentingnya pendidikan seksual. Pada kasus keluarga, orang tua menganggap topik mengenai seksualitas merupakan topik yang tabu.

Kenyataannya, jauh bahkan sebelum usia normal memasuki jenjang universitas (17-20 tahun) yakni pada usia di bawah 6 tahun anak-anak sudah mampu memahami pendidikan seksual, karena pada usia ini terjadi perkembangan fisik, motorik, intelektual, bahasa, emosi maupun moral yang berada pada proses penyempurnaan sehingga wawasan dan sikap mereka terkait seks masih mudah dibentuk (Listyana, 2012).


Tembok itu Bernama Kekolotan dan Kepentingan Politik
Tujuan utama pendidikan seks adalah sebagai upaya pencegahan pelecehan maupun kekerasan seks terhadap anak di bidang pendidikan dengan membantu anak dapat terampil dalam mengidentifikasi situasi-situasi berbahaya sehingga dapat mencegah terjadinya pelecehan seks, serta mengajarkan pada anak bentuk-bentuk sentuhan yang tidak baik, bagaimana cara menolak atau mengakhiri interaksi dengan pelaku atau orang yang mencurigakan, serta bagaimana meminta pertolongan jika berada di situasi membahayakan (Finkelhor, 2008).


Sejak awal video itu beredar dan diskursus tentang seks dengan persetujuan kembali menghangat saya sudah menaruh kecurigaan bahwasanya peristiwa ini adalah rangkaian dari agenda yang lebih besar di belakangnya. Kegiatan cherry picking yang termuat di video maupun pers rilis yang dilakukan dengan memenggal beberapa produk hukum lazimnya memang digunakan untuk memanipulasi keadaan yang sebenarnya.


Hukum dewasa ini secara praktik memang digunakan sebagai alat untuk menyalurkan kehendak para pemegang kekuasaan (seperti UU ITE) namun saya tegaskan kembali hakikat darinya ialah alat pembentuk keamanan dan peniadaan ancaman bersama, begitu pula hakikat dari budaya. Di mata saya, tubuh adalah sebuah instrumen yang tak terikat pada konsep Timur maupun Barat, darah kita masih sama-sama berwarna merah bukan? Hal yang benar haruslah tetap ditegakkan sebagai kebenaran.


Lagi, upaya menerapkan pendidikan seks di Indonesia yang bertujuan mencegah kekerasan seksual terjadi dibenturkan ke tembok bernama kekolotan (yang dibalut nama kebudayaan) dan kepentingan politis. Dalam hubungan seksual yang tidak didasari dengan persetujuan, negara harusnya hadir untuk memberikan perlindungan kepada korban dan bukannya mengintervensi sesuatu yang didasari dengan persetujuan.


Oh, mengapa saya menuliskan kepentingan politis juga sebagai tembok penghambat usaha pencegahan kekerasan seksual itu? Dengan realita dan sirine yang tak hentinya disuarakan masyarakat bahwasanya negara ini darurat kekerasan seksual, mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) terus-menerus ditunda dan enggan untuk disahkan? Lalu mengapa memilih untuk memprioritaskan bahkan merepotkan diri dengan membayar para influencer untuk mengambil hati masyarakat guna menyetujui RUU Cipta Lapangan Kerja yang drafnya tidak lebih dari sekadar simulasi neraka bagi para pekerja? Silakan jawab pertanyaan saya.


Teks: Ilyas Husein
Ilustrasi: Freepik
Editor: Rifki Wahyudi

Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, dan Berkualitas