Morat-Marit Persoalan Toleransi di Kota Depok

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 Mei 2022
10 menit

Depok, yang tepat sebulan lalu diperingati hari jadi ke-23-nya, telah beberapa kali ditempatkan sebagai kota paling rendah toleransi dalam sebuah survei berskala nasional. Apa yang membuat Depok meraih predikat rendah toleransi?

Fani (nama disamarkan) telah tinggal di Kota Depok sejak lahir. Sebetulnya, tidak banyak tindak intoleransi yang ia jumpai selama dua dekade lebih bermukim di Depok. Namun, ada sebuah peristiwa yang menurutnya cukup mengganjal.

Waktu itu, Fani tengah melanjutkan pendidikannya di salah satu sekolah menengah negeri atas unggulan di Kota Depok. Selama bersekolah, Fani merasakan adanya sentimen negatif terhadap murid-murid perempuan beragama Islam yang tidak menggunakan jilbab.

“Dulu sih, pas aku sekolah ya, itu hampir semuanya pake jilbab yang muslim. Di sekolah aku itu ada tendensi sentimen kalau yang perempuan (muslim—red) nggak pake jilbab gitu. Karena beneran disindir, beneran kayak banyak omongan-omongan ga enak kalo kamu perempuan di sekolahku dan kamu gak pake jilbab,” jelas Fani ketika diwawancarai oleh tim redaksi.

Fani merasa bahwa sentimen negatif itu pada akhirnya mendorong murid-murid perempuan di sekolahnya untuk menggunakan jilbab akibat keterpaksaan. Menurutnya, hal ini mengindikasikan perilaku rendah toleransi dan patut dipertanyakan. Apalagi, Fani menduga bahwa hal ini secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pemerintah kota Depok.

“Dan itu tuh pengaruhnya, kenapa aku nyangkut-pautin ke gerakan yang diinisiasi pemerintah, karena emang (sekolah aku—red) salah satu sekolah yang dipredikatkan nomor satu di Depok, terus emang pemerintah put concern gitu. Jadi sering secara langsung atau tidak langsung (pemerintah–red) turun tangan gitu. Jadinya sekolah aku kayak ter-influence aja gitu (oleh pemerintah—red),” tutur Fani.

Belakangan ini, Kota Depok memang ramai dengan kontroversi mengenai kebijakan diskriminatif oleh pemerintah kota yang menunjukkan tendensi negatif terhadap minoritas. Misalnya Walikota Depok pernah menginstruksikan penyegelan masjid Al Hidayah yang disebut sebagai tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah. Tindakan diskriminatif ini kemudian dilegitimasi melalui instrumen hukum dengan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah. Selain itu, warna religius di Depok juga sangat didominasi Islam, terlihat dari banyaknya ruang publik hingga sektor perumahan Islami. Kebijakan yang mendorong segregasi diskriminatif juga disahkan melalui Rancangan Perda Kota Religius Kedua Perda ini dinilai rendah toleransi dan berpotensi mendiskriminasi golongan minoritas masyarakat Depok.

Tindakan-tindakan pemkot Depok tersebut menjadi beberapa faktor yang menyebabkan Kota Depok memperoleh predikat kota rendah toleransi. Mengapa, bagaimana, dan sejak kapan kota Depok memberlakukan kebijakan intoleran terhadap masyarakatnya?

Di Balik Pemberian Predikat Kota Intoleran
Bahasan Kota Depok dan intoleransi mulai naik kembali ke permukaan setelah survei Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 dipublikasikan oleh SETARA Institute–lembaga swadaya masyarakat yang melakukan riset dan advokasi dalam bidang demokrasi, kebebasan berpolitik, dan hak asasi manusia. Survei IKT ini adalah bagian dari ajang pemantauan terhadap kinerja kota maupun walikota yang dilakukan oleh SETARA Institute. Survei ini dipublikasikan pada 30 Maret 2022 dan menjadi terbitan kelima sejak tahun 2015.

Hasil ringkasan eksekutif IKT 2021 menunjukkan bahwa Kota Depok masuk ke dalam jajaran 10 kota dengan tingkat toleransi terendah. Sebetulnya, hal ini bukan pertama kalinya terjadi. Kota Depok telah masuk dalam jajaran ini sejak terbitan pertama IKT pada tahun 2015. Waktu itu, Depok mendapatkan urutan ke-91 dari 94 kota. Setelahnya, Kota Depok sempat naik peringkat dan menjadi urutan ke-89 dari 94 kota pada tahun 2018, namun peringkat Kota Depok kembali turun menjadi urutan ke-94 pada tahun 2021. Hal ini sekaligus menempatkan Kota Depok sebagai kota paling rendah toleransi dari 94 kota yang disurvei.

Penempatan Kota Depok di urutan terakhir ini dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan dan proses yang dilakukan. “Mulai dari pengumpulan data, baik data-data yang kita kumpulkan dari dokumen resmi pemerintah kota seperti RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah -red), berbagai produk hukum, dokumen perencanaan pembangunan, hingga berbagai informasi lainnya yang kita yang dapatkan dari media-media yang kredibel,” ungkap Ikhsan Yosarie, peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute.

Selain itu, SETARA juga membagikan kuesioner untuk pemerintah daerah setempat. Kuesioner ini berupa self-assessment yang berarti pemerintah menilai dirinya sendiri. Pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner merupakan turunan dari empat variabel dengan delapan indikator yang digunakan. Variabel dan indikator tersebut, yaitu regulasi pemerintah kota dengan indikator rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD, produk hukum pendukung lainnya, dan kebijakan diskriminatif; tindakan pemerintah dengan indikator pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan tindakan nyata terkait peristiwa; regulasi sosial dengan indikator peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi; dan demografi agama dengan indikator heterogenitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan.

Survei menempatkan Kota Depok di urutan terakhir karena perolehan skor yang diterima oleh Kota Depok dari berbagai indikator yang ditetapkan lebih rendah dibandingkan kota-kota lainnya. Menurut Ikhsan, penilaian ini salah satunya dapat terlihat secara langsung melalui berbagai produk hukum dan tindakan yang tidak mempromosikan toleransi. Salah satu contoh produk hukum yang diikuti dengan tindakan yang tidak mempromosikan toleransi dapat dilihat pada kasus penyegelan Masjid Al-Hidayah milik Jemaat Ahmadiyah.

Kasus penyegelan Masjid Al-Hidayah milik Jemaat Ahmadiyah terjadi pada 22 Oktober 2021. Namun, kasus ini bukanlah kasus penyegelan semata. Di baliknya, terdapat produk hukum yang melandasi terjadinya tindak penyegelan. Produk hukum pertama adalah SKB 3 Menteri 2008 yang melarang Jemaat Ahmadiyah menyebarluaskan pahamnya terhadap warga negara yang sudah memiliki keyakinan. Lalu, produk hukum lainnya adalah Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat dan Peraturan Walikota (Perwal) Kota Depok Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Depok. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Depok memiliki produk hukum dan melakukan tindakan intoleransi yang didukung juga oleh kelompok tertentu sehingga dampaknya menjadi lebih kompleks.

Selain larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah, produk hukum Depok lainnya yang memiliki potensi memunculkan intoleransi di kalangan masyarakat adalah Peraturan Daerah (Perda) Kota Religius yang dicanangkan oleh Pemerintah Depok. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Religius ini pertama kali diajukan pada tahun 2019, namun ditolak pembahasannya karena menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pasal-pasal yang diajukan saat itu dianggap problematik karena detail raperdanya memberi ruang bagi pemerintah untuk menentukan urusan agama warganya, mulai dari menentukan definisi perbuatan yang dianggap tercela, bahkan sampai etika berpakaian.

Meskipun sempat ditolak, Raperda Kota Religius kembali diajukan pada tahun 2020 dengan draft yang diajukan hanya secara garis besar. Pada akhirnya, Raperda ini kemudian disetujui untuk dibahas, dan selesai dibahas oleh panitia khusus DPRD Kota Depok pada 2021. Saat ini, seperti yang diwartakan Metro.Tempo (15/01/22), Raperda Kota Religius telah memasuki tahap sinkronisasi di provinsi dan Kemendagri. Jika sudah selesai sinkronisasi, Perda Kota Religius ini dapat diberlakukan. Kendati demikian, seperti Raperda yang pertama kali diajukan pada tahun 2019, Perda ini juga memiliki tendensi intoleransi dan melanggar privasi karena pasal-pasal di dalamnya dinilai terlalu mencampuri ranah privat keagamaan masyarakat.

Hal-hal yang telah disebutkan, yaitu tindak penyegelan masjid Jemaat Ahmadiyah, perda pelarangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah, dan raperda kota religius, menunjukkan keberadaan produk hukum rendah toleransi yang diikuti oleh tindak diskriminatif di Kota Depok. Terjadinya hal ini merefleksikan kurang mampunya pemerintah Kota Depok untuk mengelola keberagaman, karena masih ada produk hukum yang dapat dijadikan acuan untuk mendiskriminasi sebagian golongan.  “Ada persoalan keberagaman yang masih menjadi PR besar bagi pemerintah Kota Depok,” ungkap Ikhsan.

Menelusuri Jejak Problematika Toleransi Kota Depok melalui Lensa Sejarah
Bila berkaca pada sejarah Kota Depok, siklus intoleransi sebenarnya tidak pernah ditemukan. Hal ini terlihat dari beragamnya etnis yang berkumpul di Depok sejak awal perkembangannya.

Pada awalnya, seorang tuan tanah asal Belanda, Cornelis Chastelein, memerdekakan dan mewariskan tanah untuk budaknya. Setelah Cornelis Chastelein wafat, tanah ini menjadi wilayah Depok. Selama masih menjadi budak, mereka sering kali belajar agama Kristen dengan Chastelein. Hal inilah yang membuat banyak masyarakat Kota Depok mengira bahwa Chastelein adalah seorang misionaris. “Padahal kalau kita belajar sejarah dengan betul, Chastelein itu lebih punya kecenderungan sebagai seorang scientist daripada seorang misionaris. Jadi, kalo kita lihat hidupnya, banyak sekali Chastelein terlibat dalam upaya-upaya scientific gitu,” ungkap JJ Rizal, sejarawan sekaligus pemerhati Kota Depok.

Rizal juga mengungkapkan bahwa Chastelein tidak memaksakan budak-budaknya untuk memeluk agama Kristen, bahkan ada salah satu budak kesayangannya yang beragama Islam dan tetap mendapatkan wasiat yang sama besarnya. “Tidak ada pembedaan,” ungkapnya.

“Apabila masuk Kota Depok itu, kampung pertama yang menjadi muka Kota Depok itu namanya Kampung Pondok Cina,” jelas Rizal. Hal ini juga tidak lepas dari pengaruh Chastelein yang saat itu mengembangkan Depok sebagai kawasan perkebunan dan membangun pasar. Keberadaan pasar ini membuat para pedagang Tionghoa mulai berdagang di lokasi tersebut. Namun, seperti yang dikutip Kompas.com (27/04/21), menurut Tri Wahyuning M Irsyam, pengajar Program Studi Sejarah Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Chastelein melarang pedagang Tionghoa bermukim di Depok dengan alasan kebiasaan pedagang Tionghoa yang sering mabuk dan meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi.

Oleh karena itu, dibuatlah peraturan bahwa lokasi pasar tersebut merupakan wilayah sementara bagi para pedagang Tionghoa. Mereka diizinkan berdagang di siang hari dan keluar dari lokasi setelah matahari terbenam. Hal inilah yang menyebabkan para pedagang Tionghoa akhirnya menginap dan menetap di sekitar lokasi, tepatnya di Kampung Bojong yang kemudian berubah nama menjadi Pondok Cina pada tahun 1918.

Banyaknya orang yang berkumpul dari berbagai suku, ras, dan agama di Depok menunjukkan bahwa toleransi yang kuat telah terjadi di Depok sejak dulu. Seluruh masyarakatnya bekerja sama dengan baik. “Itu kan menandakan satu gambaran bahwa di masa lalu, kita itu masyarakat yang terbuka, masyarakat yang jauh dari sikap intoleran,” jelas Rizal.

Dengan demikian, apabila menilik dari lensa sejarah, setidaknya bisa diketahui bahwa Kota Depok adalah kota yang inklusif pada awal perkembangannya. Lantas, mengapa saat ini Kota Depok justru mendapatkan predikat kota dengan toleransi paling rendah dari 94 kota di Indonesia?

Partai Politik, Pemerintah Kota, dan Akar Masalah Toleransi
Menurut JJ Rizal, toleransi sebetulnya tidak lagi menjadi permasalahan dalam masyarakat Depok. Sejak dulu, masyarakat Depok telah hidup dalam ruang inklusivitas dan keberagaman.

“(Masyarakat—red) Depok itu sebenernya udah selesai dengan intoleransi. Tempat yang paling depan di Depok itu Pondok Cina, jadi itu juga menggambarkan satu hal yang, menurut saya, di masa lalu itu masyarakat yang terbuka gitu, inklusif,” tuturnya.

Menurut Rizal, munculnya isu-isu rendah toleransi yang belakangan ini dibicarakan justru datang dari tindak atau kebijakan politis yang dilakukan oleh pemerintah kota.

“Contohnya kan terlalu banyak ya,” ujar Rizal ketika ditanya mengenai hal ini, “Yang pernah geger itu menyangkut sejarah juga, bagaimana beberapa tahun lalu itu ada pelarangan terhadap pendirian kembali tugu Chastelein di rumah sakit Harapan Depok. Dari alasannya itu, akhirnya ketahuan bahwa tugu itu dianggap mencerminkan niatan untuk melakukan pengkristenan kembali. Jadi, dalam kesan yang ditorehkan di tugu tersebut seolah-olah ada proyek besar untuk mengkristenkan Depok,” lengkapnya.

Pelarangan pendirian kembali tugu Chastelein, menurut Rizal, adalah salah satu contoh tindak pemerintah Kota Depok yang menyiratkan tindak rendah toleransi. Selain itu, contoh tindak lainnya, misalnya kampanye makan dengan tangan kanan dan perda religius yang tempo lalu sempat menjadi kontroversi. Faktor yang mendorong timbulnya fenomena ini adalah besarnya pengaruh salah satu partai politik di Kota Depok.

Mengutip artikel yang diwartakan oleh Tirto pada (7/9/18), Depok telah lama dianggap sebagai lumbung suara PKS. Partai politik ini hampir selalu menempati tiga besar pemilu legislatif di Depok sejak 2004. Artinya, pengaruh PKS di Kota Depok memang kuat.

Dadang Nurjaman, peneliti Charta Politika, dalam artikel yang dipublikasikan Voi.id (09/12/20), juga membenarkan besarnya pengaruh PKS di Depok ini. “Pengaruh PKS masih kuat. Itu aja sebenernya. Saya boleh katakan bahwa Depok itu memang kandangnya PKS,” tuturnya dalam wawancara bersama Voi.id.

Besarnya pengaruh PKS ini pada akhirnya berdampak pada berbagai elemen di kota Depok. Menurut Rizal, salah satu dampak yang jelas terlihat adalah pengelolaan tata ruang kota. Hal ini pada akhirnya menimbulkan segregasi sosial, yang sebetulnya terjadi akibat pengaruh ideologi dan kepentingan partai politik.

“Ya, saya pikir masalah PKS bisa bertahan itu bukan melulu berkaitan dengan mereka identik dengan Islam. Tapi, dalam kebijakannya memang terlihat bahwa karena PKS mewakili kelompok Islam, maka tata ruang kota itu ketara sekali ya, menurut saya. Kalau kita masuk ke perumahan-perumahan, klaster-klaster, kita akan dengan mudah menemukan ruang-ruang yang menandakan bahwa kawasan tersebut adalah kawasan muslim. Jadi ada segregasi sosial di situ, dan  basisnya adalah agama. Menurut saya ini adalah potret politis yang sentimennya sampai ke ruang,” jelas Rizal.

Terlebih, menurut Rizal, tindak-tindak yang dilakukan oleh pemerintah kota ini tidak mewakili suara masyarakat Depok. “Suara pemerintah Depok bukan suara kita semua, bukan suara yang mewakili warga Depok yang beragam, yang menghargai keberagaman. Tapi suara perwakilan dari kelompok tertentu yang kebetulan berkuasa secara politik,” ujarnya.

Harapan untuk Kota Depok
Total sudah lima kali Kota Depok ditempatkan menjadi 10 besar kota paling rendah toleransi oleh SETARA Institute. Penempatan ini pun dilakukan dengan tidak asal, melainkan berdasarkan berbagai indikator yang telah disusun dengan kompleks. Setiap kota memiliki keragaman yang berbeda, namun bagaimana cara mengelola keberagaman tersebut sebenarnya dapat merujuk pada indikator-indikator yang telah ada. “Ya tinggal penuhi aja, atau perbaiki aja, hal-hal yang berkaitan dengan indikator IKT SETARA, dari RPJMD-nya sampai kepada tata kelola keberagaman mereka,” ungkap Ikhsan.

Melalui riset ini, Ikhsan sebagai peneliti SETARA berharap kota-kota yang mendapatkan skor toleransi rendah dapat membuka diri untuk berbagai masukan, belajar ke tempat lain atau kota-kota yang mendapat predikat toleransi tinggi, memperbaiki dan menguatkan visi misi rencana pembangunan kota, serta tindakan-tindakan pemerintah diharapkan mengarusutamakan pengelolaan toleransi atau inklusivitas. Selain itu, masyarakat diharapkan memahami bahwa riset ini tidak membahas aspek teologis, melainkan membela hak-hak konstitusional masyarakat. Sejatinya, riset ini bertujuan untuk mempromosikan bagaimana sebuah kota dapat mengelola keberagaman. “Jadi, jangan dipandang riset ini sebagai pemberi stereotype atau provokasi. Itu sama sekali nggak konstruktif,” tegasnya.

Selain dapat terbuka dan belajar melalui riset IKT, Kota Depok juga diharapkan dapat belajar dan  terbuka dengan sejarah peradaban Depok. Sejak awal, Kota Depok merupakan kota yang interkultural. “Depok itu gennya bukan hanya plural–multikultural, tapi interkultural,” jelas Rizal. Dengan begitu, diharapkan bahwa Depok, yang kaya dengan situs sejarah, dapat belajar dari sejarah.

Selain itu, Fani sebagai masyarakat Depok berharap pemerintah Kota Depok dapat membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dan memperbaiki kebijakan yang dinilai buruk. “Yang baiknya seperti apa dan kalau memang buruk diperbaiki,” ungkap Fani. Lalu, pemerintah Kota Depok, sebagai pemangku kebijakan, juga diharapkan untuk lebih menyosialisasikan sejarah Kota Depok. Misalnya, tidak sentimen dengan sejarah Depok, lebih banyak membentuk museum, cagar budaya, dan juga mempromosikannya, serta membuat platform khusus yang terbuka sehingga bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat. “Pengen pemerintah Kota Depok lebih concern membahas sejarah Depok supaya kita sama-sama belajar, sama-sama tau kalo Depok itu dulu pernah loh jadi kota yang sangat toleran,” jelas Fani.

Masyarakat Depok juga diharapkan lebih sensitif terhadap sejarah dan kebijakan-kebijakan yang memiliki kecenderungan menjadi penyebab intoleransi. “Jangan sampai menderita busung lapar sejarah,” pesan Rizal.

Terakhir, Rizal menambahkan, menurutnya, salah satu hal yang membuat Depok menjadi lebih modern, yaitu keberadaan Universitas Indonesia (UI) karena di UI terjadi urban yang besar-besaran, urban itu juga terjadi di kelas middle – upper middle dan dari berbagai macam etnik serta bangsa datang dan tinggal di Depok. Dengan begitu, tantangan yang dihadapi pemerintah Kota Depok saat ini, yaitu bagaimana melakukan kolaborasi antarwarga agar masyarakat bisa saling menghargai dan tidak mudah terpecah belah.

Referensi
Haryanti, R. (2021). Asal-usul Nama Pondok Cina, Berawal dari Pondokan yang Dihuni Pedagang Tionghoa. Retrieved from: https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/27/21084691/asal-usul-nama-pondok-cina-berawal-dari-pondokan-yang-dihuni-pedagang

SETARA Institute. (2021). Pemerintah Kota Depok memperburuk Diskriminasi Atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Retrieved from: https://setara-institute.org/pemerintah-kota-depok-memperburuk-diskriminasi-atas-jemaat-ahmadiyah-indonesia/

SETARA Institute. (2022). Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran. Retrieved from:

https://setara.institute.org/

Putri, R. D. (2018). Takhta PKS yang Langgeng di Depok. Retrieved from: https://tirto.id/takhta-pks-yang-langgeng-di-depok-cXvS

Tsia, W. T. (2020). Hampir 20 Tahun PKS Berkuasa di Depok, Chatra Politika Ungkap Analisisnya. Retrieved from: https://voi.id/berita/22543/hampir-20-tahun-pks-berkuasa-di-depok-charta-politika-ungkap-analisisnya

Yandwiputra, A. R. (2022). Tinggal Sinkronisasi, Perda Kota Religius di Depok Segera Diberlakukan. Retrieved from: https://metro.tempo.co/read/1550271/tinggal-sinkronisasi-perda-kota-religius-di-depok-segera-diberlakukan/full&view=ok

Penulis: Hawa Muharmaeka, Olivia Chairinnisa Suyono
Editor: Ninda Maghfira, Dian Amalia Ariani
Ilustrasi: Amalia Ananda
Gambar: PikiranRakyat

Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!