Napak Tilas Perjuangan Kartini: Jalan Panjang Pemberdayaan Perempuan

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 April 2021
3 menit

Pada tanggal 21 April setiap tahunnya terdapat suatu peristiwa yang diperingati secara nasional, yaitu kelahiran pahlawan Nasional Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Dijadikan sebagai nama suatu hari nasional, tentu Kartini bukan merupakan orang sembarangan. Kartini merupakan sosok yang identik sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia dimana ia memperjuangkan hak-hak yang semestinya diperoleh perempuan, salah satu contohnya dalam bidang pendidikan. Tentu saja dalam jalan perjuangan yang ditempuhnya, Kartini dihadapkan pada tradisi lama yang harus didobrak.

Terlepas dari dobrakan tersebut berhasil atau tidak pada kala itu, Kartini telah menjadi tonggak pendorong bagi para perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan hak antara pria dan perempuan di seluruh Indonesia. Perjuangan serupa pun mulai muncul, seperti perjuangan Dewi Sartika di Jawa Barat dan Aisyah Dahlan di Yogyakarta. Perjuangan hak-hak perempuan yang dilakukan Kartini bahkan sampai terdengar ke luar negeri. Dalam rangka mengingat dan melestarikan perjuangan kartini, Pers Suara Mahasiswa UI telah menghimpun data dari berbagai literatur baik nasional maupun internasional tentang perjalanan hidup Kartini.

Kartini dan Masa Kecilnya

Dilahirkan di Jepara, Hindia Belanda, pada 21 April 1879, Kartini merupakan anak kelima dari 11 bersaudara pasangan R. M. Sosroningrat dengan istri pertamanya, yaitu M.A. Ngasirah. Dilahirkan sebagai seorang priyayi, Kartini memiliki hubungan darah dengan Kesultanan Yogyakarta melalui ayahnya yang berprofesi sebagai Wedana, yang kemudian diangkat menjadi Bupati di Jepara beberapa waktu setelah Kartini lahir. Dari sisi ibunya, kakek Kartini adalah seorang guru agama ternama di Jepara, yaitu Kyai Haji Madirono.

Saat diangkat menjadi Bupati, Ayah Kartini melakukan poligami dengan menikahi R. A. Woerjan, yang merupakan anak Bupati Jepara sebelumnya. Poligami ini dilaksanakan karena aturan yang berlaku saat itu adalah seorang bupati wajib beristerikan seorang bangsawan yang sederajat dengan bupati, sedangkan Ibu dari Kartini bukan merupakan bangsawan dengan derajat seperti bupati.

Pada masa kecilnya, Kartini dibesarkan dengan pendidikan Eropa melalui  Europese Lagere School (ELS) sampai usia 12 tahun, atau kala ia sudah masuk usia pingit. Sejak kecil, ia dikenal sebagai pribadi yang cerdas dalam berbahasa Belanda, dimana hal tersebut dibuktikan dengan kegemarannya untuk mengirim surat pada sahabat penanya di luar negeri dan membaca buku, koran, maupun tulisan terkait dengan pemikiran-pemikiran Eropa kala itu. Kartini diketahui merupakan pembaca setia dari harian ternama asal Semarang, De Locomotief dan majalah perempuan berbahasa Belanda bernama De Hollandsche Lelie. Bahkan, Kartini pernah beberapa kali mengirimkan tulisan dan dimuat pada majalah tersebut. Sampai usia 20 tahun, Kartini telah membaca karya-karya Multatuli seperti Max Havelaar dan surat-surat cinta beserta buku-buku sastra Eropa karya sastrawan terkenal kala itu seperti Van Eeden dan Berta Von Suttner. Buku-buku dan bacaan lainnya inilah yang menjadi sumber inspirasi pemikiran Kartini, baik mengenai permasalahan sosial pada umumnya ataupun permasalahan perempuan.

Kartini dan Surat-Suratnya

Dengan kegemarannya menulis dan mengirimkan surat kepada para sahabat penanya di luar negeri, Kartini banyak menuliskan pemikiran-pemikiran yang dimilikinya dalam surat-suratnya. Di dalam surat-suratnya, Kartini banyak menyinggung tentang budaya Jawa yang menghambat perkembangan perempuan. Ia mengkritik kondisi perempuan di dalam budaya Jawa yang dialaminya, seperti harus dipingit, tidak bebas bersekolah, dinikahkan dengan pria yang tidak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Surat-surat Kartini pun turut memuat ide cita-citanya yaitu kehidupan yang berlandaskan ketuhanan, kebijaksanaan, dan keindahan bernapaskan nasionalisme dan kemanusiaan. Ayahnya, pada akhirnya, memberikan izin kepada Kartini untuk melanjutkan studi menjadi guru di Batavia, setelah melarangnya untuk melanjutkan studi ke Eropa dan melarangnya masuk sekolah kedokteran di Batavia.

Surat-surat yang Kartini kirimkan kepada para sahabat penanya dibukukan oleh Menteri Keagamaan, Kebudayaan, dan Kerajinan Hindia Belanda di tahun 1911. Buku tersebut berjudul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Pada tahun 1922, Balai Pustaka mengeluarkan bentuk terjemahan dari buku tersebut dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Hari-Hari Terakhir Kartini

Setelah berusia kepala dua, terdapat perubahan pada pemikiran Kartini. Ia menjadi lebih permisif dan toleran terhadap budaya maupun tradisi yang selama ini ada. Pada usia 24 tahun, Kartini menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang yang telah memiliki tiga istri. Suami Kartini sangat mengerti hasrat dan keinginan Kartini terhadap realita sosial yang ada, khususnya permasalahan perempuan dan anak. Oleh karena itu, Kartini diberikan izin oleh suaminya untuk membuat sekolah bagi para perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.

Dalam surat-surat yang dikirimkannya pada saat berkepala dua, pemikiran Kartini yang lebih toleran dan permisif juga tampak, hal ini tercermin dari pernyataannya bahwa memiliki suami memiliki keuntungan tersendiri. Kartini juga menulis bahwa sang suami tidak hanya mendorong keinginannya untuk membuat sekolah bagi bumiputera khususnya perempuan saja, lebih dari itu, sang suami mendorong Kartini agar dapat menulis sebuah buku yang berisikan pemikiran-pemikirannya.

Beberapa saat setelah menikah, Kartini dipanggil yang maha kuasa pada usia 25 tahun. Pada 17 September 1904, Kartini wafat setelah empat hari sebelumnya melahirkan anak satu-satunya yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat. Kematian di usia muda yang terjadi dengan tiba-tiba memunculkan tanda tanya, bahkan terdapat hipotesis bahwa kematian Kartini sudah direncanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang terganggu dengan narasi nasionalisme dan pemberdayaan masyarakat yang dibawa oleh Kartini. Terlepas dari kontroversi atas kematiannya, Kartini pada nyatanya terus hidup di tengah-tengah masyarakat melalui semangat dan gagasannya yang diperjuangkan hingga saat ini.