Polemik penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia tak kunjung berakhir. Hal ini diakibatkan karena lambannya pengesahan aturan, minimnya perlindungan dari aparat, serta terbatasnya sosialisasi mengenai isu kekerasan seksual sehingga menjadi tantangan nyata dalam menegakkan keadilan bagi korban.
Dengan mengusung tema "Menagih Komitmen Negara: Mewujudkan Upaya Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan yang Komprehensif bagi Korban Kekerasan Seksual," Forum Pengada Layanan (FPL) menggelar media briefing pada 22 Mei di Kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai organisasi masyarakat.
Tiga Dari Tujuh Mandat UU TPKS Masih Berada di Meja Persetujuan
Sejak disahkan tiga tahun lalu, pemerintah baru menyetujui empat dari tujuh aturan pelaksana yang diamanatkan oleh UU TPKS. Keterlambatan ini menunjukkan rendahnya keseriusan negara dalam menjamin perlindungan menyeluruh bagi korban kekerasan seksual. Padahal, menurut Ina Irawati dari FPL, pengesahan ketujuh aturan tersebut seharusnya sudah selesai pada dua tahun pertama sejak UU TPKS diundangkan. Namun, hingga kini, tiga aturan sisanya masih mandek di meja presiden sejak Agustus 2024.
Berdasarkan penuturan Margareth Robin Korwa selaku perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), hal tersebut disebabkan sering terjadinya pergantian menteri sehingga turunan UU TPKS sebagai regulasi kebijakan demokratis itu dikembalikan kepada masing-masing menteri untuk ditandatangani kembali.
Ia juga mengungkap bahwa berdasarkan informasi terakhir, rancangan peraturan pemerintah tentang dana bantuan korban tindak pidana kekerasan seksual sedang dalam proses pembahasan pengharmonisasian dengan kementerian lembaga terkait.
Sementara itu, terkait rancangan peraturan pemerintah tentang pencegahan tindak pidana kekerasan seksual serta penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual sudah dalam tahap paraf ulang oleh para menteri dan saat ini sudah akan diproses kepada presiden.
Lalu, rancangan peraturan presiden tentang kebijakan nasional pencegahan penanganan tindak pidana kekerasan seksual telah berada dalam proses penetapan presiden.
Margareth Robin memastikan bahwa pihaknya akan memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban melalui perampungan ketujuh aturan turunan UU TPKS.
“Kementerian PPPA pastinya tidak akan tinggal diam, tapi [akan] terus memastikan ketujuh peraturan undang-undang TPKS akan segera dirampungkan dan diimplementasikan,” ungkap Margareth.
Kriminalisasi Pendamping Korban Kekerasan Seksual
Tahun 2023 lalu, Titin dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) memberikan kesaksiannya sebagai pendamping korban kekerasan seksual yang malah dikriminalisasikan atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Titin mengungkapkan bahwa ia telah beberapa kali mengirimkan surat kepada negara terkait dugaan kasus kekerasan seksual di tempat kerjanya, tetapi belum mendapat respons yang memadai. Ia kemudian meminta persetujuan resmi atau internal dari perusahaannya. Menanggapi hal tersebut, pihak HRD membentuk mandat manajemen dan menetapkan Titin sebagai salah satu anggotanya.
Dalam prosesnya, Titin akhirnya dipertemukan dengan terduga pelaku pelecehan seksual. Namun, tak lama setelah pertemuan itu, justru ia yang dilaporkan ke polisi.
“Pada tanggal 29 Oktober, datanglah ‘surat cinta’ dari pemerintah dan Polres,” ujar Titin dalam kesaksiannya.
Alih-alih menindaklanjuti laporan kekerasan seksual, Titin yang berperan sebagai pendamping korban justru dikriminalisasi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE, sementara terduga pelaku masih bebas bekerja. Meski telah menjalani pemeriksaan, Titin memilih untuk tidak memberikan keterangan.
Negara Sibuk Hukum Pelaku, Korban Apa Kabar?
Sayangnya, hingga kini, penanganan kasus kekerasan seksual masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih berfokus memberikan efek jera bagi pelaku, bukan pemulihan bagi korban. Hukuman yang dijatuhkan pun cenderung maksimal, seperti pidana penjara hingga 12 tahun dan denda besar, sementara untuk kekerasan berbasis elektronik hanya dijatuhi hukuman penjara maksimal 4 tahun.
“Pertanyaan yang sulit dijawab adalah, apakah aturan ini sudah memberikan efek jera?” tanya Ajeng, perwakilan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Menurutnya, berbagai persoalan dalam penanganan kekerasan seksual berakar dari lemahnya struktur KUHP itu sendiri. KUHP dinilai terlalu menitikberatkan pada hukuman dan denda tinggi untuk pelaku, tanpa menyediakan layanan khusus bagi pihak korban maupun keluarga korban.
“Semuanya itu orientasinya pokoknya pelakunya dihukum tinggi, denda semaksimal mungkin. Padahal, yang didorong di TPKS adalah restitusi. Restitusi itu buat korban, [kalau] denda masuknya ke kas negara, enggak nyambung,” ujarnya.
Lebih jauh, Ajeng menyoroti rendahnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terhadap aturan turunan UU seperti Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP). Mereka cenderung hanya berpegang pada KUHP dan peraturan internal masing-masing instansi.
“Polisi cuma patuh sama Perkapnya, jaksa cuma patuh sama Perja. Hakim selain sama undang-undang ya, karena dia harus jabarin unsur-unsur pasal, cuma patuh sama Mahkamah Agung,” ungkap Ajeng.
Padahal, Perpres No. 9 Tahun 2024 telah mengatur pentingnya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bagi penyedia layanan berbasis masyarakat. Hal ini mencakup APH seperti jaksa, penyidik, dan hakim, juga tenaga layanan dari LPSK, Pusat Pelayanan Terpadu, serta unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di daerah.
Sayangnya, mekanisme koordinasi lintas sektor masih lemah. Meskipun UU TPKS berada di bawah koordinasi Kementerian PPPA, banyak pihak terkait merasa tidak dilibatkan langsung dalam pelaksanaannya.
Ajeng juga menekankan pentingnya memperkuat judicial security, yaitu mekanisme pengawasan di pengadilan. Menurutnya, selama ini pengawasan oleh lembaga peradilan hanya sebatas formalitas. Tidak ada forum keluhan yang nyata sehingga korban seringkali terabaikan.
“Karena selama ini mekanisme peraturan pengadilan tuh hanya sebatas formalitas, syarat sah penahanan, ya kalau korban gimana? Itu termasuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat, karena korban lapor, udah 10 bulan enggak diproses-proses, enggak tau kemana nih,” tutur Ajeng lebih lanjut.
Ia menilai Mahkamah Agung perlu mengambil peran lebih aktif untuk mendorong hakim agar tidak sekadar menerima berkas perkara, tetapi juga benar-benar peduli terhadap substansi kasus kekerasan seksual sejak awal. Pencarian bukti pada kaus kekerasan seksual juga seharusnya jadi tugas APH, bukan malah dikembalikan pada korban.
“Mana minimal dua alat bukti, gitu. Itu kan tugasnya bapak [polisi], bukannya kita [korban], kenapa malah kita yang repot. Kita kan minta tolong, ya bapak kan digaji sama negara untuk nyari,” akhir Ajeng.
Teks: Vania Shaqila, Zulianikha Salsabila Putri
Editor: Dela Srilestari
Foto: Zulianikha Salsabila Putri
Desain: Aqilah Noer Khalishah
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!