Ombang-Ambing Identitas Mahasiswa di Tengah Pandemi

Redaksi Suara Mahasiswa · 26 Juni 2021
3 menit

Sejak pandemi Covid-19 menyapu muka bumi, roda perekonomian global menunjukkan kerapuhannya terhadap krisis. Tidak lama setelah pandemi mencapai Indonesia, ekonomi nasional terpuruk, demikian pula dengan ekonomi keluarga. Beberapa bulan setelah pembatasan sosial, perusahaan tempat bapak saya bekerja secara sepihak memotong gaji pekerjanya dengan proporsi yang tidak manusiawi. Kami terpaksa hidup pas-pasan setiap bulannya hanya untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar kami. Bantuan yang didapat dari pemerintah sangat tidak signifikan. Sayangnya, keluarga saya bukan satu-satunya yang harus menghadapi kenyataan pahit ini—survei yang dilakukan oleh Jobstreet melaporkan bahwa 43% pekerja mengalami pemotongan gaji selama diberlakukannya pembatasan sosial dan 35% pekerja terkena pemutusan hubungan kerja. Tidak bisa dibayangkan rasanya penderitaan yang harus dilewati oleh jutaan rakyat pekerja dalam menyambung hidup.

Kondisi ini tentu berkaitan secara langsung dengan para mahasiswa dari kelas pekerja menengah ke bawah, yang antara bergantung kepada orang tua pekerja atau juga merupakan pekerja. Hilang atau berkurangnya pendapatan akibat pandemi jelas membawa tanda tanya besar: bagaimana membayar biaya perkuliahan? Pertanyaan ini muncul bagi keluarga saya dan beberapa teman-teman saya. Saya dan teman-teman saya sudah mencoba mengajukan penurunan UKT, tetapi ditolak oleh pihak kampus. Begitu pula yang terjadi kepada teman-teman saya, padahal di antara mereka ada yang yatim dan orang tuanya baru saja di-PHK. Tidak ada keringanan UKT sama sekali walaupun perkuliahan dilakukan secara daring. Kami mahasiswa yang kesulitan secara finansial kini melihat perkuliahan sebagai pisau bermata dua: kami harus bersusah payah untuk beradaptasi dalam perkuliahan yang daring sementara memikirkan bagaimana kita dapat membantu orang tua kita membiayai biaya perkuliahan kami. Beberapa dari kami harus bekerja, atau kesana-sini mencari beasiswa.

Karl Marx (1818-1883) dalam pemikirannya menjelaskan keterkaitan antara individu dan realitas material. Marx mengonsepsikan bahwa ruang dan dialektika manusia dipengaruhi oleh dua pembagian lingkup kehidupan masyarakat yang disebutnya “basis” dan “suprastruktur”. Basis terdiri dari realitas material-ekonomi berupa relasi dan tenaga produksi, sementara suprastruktur berupa realitas sosial, politik dan spiritual. Kedua lingkup ini tidak sepenuhnya berdiri sendiri, melainkan senantiasa berkelindan. Meskipun demikian, pengaruh basis terhadap suprastruktur tetap lebih dominan sehingga terbentuk dasar konsepsi materialis Marxis akan realitas: bahwa moda produksi—alias realitas material—mengondisikan proses kehidupan mental suatu individu. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial-material mereka yang menentukan kesadaran mereka. Dari kerangka pemahaman tersebut, kita dapat mengerti bagaimana persepsi dan kesadaran yang kita gunakan untuk memproses segalanya—termasuk bagaimana kita memandang identitas diri sendiri—dikonstruksi oleh realita material-ekonomi kita.

Dalam konteks saat ini, sangat terang bagaimana identitas kami sebagai mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari realitas material di sekitar kami. identitas kami sebagai mahasiswa rasanya berada dalam suatu ambang: dengan ketidakpastian akan bagaimana kami—atau orang tua kami—menerima pendapatan, bagaimana kami mampu untuk membayar biaya perkuliahan, yang bahkan enggan untuk memberikan keringanan sedikit pun? Dengan status keaktifan akademik kami yang tergantung pada uang yang harus dibayarkan ke rektorat, bagaimana kami dapat sepenuhnya mengamini bahwa kami adalah mahasiswa?

Kondisi ini adalah penderitaan konstan. Kami merasa jauh dari diri sendiri dan dari mimpi-mimpi kami. Karena apa artinya jika kami bercita-cita menjadi A atau B, ingin lanjut S2 di sini atau di situ, sementara kami tidak tahu apa kami bisa membayar UKT semester depan? Di mana kepastian identitas kami kalau bahkan kemahasiswaan dan kehidupan akademik kami bisa direnggut kapan saja oleh sistem yang rakus, opresif nan eksploitatif ini?

Terakhir, di mana pemerintah dalam semua ini? Mau sampai kapan jutaan rakyat pekerja dibiarkan terlantar oleh perusahaan dalam kemiskinan? Semua kekerasan sistemik ini berlangsung—kami trauma, resah, ketakutan dan harus pergi ke psikiater—tanpa satu pihak pun akan pernah meminta maaf.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Faiz Abimanyu (FIB UI)
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Daftar Pustaka

Engels, Friedrich. (1890). Engels to J. Bloch In Königsberg. Historical Materialism. Moscow: Progress Publishers. Diakses 12 Mei 2021 dari https://www.marxists.org/archive/marx/works/1890/letters/90_09_21.htm

Lidyana, V. (2020, 7 Oktober). Survei Jobstreet: 43% Pekerja Kena Potong Gaji Saat PSBB. Dipetik Mei 12, 2021 dari detikFinance: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5203409/survei-jobstreet-43-pekerja-kena-potong-gaji-saat-psbb

Magnis-Suseno, Franz. (1999). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Marx, Karl. (1859). A Contribution to the Critique of Political Economy. Moscow: Progress Publishers. Diakses 12 Mei 2021 dari https://www.marxists.org/archive/marx/works/1859/critique-pol-economy/preface.htm

Putri, C. A. (2020, 7 Oktober). Survei: Karena Covid-19, 35% Pekerja di Indonesia Kena PHK. Dipetik Mei 12, 2021 dari CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/news/20201007145144-4-192535/survei-karena-covid-19-35-pekerja-di-indonesia-kena-phk