Omnibus Law dan Masa Depan Lingkungan Hidup

Redaksi Suara Mahasiswa · 5 Juni 2021
6 menit

Salah satu alasan dari diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 atau dikenal dengan Omnibus Law atau Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) ini adalah dalam rangka penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan atas banyaknya aturan dan regulasi yang menghambat pencapaian tujuan untuk penciptaan lapangan kerja. Penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha meliputi kesesuaian pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.

Hal ini bertujuan meningkatkan penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, yang meliputi penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi. Penyederhanaan perizinan berusaha dilakukan dengan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko.

Dengan adanya penyederhanaan perizinan berusaha diharapkan dapat mengeliminasi praktik tindak pidana korupsi sangat rentan terjadi pada bidang pelayanan perizinan. Jamak diketahui proses dan prosedur perizinan di Indonesia yang rumit, berbelit-belit, adanya tumpang tindih aturan dan arogansi sektoral antar Kementerian/Lembaga serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) bisa menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan suap, pungli dan korupsi yang dilakukan oleh oknum aparatur negara dan pengusaha.

Namun, begitu lahir pro kontra terkait beberapa perubahan yang terjadi dalam UUCK, tidak terkecuali dalam prosedur penyusunan dan penilaian dokumen Amdal. Beberapa penyederhanaan dicurigai dapat menjadi pemicu perusakan lingkungan yang semakin parah akibat eksploitasi lingkungan yang tidak terkontrol demi kepentingan investasi dan pemilik usaha.

Di antara perubahan terkait dengan Amdal yang ditemukan dalam UUCK ialah dihilangkannya Komisi Penilai Amdal sebagaimana yang sebelumnya diatur dalam UU 32/2009 dan digantikan dengan Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup, yaitu sebuah Lembaga yang dibentuk oleh Menteri.

Lembaga ini memiliki wewenang yang cukup besar karena akan membantu Menteri dalam hal membentuk tim uji kelayakan lingkungan hidup, melakukan sertifikasi ahli, Menyusun daftar kumpulan ahli bersertifikat, hingga melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan uji kelayakan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup, sebagaimana yang dijabarkan pada pasal 76 PP 21/2021, sebagai peraturan turunan yang menjelaskan UU 11/2020 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dari sisi komponen yang menjadi anggota dalam Komisi Penilai Amdal dan Lembaga uji kelayakan lingkungan hidup juga terlihat perbedaan. Keanggotaan Komisi Penilai Amdal terdiri atas wakil dari unsur instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan organisasi lingkungan hidup.

Sementara itu, tim uji kelayakan lingkungan hidup terdiri atas ketua, kepala sekretariat, dan anggota. Ketua dan kepala sekretariat dijabat oleh pejabat yang menangani Amdal atau pejabat fungsional tertentu di instansi Lingkungan Hidup pusat, organisasi perangkat daerah yang membidangi Lingkungan Hidup provinsi, atau organisasi perangkat daerah yang membidangi Lingkungan Hidup kabupaten/kota yang memiliki pengalaman dalam penilaian Amdal paling sedikit 2 (dua) tahun.

Sementara anggota tim uji kelayakan lingkungan hidup terdiri atas para ahli bersertifikat dengan latar belakang keilmuan yang beragam terkait dengan dampak rencana Usaha dan/atau Kegiatan, anggota unsur kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta khusus untuk tim uji kelayakan lingkungan hidup di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas anggota dari perangkat daerah yang membidangi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Adapun pelibatan masyarakat dalam UU 11/2020 dan PP 21/2021 tidak diwajibkan ada dalam proses penilaian Amdal. Berbeda dengan UU 32/2009 yang menempatkan wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak serta organisasi lingkungan hidup dalam komisi penilaian Amdal.

Dalam UUCK komponen masyarakat dilibatkan dalam melakukan penilaian substansi oleh tim uji kelayakan. Hanya saja pelibatan masyarakat dalam penilaian ini dilakukan jika tidak diperoleh saran, pendapat, dan tanggapan Ketika dilakukan pengumuman rencana usaha atau kegiatan oleh pemilik usaha.

Pengumuman ini wajib dilakukan sebagai salah satu prosedur untuk melengkapi dokumen kerangka acuan amdal, dan masyarakat berhak memberikan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana tersebut.

Secara proses penilaian berdasarkan UUCK dan aturan turunannya, keterlibatan masyarakat tidak terlalu besar. Sekalipun memang tetap ada kewajiban untuk melakukan konsultasi publik dan pengumpulan tanggapan dari masyarakat dalam proses penyusunan dokumen Amdal dan juga tercantum di dalam dokumen Amdal yang akan dinilai oleh tim uji kelayakan.

Pada dasarnya, adanya kewajiban melakukan penyusunan dokumen Amdal yang kemudian dinilai oleh pihak yang berwenang merupakan salah satu pendekatan untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dengan demikian, mestinya jika seluruh prosedur dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, seluruh komponen masyarakat mestinya tidak perlu merasa khawatir dengan berbagai macam rencana pembangunan yang ada di sekitar mereka.

Seluruh dampak potensial yang akan terjadi pasti akan dinilai secara objektif dan benar sesuai dengan kaidah ilmiah. Namun, sayang beribu sayang, begitu banyak kasus penyalahgunaan wewenang dalam hal pemberian izin berusaha yang mestinya tidak diberikan membuat masyarakat selalu ketakutan manakala ada rencana usaha atau kegiatan di sekitar mereka.

Berbagai macam kasus korupsi dalam bidang perizinan, termasuk di dalamnya berkaitan dengan amdal, telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus korupsi terkait perizinan itu seperti kasus yang dialami oleh Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang terbukti menerima suap sebesar 6 miliar rupiah terkait pemberian izin lokasi PT Sawit Golden Prima pada Desa Muara Kaman seluas 16.000 Ha dan menerima gratifikasi yang   dianggap suap senilai miliaran rupiah dari para pemohon terkait penerbitan SKKL, izin lingkungan dan AMDAL.

Kemudian, ada juga kasus suap penerbitan izin menara telekomunikasi/tower oleh Mustofa Kamal Pasa Bupati Mojokerto, suap perizinan pembangunan proyek Meikarta oleh Neneng Hasanah Yasin, Bupati Bekasi, suap penerbitan izin prinsip pemanfaatan ruang laut, izin lokasi reklamasi, izin pelaksanaan reklamasi oleh Nurdin Basirun, Gubernur Kepulauan Riau, suap terkait izin usaha dan HGU perkebunan oleh Amran Batalipu Bupati Buol dan lain sebagainya.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi peluang terjadinya korupsi pada bidang pelayanan perizinan dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau lebih dikenal dengan istilah Online Single Submission (OSS).

Sistem OSS dirancang untuk dapat mengurangi interaksi langsung atau tatap muka antara pelaku usaha dengan pejabat pemerintah, sehingga diharapkan akan mampu meminimalisir potensi tindakan-tindakan “kongkalikong” dalam pengurusan perizinan.

Namun, tentu tetap harus diingat bahwa terjadinya tindak kejahatan adalah perkalian dari adanya niat dan kesempatan. Aturan dan sistem yang dirancang dengan sistem OSS hanya berperan untuk memperkecil kesempatan tindak pidana korupsi.

Hanida dkk. (2020) menjelaskan bahwa terdapat paling tidak sembilan aktor yang dapat berperan dalam praktik korupsi pada kegiatan pelayanan perizinan dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal (Lihat Tabel).

Lantas, bagaimana cara untuk meminimalisasi faktor niat melakukan praktik korupsi dalam hal perizinan berusaha? Hal ini tentu kembali kepada nilai-nilai yang dipegang oleh individu dan masyarakat. Penanaman nilai integritas tentu sangat dipengaruhi oleh pola pendidikan yang dijalankan oleh negara. Pendidikan yang menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan seseorang sehingga terbentuk kesadaran transendental, akan mengendalikan setiap individu agar tidak terjerumus dalam praktik korupsi.

Selain itu, perlu juga disertai dengan pemberian sanksi yang adil tanpa pandang bulu yang menghasilkan efek jera bagi para pelaku sekaligus edukasi bagi masyarakat agar tidak turut menjadi pelaku.

Akhirnya, niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja juga dapat diiringi dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkeadilan, niscaya dapat terwujud.

Oleh sebab itu, yang memperoleh keuntungan dari adanya investasi dan pembangunan bukan hanya segelintir orang, melainkan juga seluruh masyarakat di sekitar lokasi usaha atau kegiatan bisa merasakan dampak positifnya. Selain itu, pembangunan berkelanjutan dapat terus berjalan serta terus mewariskan lingkungan hidup yang aman dan sehat untuk generasi kita selanjutnya.

Aktor-Aktor yang Berpotensi Terlibat dalam Praktik Korupsi pada Kegiatan Pelayanan Perizinan (Sumber: Rozidateno Putri Hanida, Bimbi Irawan, dan Fachrur Rozi (2020). Strategi Eliminasi Praktik Korupsi pada Pelayanan Perizinan dan Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal. INTEGRITAS: Jurnal Antikorupsi, 6 (2)).

No

Aktor

Peran dalam Pelayanan Perizinan

1

Pelaku Usaha

Sebagai pihak yang melakukan pengajuan perizinan penanaman modal

2

Kepala daerah

Sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom

3

Aparatur pada DPM & PTSP

Pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan perizinan di daerah

4

Pegawai di dalam Lembaga OSS

Lembaga pemerintah non-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal

5

Aparatur pada Kantor Pertanahan

Pihak yang memberikan pertimbangan teknis pertanahan dalam urusan pemenuhan Komitmen Izin Lokasi

6

Aparatur pada Kementerian yang mengurusi Bidang Kelautan dan Perikanan atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing

Pihak yang menyetujui atau menolak pemenuhan komitmen Izin Lokasi Perairan

7

Aparatur pada Kementerian yang mengurusi bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing

Pihak yang melakukan pemeriksaan atas UKL-UPL dalam urusan pemenuhan komitmen Izin Lingkungan

8

Aparatur pada Komisi Penilaian AMDAL

Pihak yang melakukan penilaian AMDAL dan RKL-RPL dalam urusan pemenuhan komitmen Izin Lingkungan

9

Aparatur yang bertugas sebagai Tim Teknis pada OPD terkait dengan jenis perizinan

Sebagai yang menilai kelayakan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu perizinan yang akan diberikan

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Urwatul Wusqa, S.T., M.T. (Dosen FMIPA UI)
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!