Our Mothers’ Land : Perlawanan Perempuan Untuk Lingkungan

Redaksi Suara Mahasiswa · 28 Januari 2022
3 menit

Judul Film : Our Mothers’ Land
Sutradara : Leo Plunkett
Produser : Febriana Firdaus dan Tom Johnson
Genre : Dokumenter
Tahun Rilis : 3 November 2020
Durasi : 55 menit 8 detik

Kisah perjuangan komunitas masyarakat dan komunitas lingkungan melawan perusahaan bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Banyak kasus dan konflik yang terjadi di berbagai daerah di mana masyarakat berusaha mempertahankan kelestarian lingkungan di wilayah mereka, tetapi harus dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam dan lingkungan mereka seringkali mendapatkan dukungan dari pemerintah. Banyak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat akibat adanya perusahaan yang mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan kondisi lingkungan dan keadaan masyarakat setempat. Hal inilah yang menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat setempat untuk berani melawan perusahaan terutama di kalangan perempuan. Gerakan perempuan muncul di beberapa daerah di mana para perempuan ini berhasil melewati batas-batas patriarki dalam masyarakat untuk mengorganisasikan dan memimpin masyarakatnya dalam mempertahankan kelestarian lingkungan dari korporasi-korporasi yang merusak alam setempat meskipun mereka harus menghadapi ancaman kekerasan, pidana penjara, bahkan kematian.

Pada film Our Mothers’ Land, Febriana Firdaus, seorang jurnalis independen mengungkap perjuangan empat orang aktivis lingkungan perempuan dalam memimpin pergerakan melawan perusahaan. Empat orang aktivis itu adalah Sukinah yang tergabung dalam Sembilan Kartini Kendeng dari Jawa Tengah, Aleta Baun dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Eva Bande dari Sulawesi Tengah, dan Farwiza Farhan dari Aceh. Pertama, ada Sukinah yang ikut memimpin pergerakan masyarakat Kendeng terutama perempuan untuk menjadi garda terdepan dalam melawan pembangunan pabrik semen Kendeng yang dianggap akan merusak lingkungan, kehidupan sosial, dan budaya setempat. Walaupun mereka mendapat kekerasan dari aparat dan preman, tetapi mereka tetap maju karena keberadaan pabrik semen tersebut akan mengancam sumber air bersih bagi desa. Sukinah dan delapan perempuan lain pun datang ke Istana Negara dan menyemen kaki mereka sebagai bentuk protes keberadaan pabrik semen karena keberanian mereka dalam memperjuangkan lingkungan mereka diberi julukan Sembilan kartini Kendeng. Perjuangan mereka di Istana Negara tidak berhasil sepenuhnya, walaupun Presiden Joko Widodo merespon hal tersebut dan Mahkamah Agung menyatakan izin lingkungan pabrik itu ilegal, Pabrik tersebut tetap beroperasi dan perjuangan masyarakat Kendeng belum berakhir.

Kedua ada Aleta Baun yang memimpin masyarakat Mollo dari eksploitasi perusahaan tambang di wilayah mereka. Meskipun mereka sering mendapatkan tindakan represif dari aparat dan preman seperti di Kendeng, mereka tidak takut dan tetap melawan perusahaan tambang tersebut. Aleta Baun pernah mendapatkan stigma dari masyarakat bahwa ia seorang anak kepala suku, tetapi ia tidak bisa mendapatkan mandat karena ia seorang perempuan. Namun, ia tidak menyerah dan berhasil membuktikan bahwa dia pantas memimpin. Aleta Baun mengajarkan kita pentingnya belajar dari alam karena sesungguhnya dari alam lah kita akan mendapatkan pengetahuan yang lebih luas. Ia dan masyarakat Mollo mempertahankan filosofi tersebut hingga sekarang.

Ketiga ada Eva Bande sosok perempuan tangguh yang melakukan pengorganisiran dan memimpin para petani agar menolak pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Layaknya para Kartini Kendeng, jalan Eva Bande pun tak mudah, Ia difitnah dan membuatnya terpaksa harus berada di balik jeruji besi. Meski begitu, tak sedikitpun menyurutkan semangat dan langkah Eva untuk melindungi tanah kelahirannya dari kepentingan para pebisnis kotor. Terakhir ada Farwiza Farhan, Seorang perempuan yang aktif melakukan advokasi perusakan lingkungan di Taman Nasional Gunung Leuser. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh aktivis lingkungan perempuan dari daerah lain tidak akan padam dan terus berlanjut ke generasi berikutnya

Film ini sangat direkomendasikan bagi seluruh masyarakat Indonesia khususnya generasi muda. Kesan kuat dari aktivis perempuan dalam film ini menginspirasi dan memotivasi kita untuk selalu berjuang dan tidak menyerah akan kelestarian lingkungan. Dari film ini kita juga dapat melihat dengan jelas bagaimana perlawanan dan pergerakan untuk melindungi lingkungan yang biasanya dilakukan laki-laki, justru bisa dilakukan juga oleh perempuan. Para perempuan dengan berani menjadi garda terdepan dan memimpin masyarakat setempat dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan dan berjuang melawan ketidakadilan, walaupun banyak ancaman dan hambatan yang datang. Film ini sukses mengangkat gerakan feminisme yang bersinergi dengan isu lingkungan dan berhasil menembus batas patriarki dalam masyarakat konservatif. Perempuan dalam film ini digambarkan sebagai orang-orang yang juga berhak menyampaikan aspirasi dan suara mereka dalam membela keadilan serta berhak ikut mempertahankan tanah mereka dari ulah orang-orang yang hanya mementingkan keuntungan. Film ini diharapkan mampu memberikan semangat pada generasi muda khususnya perempuan untuk berani menyuarakan dan mengekspresikan diri mereka dalam memperjuangkan isu-isu lingkungan yang masih membayangi Indonesia.

Teks: Muhammad Rafli Gebrena
Foto: Istimewa
Editor: Dimas Rama S. W.

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!