Logo Suma

Partisipasi Aktif Gen Z Demi Demokrasi yang Lebih Inklusif

Redaksi Suara Mahasiswa · 24 Maret 2025
5 menit

Di tengah arus besar dinamika demokrasi Indonesia, langkah empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ibarat tetes air yang akhirnya menembus batu. Perlahan tapi pasti, mereka berani menantang arus, membuktikan bahwa keadilan bukan hanya hak para elite politik, tetapi juga hak seluruh rakyat. Kegigihan mereka dalam mengajukan uji materi terhadap presidential threshold akhirnya membuahkan hasil ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan tersebut.

Presidential threshold adalah persentase ambang batas suara yang harus dicapai oleh partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diusulkan oleh partai politik atau koalisi partai politik yang memperoleh minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.

Penerapan presidential threshold bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial serta meningkatkan efektivitas jalannya pemerintahan. Meski begitu, aturan ini juga menuai kritik karena berpotensi hanya menguntungkan partai besar dalam pemilu sebelumnya dan mengecilkan peluang munculnya lebih banyak kandidat potensial. Selain itu, ketentuan tersebut dinilai membatasi demokrasi dan mempersempit pilihan masyarakat dalam pemilihan presiden.

Keresahan yang terus berkembang mendorong Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna untuk mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Mereka berpendapat bahwa aturan tersebut membatasi kesempatan bagi calon alternatif untuk bersaing dalam pemilihan presiden. Perjuangan mereka akhirnya tidak sia-sia ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut melalui perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diumumkan pada Kamis (2/1/2025).

Sebelumnya, sebanyak 32 kali permohonan pengujian presidential threshold telah ditangani oleh MK. Dilansir dari hukumonline.com, terdapat 24 perkara yang tidak dapat diterima, 2 perkara ditarik kembali, 5 perkara ditolak, dan 1 perkara dikabulkan sebagian. Namun, putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 menjadi titik balik yang menggoyahkan pertahanan MK. Untuk pertama kalinya, permohonan yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Kalijaga tersebut berhasil menembus tembok tinggi yang selama ini menghalangi perubahan dalam demokrasi di Indonesia.

Memang, berbagai pertimbangan dikemukakan karena terdapat pertentangan hak politik dan kedaulatan rakyat. MK menyoroti bahwa partai politik tertentu acapkali mendominasi panggung pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Kondisi tersebut dianggap membatasi hak konstitusional masyarakat sebagai pemilih dalam memperoleh pilihan yang lebih beragam dan berpotensi memperkuat polarisasi di tengah masyarakat.

Selain itu, MK juga memandang bahwa presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 melenyapkan hak konstitusional partai politik untuk dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini terkhususnya berdampak pada partai politik yang tidak memperoleh persentase suara sah secara nasional atau jumlah kursi di DPR RI pada pemilu sebelumnya.

Peluang dan Tantangan Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini memberikan secercah harapan baru bagi dunia perpolitikan Indonesia. Harap-harap, perubahan ini memberikan kesempatan yang luas bagi bagi para partai kecil atau baru untuk bermain dalam panggung politik pencalonan presiden Indonesia. Dengan begitu, kandidat calon presiden dan wakil presiden dapat lebih beragam. Sebagai pemilih, masyarakat pun dapat menentukan pemimpin yang sesuai berdasarkan visi misi yang ditawarkan, bukan semata-mata karena ketenaran.  

Di lain sisi, penghapusan ambang batas pencalonan ini menghadirkan tantangan, terutama dalam menjaga keseimbangan antara partai besar dan partai non parlemen. Fragmentasi politik juga dapat terjadi jika tidak disertai dengan reformasi struktural yang mendalam. Tanpa pengendalian yang tepat, fragmentasi ini berisiko ketidakstabilan yang memperburuk representasi di parlemen.

Menurut Nur Fauzi Ramadhan, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dampak lain yang dapat muncul adalah peluang terjadinya "transaksi" antara partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar lolos dalam proses verifikasi faktual.

“Pelaksanaan dari keputusan [penghapusan] presidential threshold itu juga bagaimana partai politik menjadi suatu [mekanisme] yang menciptakan iklim bagaimana calon pemimpin itu benar-benar berkualitas melalui proses, melalui kaderisasi, melalui pemilihan secara konsesi. Bukan tiba-tiba calon tertentu itu dicalonkan karena adanya terjadi transaksi. Jangan seperti itu,” tutur Nur Fauzi Ramadhan.

Gen Z Dalam Aktivisme Hukum

Perjuangan pemuda-pemudi tersebut menjadi langkah monumental bagi sistem perpolitikan Indonesia. Tindakan keempat mahasiswa UIN Kalijaga membuktikan bahwa Generasi Z (Gen Z) tidak sekedar menjadi pengamat, tetapi juga berperan aktif dalam mengawal kebijakan publik melalui aktivisme dan advokasi kebijakan yang berbasis data dan fakta.

“Bagi kami perjuangan ini bukan hanya untuk memperbaiki hukum, tetapi juga membuktikan bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, memiliki peran penting dalam menjaga keadilan, memadukan aktivisme dengan akademik, dan menjadi solusi nyata bagi permasalahan bangsa,” ujar Enika Maya dalam wawancaranya dengan SUMA UI (16/1/2025).

Gen Z sering kali dianggap apatis terhadap lika-liku politis. Perjuangan ini menandai langkah besar bagi generasi muda, terutama Gen Z, dalam berpartisipasi aktif memengaruhi arah kebijakan politik di Tanah Air. Tahun demi tahun, berbagai gerakan pemuda semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran mereka terhadap isu-isu sosial, politik, dan hukum yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.

Dari generasi ke generasi, pemuda selalu memiliki tantangan serta strategi perjuangan yang berbeda dalam memperjuangkan aspirasi. Langkah yang dilakukan oleh Enika, Rizki, Faizal, dan Tsalis adalah bukti perjuangan mahasiswa untuk menegakkan demokrasi melalui jalur konstitusional.

“Menurutku, ada siklus 25 tahunan. Ini [mahasiswa sekarang], kan, mahasiswa yang hadir 25 tahun setelah Reformasi 1998, dan itu, ya, siklus 25 tahunan. Sebenarnya, kan, tahun 1974 itu ada Peristiwa Malari dan peristiwa itu menjadi salah satu tonggak juga. Kalau di tahun 1998 itu melalui unjuk rasa dan di tahun 1974 itu menggunakan cara-cara politik tertentu. Nah, di tahun ini melalui jalur-jalur yang konstitusional,” ungkap Nur Fauzi Ramadhan.

Keterlibatan Generasi Z dalam aktivisme hukum menandakan bahwa para pemuda-pemudi mampu mengimplementasikan ilmu yang didapat dari bangku perkuliahan. Melalui pembelajaran dan permusyawaratan, pemuda-pemudi juga turun langsung untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat dan mengawal kebijakan publik.

“Jadi, sebenarnya banyak talenta muda dalam aktivisme hukum yang mempraktikkan ilmu pengetahuan untuk menjaga negara hukum, demokrasi, dan konstitusi di Indonesia. Mereka harus dianggap sebagai masa depan demokrasi kita. Mereka harus dirangkul oleh semua pihak dengan baik dan jangan diintervensi,” komentar Titi Anggraini, pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia melalui kanal Youtube pribadinya yang berjudul Gen Z dan Putusan Monumental Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden (Nomination Threshold)

Representasi partisipasi dari Gen Z dalam sidang perkara MK merupakan bukti nyata dari kontribusi Gen Z untuk menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Langkah mereka tentu perlu diapresiasi, selayaknya yang disampaikan oleh Titi Anggraini dalam kanal Youtube pribadinya,

“Gen Z atau orang muda yang merupakan bagian dari populasi besar penduduk Indonesia hari ini, apabila diikuti oleh kesadaran politik dan demokrasi yang baik, akan berbuah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi tata kelola bernegara dan masa depan demokrasi Indonesia ke depan. Apa yang dilakukan oleh rekan-rekan mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga mengindikasikan tentang esensi demokrasi yang memang mensyaratkan adanya warga negara yang aktif dalam kehidupan politik dan bernegara.”

Putusan MK ini tidak hanya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem politik, tetapi juga menandai adanya peningkatan kesadaran politik di kalangan Gen Z. Partisipasi mereka dalam proses hukum dan advokasi kebijakan menunjukkan bahwa generasi muda tidak sekadar sebagai penonton dalam dinamika demokrasi, tetapi mulai berperan aktif dalam membentuk arah kebijakan negara.

Perjuangan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menghapus presidential threshold merupakan langkah substantif, tetapi tetap perlu diimbangi dengan perbaikan birokrasi, kodifikasi putusan MK, dan revisi undang-undang pemilu secara menyeluruh. Jika reformasi ini tidak dilakukan secara holistik, dapat terjadi konflik antara aturan baru dengan sistem yang sudah ada, yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Selain itu, implementasi keputusan MK tersebut harus dikawal dengan baik agar tidak terjadi penafsiran yang bias atau manipulatif oleh elite politik yang berkepentingan. Reformasi aturan seperti presidential threshold tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus diiringi juga dengan perbaikan mekanisme politik lainnya.

Teks : Zaskia Mardiyani Putri, Zulianikha Salsabila Putri

Editor : Widdy Fatimah, Anita Theresia

Foto : X/Titi dan hukumonline.com

Desain : Nabilah Sipi Naifah

Pers Suara Mahasiswa UI 2025

Independen, Lugas, Berkualitas!