Logo Suma

Pelecehan Seksual di Ruang Publik, Hanya 25% Penyintas yang Dibantu

Redaksi Suara Mahasiswa · 25 Oktober 2022
4 menit

Pada hari Jumat siang (21/10), Balai Purnomo dipadati mahasiswa yang menghadiri Pelatihan Pencegahan Kekerasan Seksual & Diskusi Publik dengan judul “#StandUP Melawan Kekerasan Seksual Kampus” yang merupakan acara kolaborasi antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), Narasi TV, L’Oreal Paris, DEMAND, dan FISIP UI.

Diskusi publik dengan fokus pembahasan berupa bystander intervention dalam dilatarbelakangi masih rendahnya kesadaran orang-orang untuk melakukan intervensi ketika kekerasan seksual terjadi. Hal ini menjadi temuan riset dari L’Oreal Paris yang mendapati bahwa 8 dari 10 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di ruang publik. Mirisnya, hanya 25% di antaranya yang mengatakan bahwa mereka menerima pertolongan dari orang sekitar saat peristiwa tersebut berlangsung.

Acara dibuka dengan sambutan Dekan FISIP UI yakni Semiarto Aji Purwanto, dan Melanie Masriel selaku Chief of Corporate Affairs, Engagement, and Sustainability L’Oreal Indonesia. Setelahnya, terdapat pelatihan intervensi saksi yang dipandu oleh Anindya Restuviani atau Vivi selaku perwakilan dari komunitas DEMAND (Di Jalan Aman).

Vivi memaparkan teknik-teknik intervensi yang dapat dilakukan ketika kita melihat tindak kekerasan seksual di ruang publik. Teknik ini disebut 5D, yang dapat dipilih sesuai dengan situasi dan preferensi—Dialihkan, Dilaporkan, Didokumentasikan, Ditegur, dan Ditenangkan. “Dialihkan” merupakan teknik untuk mendistraksi pelaku maupun korban ketika tindak kekerasan seksual sedang terjadi, misalnya dengan berpura-pura menanyakan jalan, menyenggol pelaku, dan lain-lain—untuk mengirimkan sinyal bahwa: ada seseorang yang mengawasi. Sebagai antisipasi untuk memperkuat barang bukti, saksi juga bisa mendokumentasikan tindak kekerasan seksual demi mendukung proses penindakan hukum berikutnya. Apabila situasi tidak terlalu membahayakan, saksi bisa menegur pelaku langsung dan menyatakan bahwa apa yang ia lakukan merupakan kekerasan. Teknik yang tak kalah penting adalah “Ditenangkan”---yakni menenangkan korban dari syok yang dialaminya, menemaninya, dan ada untuknya.

Setelah pelatihan, acara dilanjutkan dengan sesi talkshow, yang dimeriahkan oleh kehadiran lima narasumber: Founder Narasi Najwa Shihab, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, Co-Director DEMAND Anindya Restuviani, Chief of Corporate Affairs, Engagement, and Sustainability L’Oreal Indonesia Melanie Masriel, dan perwakilan anggota Komite Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual FISIP UI Anna Margret Lumban Gaol.

Dalam talkshow ini, Dekan FISIP UI mengumumkan terbentuknya Komite  Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di FISIP UI sebagai hasil gerak bersama antar sivitas akademika FISIP UI dalam upaya memastikan kampus yang nyaman dan aman dari kekerasan seksual.

“Inisiatif dari akar rumput lah yang mendorong terbangunnya kesadaran tentang penting dan mendesaknya penanganan terlembaga dalam merespon kekerasan seksual di kampus,” jelas Anna Margret Lumban Gaol, Anggota Komite Penanganan & Pencegahan Kekerasan Seksual FISIP UI.

Mendikbudristek Nadiem Makarim mengapresiasi FISIP UI yang telah mendahului pihak universitas dalam mengambil langkah terhadap isu kekerasan seksual. “FISIP UI ini mendahului perguruan tingginya dalam membentuk peraturan, komitmen yang luar biasa,” tutur Nadiem.

Kendati demikian, Nadiem juga mengungkapkan bahwa dirinya kecewa terhadap beberapa kampus yang belum melaksanakan mandat dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Mandat tersebut yaitu pembentukan satuan tugas atau satgas dan promosi awareness terkait definisi kekerasan seksual. Pembentukan satgas menjadi penting karena satgas memiliki kewenangan untuk menerima laporan dan kewajiban melindungi korban. Satgas juga memiliki kanal langsung ke Kemendikbudristek untuk melaporkan terkait hal-hal yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh perguruan tinggi.

“Harus bikin satgas, itu harga mati atau melawan Permendikbudristek,” tegas Nadiem Makarim.

Tak hanya Nadiem, Najwa Shihab pun turut menyoroti fenomena kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Najwa menekankan bahwa pemahaman masyarakat terkait kekerasan seksual masih sangat minim. Hal ini diamini oleh Nadiem dan Anna.

Menurut Anna, minimnya pemahaman membuat korban masih sangat rentan untuk mendapatkan reviktimisasi. “Jadi pengetahuan untuk tidak pernah mereviktimisasi atau memojokkan kembali korban yang sudah maju dan bicara tentang pengalamannya, saya pikir itu jadi hal penting,” ujar Anna.

Anna turut mengapresiasi langkah Kemendikbudristek dalam mengeluarkan Permendikbudristek. Lahirnya Permendikbudristek menjadi batu acuan bagi FISIP UI untuk memantapkan langkahnya dalam memberantas kekerasan seksual di kampus.

“Di level peraturan menteri ada, di undang-undang ada, maka FISIP tidak ragu lagi. Dan dengan dekan kita Mas Semiarto Adji yang kemudian mendukung dan secara resmi bulan Agustus telah disahkan peraturan dekan. Ada pedoman panduannya, ada komitenya,” terang Anna.

Pentingnya Bystander Intervention untuk Melawan Kekerasan Seksual di Kampus UI

Berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada tahun 2020 yang dikutip dari Komnas perempuan, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan dan 27 persen dari aduan terjadi di universitas. Membahas kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik, beberapa minggu belakangan ini, media sosial di lingkungan UI ramai membahas kabar pelecehan seksual yang terjadi di Bis Kuning, salah satu moda transportasi umum yang sering digunakan oleh sivitas akademika UI. Saat itu, beruntung ada seorang perempuan yang sadar dan segera menghentikan aksi pelaku dengan melakukan menegur pelaku dan menenangkan korban.

Namun kejadian seperti ini tentu tidak dialami satu orang, sedangkan perilaku intervensi seperti ini jarang ditemukan. Salah satu alasan mengapa orang-orang jarang atau tidak langsung bertindak saat menemukan kekerasan seksual di ruang publik adalah adanya fenomena bystander effect, yaitu efek psikologi sosial dimana suatu individu cenderung tidak menawarkan bantuan kepada korban ketika ada orang lain yang hadir. Dalam situasi tersebut, alih-alih menolong, orang-orang cenderung akan menunggu orang lain untuk membantu korban terlebih dahulu.

Selain melakukan 5D, bystander juga dapat memberikan respon terhadap kejadian ini jika memungkinkan. Misalnya dengan memberikan edukasi kepada pelaku bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan pelecehan yang dapat merugikan dan melanggar hak orang lain. Selain mengintervensi pelaku, bystander yang baik juga dapat memberikan pertolongan kepada korban dengan memberikan Rapid Psychological First Aid atau pertolongan pertama secara psikologis.

Caranya bisa dengan membangun solidaritas, memvalidasi pengalaman korban, menjaga kerahasiaan korban, memberikan ruang aman agar korban dapat bercerita dengan nyaman, kemudian menemani dan mendengarkan keluh kesah mereka tanpa menghakimi merupakan beberapa rangkaian bantuan yang dapat kita tawarkan kepada penyintas kekerasan seksual. Mengintervensi secara langsung tentu membutuhkan keberanian, namun ini merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan agar dapat saling menjaga untuk bersama-sama menciptakan ruang aman di lingkungan kampus Universitas Indonesia.

Jika saat ini kamu sedang merasa terancam dan membutuhkan bantuan dalam melawan kekerasan seksual di ruang publik maupun privat, silakan menghubungi hotline HopeHelps UI (0822-9978-8860) atau dapat juga menghubungi layanan psikologi, layanan hukum, layanan kesehatan & kesehatan reproduksi di Klinik Makara dan RS UI, serta akses keadilan terkait lainnya seperti Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polda atau Polres terdekat.

Teks: M. Rifaldy Zelan, Syifa Nadia
Editor: Dian Amalia A.

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!