Pelestarian Warisan Budaya, Tanggung Jawab Siapa?

Redaksi Suara Mahasiswa · 31 Mei 2022
6 menit

Akhir April kemarin, publik dihebohkan dengan kasus tembok bersejarah peninggalan Dinasti Mataram Kasunanan Kartasura yang dirusak oleh warga pembeli tanah di wilayah tersebut. Hal yang perlu digarisbawahi adalah situs bersejarah tersebut nyatanya sedang dalam proses pendaftaran Objek Diduga Cagar Budaya. Ironisnya, berita mengenai perusakan situs bersejarah tersebut naik ke publik pada 23 April, beberapa hari saja setelah peringatan Hari Warisan Dunia (World Heritage Day). Hari Warisan Dunia sendiri bertujuan untuk memperkenalkan kekayaan warisan budaya pada masyarakat dunia, sekaligus juga sebagai upaya menyadarkan masyarakat dunia akan pentingnya upaya pelestarian budaya.

Sebelum bergerak lebih jauh, perlu diketahui bahwa warisan budaya adalah hal berharga yang harus dijaga kelestariannya. Semua elemen, mulai dari tokoh-tokoh penting, kreator konten, sampai dengan pemerintah memiliki perannya masing-masing dalam upaya pelestarian budaya. Budaya dan warisan budaya sendiri, meskipun sekilas sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Kita perlu mengetahui perbedaan budaya dan warisan budaya terlebih dahulu sebelum memahami urgensi pelestarian warisan budaya itu sendiri. Lantas, apa perbedaan budaya dan warisan budaya?

Budaya memiliki makna yang sangat luas, tetapi secara umum, budaya itu sendiri bisa diartikan sebagai gaya hidup yang diwariskan secara turun-temurun dalam suatu kelompok masyarakat. Sementara itu, suatu tradisi yang dianggap unik dan merupakan hasil dari suatu pemikiran yang baik bisa dianggap sebagai warisan budaya. Warisan budaya sendiri bisa berupa warisan budaya benda–yang bisa diindra, seperti batik atau kitab-kitab keagamaan– dan warisan budaya tak benda, seperti praktik dan seni tradisi. Warisan budaya yang dilahirkan dalam sebuah masyarakat bisa menjadi warisan budaya nasional, bahkan menjadi warisan dunia yang diakui oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), lembaga khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berfokus pada perlindungan situs-situs sejarah dan budaya.

Upaya pelestarian budaya dan warisan budaya sendiri memerlukan, selain keterlibatan masyarakat umum, pemerintah juga memiliki porsi besar dalam tugas besar ini. Sejauh apapun masyarakat berusaha keras untuk mempertahankan kelestarian budaya dan warisannya, upaya itu tidak akan berbuah maksimal jika tidak didukung pemerintah. Begitupun sebaliknya, pemerintah juga tidak bisa melakukan program pelestarian budaya jika masyarakat enggan untuk melestarikan budaya itu sendiri.

Upaya Pelestarian Warisan Budaya: Antara Tugas Masyarakat dan Pemerintah
Suara Mahasiswa UI berhasil mewawancarai Syahrial, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, terkait tugas pemerintah terhadap upaya pelestarian budaya. Menurutnya, warisan budaya beserta upaya-upaya pelestariannya bukan hanya tugas pemerintah, melainkan juga masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat  justru memiliki kunci dalam upaya pelestarian budaya karena berada dalam suatu kelompok di mana budaya itu berkembang.

“Kebudayaan suatu masyarakat tidak akan hidup jika tidak didukung oleh masyarakatnya. Kesenian tradisi yang berlaku dan hidup di suatu daerah akan mati kalau masyarakatnya meninggalkan budaya tersebut, walaupun pemerintah mau untuk melestarikan. Jadi sebenarnya, masalahnya terletak pada masyarakat pendukung budaya itu, mereka mau melestarikan atau tidak?” tutur Syahrial.

Menurut Syahrial, ada dua faktor penentu yang membuat upaya pelestarian budaya berjalan dengan baik. Faktor pertama adalah faktor dari pemerintah berupa dukungan kebijakan, program-program, dan sokongan dana untuk upaya pelestarian budaya. Faktor kedua adalah dari masyarakat itu sendiri, apakah keinginan masyarakat cukup kuat untuk melestarikan budayanya?

Hal ini yang kemudian menjadi tantangan yang cukup berat bagi kita semua. Beban tersebut ada pada perubahan di masyarakat. Manusia pada dasarnya adalah makhluk dinamis yang menciptakan perubahan zaman. Perubahan yang dimaksud dalam hal ini adalah proses masyarakat untuk menjadi modern. Masyarakat kita yang tadinya adalah masyarakat tradisional, lambat laun berubah menjadi masyarakat modern yang mengikuti perubahan zaman dan tuntutan pekerjaan.

“Kita semua berproses menjadi masyarakat modern yang mengandalkan rasio. Akibatnya apa? seni tradisi kemudian menjadi tidak praktis, tidak membuat kehidupan menjadi lebih mudah. Misalnya, dulu ada pertunjukan wayang semalam suntuk, kalau sekarang tidak akan ada yang menonton lagi karena keesokan harinya kita harus bangun pagi untuk bekerja,” jelas Syahrial, “siklus itu akan terus berlanjut. Masyarakat modern terfokus pada waktu, berbeda dengan masyarakat tradisional yang lebih cair, dekat dengan alam, dan menghargai budaya,” tambahnya.

Karena tantangan yang berat inilah, budaya kemudian dianggap sebagai sesuatu yang tidak efisien dan hanya bagian dari cerita masa lalu oleh sebagian masyarakat. Ditambah lagi, alokasi dana yang disediakan tiap pemerintah daerah untuk upaya pelestarian budaya biasanya tergolong kecil. Kenyataan ini juga menjadi salah satu tantangan lain untuk perkembangan budaya di suatu masyarakat daerah. Hal ini kemudian berdampak pada banyak sekali seni tradisi yang musnah dan hilang, karena tidak lagi didukung masyarakat dan pemerintah. Untungnya, masih ada sejumlah kelompok yang masih bertahan melestarikan budaya itu, sehingga tradisi-tradisi tersebut masih dapat ditemukan di masyarakat kita.

Sementara itu, pemerintah pusat, walaupun belum maksimal, sudah berupaya untuk melestarikan warisan budaya. Hal ini ditunjukkan dengan diterbitkannya Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang disahkan pada tahun 2017. Undang-undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 87 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Selain menetapkan regulasi yang mengatur terkait perlindungan budaya dan warisan budaya, Pemerintah juga menyelenggarakan penganugerahan maestro seni tradisi yang diberikan setahun sekali, ditambah tunjangan hidup bagi maestro-maestro tersebut. Lebih lanjut, Pemerintah juga telah secara rutin mencatat budaya-budaya tradisional yang ada dalam masyarakat. Dilansir dari situs Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI, terdapat program berupa pencatatan dan penetapan warisan budaya tak benda (WBTB). Program ini dilakukan oleh pemerintah tingkat kabupaten, kota, provinsi, atau lembaga lain di mana pengusulan calon-calon WBTB dilakukan oleh dinas yang membidangi kebudayaan di tingkat provinsi kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk kemudian dinilai dan ditetapkan oleh tim ahli.

Meski begitu, menurut Syahrial, upaya-upaya tersebut perlu terus ditingkatkan. Misalnya pada tingkat daerah, pemerintah di daerah tersebut bisa membuat kebijakan-kebijakan yang menggairahkan kesenian tradisional di daerah masing-masing. Hal ini nantinya akan berdampak terhadap kebanggan warga terhadap tradisi yang ada di daerahnya. Jika hal itu benar-benar tercipta, kita sebagai bangsa Indonesia baru akan merasakan bahwa negara kita ini betul-betul kaya.

Upaya Pelestarian Warisan Budaya: Media Sosial Berperan Penting dalam Penyebaran Informasi
Di dunia yang sudah beralih menjadi serba digital, meski terpisah ruang dan waktu, masyarakat dapat dengan mudah memperoleh informasi mengenai suatu budaya atau warisan budaya yang lestari pada kelompok masyarakat tertentu dan tersebar di seluruh dunia. Ditambah lagi dengan hadirnya media sosial yang sudah seperti makanan sehari-hari warga dunia, pegiat budaya bisa memanfaatkan keberadaan media sosial dan platform digital lain sebagai salah satu cara untuk memperkenalkan warisan budaya sekaligus mengkampanyekan pentingnya pelestarian warisan budaya kepada khalayak umum.

Tidak hanya pemerintah, setiap elemen dalam suatu negara memiliki peran masing-masing dalam upaya pelestarian budaya. Masyarakat umum, mulai dari pendidik hingga kreator konten di media sosial juga bisa mengambil bagian dalam upaya pelestarian budaya, tidak terkecuali Belantara Budaya Indonesia.

Belantara Budaya Indonesia adalah yayasan yang berdiri pada 10 Juni 2013 dan bergerak di bidang kebudayaan. Dalam upaya pelestarian budaya, Belantara Budaya Indonesia memberikan sekolah gratis bagi siapa saja yang ingin belajar dan berkontribusi dalam upaya melestarikan warisan budaya. Founder BBI, Diah Kusumawardani Wiyanti berpendapat bahwa kegiatan pelestarian budaya dimulai dari masing-masing individu.

“Jangan ngomongin pemerintahnya dulu deh, ngomongin individunya dulu aja. Yuk bangun dong kesadaran diri sendiri untuk bangga akan budaya Indonesia. Maka dari itu aku berdiri di sini, aku ingin mengingatkan anak Indonesia bahwa kekayaan ini harus dijaga,” ajak Diah.

Hal tersebut yang akhirnya mendorong Belantara Budaya Indonesia untuk membuat sekolah gratis yang terdiri atas kelas tari dan musik tradisional. Kini, sekolah gratis tersebut sudah tersebar di berbagai daerah.

Sebagai yayasan pegiat warisan budaya Nusantara, Belantara Budaya Indonesia tentu memiliki banyak tantangan dalam perjalanan kegiatan pelestarian budayanya. Kekurangan SDM hingga dana adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh Belantara Budaya Indonesia. Meski begitu, Diah selaku Founder Belantara Budaya Indonesia mengaku bahwa kendala-kendala yang dihadapi kemudian terbayar dengan kebanggaan saat melihat anak didiknya bisa bersinar dan tampil di berbagai acara kenegaraan, bahkan mancanegara.

“Mereka bisa tampil di luar negeri, bisa tampil di Istana Negara, mereka bangga dengan kebudayaan Indonesia, ini adalah kebahagiaan buat kami (Belantara Budaya Indonesia -red). Berarti program yang dibuat di Belantara Budaya Indonesia terbangun dan orang-orang yang diajak nyambung, jadi goals-nya dapet” Ujar Diah.

Sementara itu, media sosial hadir di tengah-tengah kegiatan pelestarian budaya yang dilakukan oleh Belantara Budaya Indonesia. Dengan media sosial, ditambah lagi fakta bahwa generasi saat ini hampir semua memiliki media sosial, Belantara Budaya Indonesia memiliki kesempatan untuk memperluas jangkauan perkenalan pelestarian budaya terhadap generasi muda di Indonesia. Media sosial adalah salah satu opsi gratis untuk berkampanye mengenai kegiatan-kegiatan pelestarian budaya yang dilakukan oleh Belantara Budaya Indonesia.

Melalui media sosialnya, Belantara Budaya Indonesia melakukan kampanye dan update kegiatan secara rutin, juga memberikan tagar dan mention agar kegiatan yang diunggah di media sosial tersebar luas. Misalnya, pada peringatan hari besar, seperti Hari Kartini dan Hari Kemerdekaan, Belantara Budaya Indonesia membuat acara besar yang melibatkan anak-anak muda yang aktif di media sosial. Lewat unggahan anak-anak muda tersebut, Belantara Budaya Indonesia secara tidak langsung diperkenalkan kepada pengikut masing-masing akun, jangkauan Belantara Budaya Indonesia untuk membangkitkan lagi semangat mencintai budaya Indonesia pun semakin luas.

Diah sendiri mengaku bahwa media sosial sangat membantu untuk mempromosikan kekayaan Indonesia. Program-program Belantara Budaya Indonesia yang sangat banyak terbantu dengan hadirnya media sosial. Melalui liputan-liputan yang ditampilkan di platform digital, atau cerita dari mulut ke mulut, gerakan yang dibawa oleh Belantara Budaya Indonesia semakin membesar, meluas, dan pada akhirnya anak Indonesia akan kembali bangga dengan kearifan lokal sebagai identitas bangsa ini.

Harapan bagi Keberlangsungan Warisan Budaya Indonesia
Sebagai penutup, baik Diah atau Syahrial sama-sama menyampaikan harapannya untuk Indonesia. “Kami berharap anak Indonesia kenal dan tidak pernah lupa dengan warisan budaya dan tradisinya, karena kita begitu beragam. Kami juga berharap anak Indonesia mulai menanamkan kebanggaan akan budaya dan tradisinya,” pesan Diah.

Sementara itu, Syahrial berpesan agar selalu menghargai dan berusaha sebisa mungkin melestarikan warisan budaya. Meskipun bukan pelaku, minimal harus memberikan dukungan maksimal terhadap kelompok-kelompok yang sedang berusaha keras mempertahankan kearifan lokal tersebut. “Kita ini asalnya dari kampung dengan budaya masing-masing yang khas. Nenek moyang kita melestarikan budaya tertentu yang menjadi akar kita, jangan sampai dilupakan. Jangan mentang-mentang sudah modern, hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan kearifan lokal menjadi tidak penting,” tutup Syahrial.

Penulis: Salma Rihhadatul Aisy', Sekar Arum Ayu Wardani
Editor: Ninda Maghfira
Ilustrasi: Brilian Kesumanegara

Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!