Pemerkosaan Mei 1998: Teror Politik untuk Menundukkan Perempuan

Redaksi Suara Mahasiswa · 31 Mei 2021
8 menit

Bulan Mei, 23 tahun lalu, suasana Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia lainnya mencekam. Di hampir seluruh jalan besar kota, terdapat dua kemungkinan: jalanan sepi senyap atau dipenuhi oleh gerombolan yang merusuh. Teror demi teror menghampiri warga sipil yang kebingungan. Mulai dari krisis ekonomi, penjarahan, pembakaran, penembakan demonstran, hingga—yang sampai saat ini masih kerap disangkal—pemerkosaan massal.

Peristiwa 1998 tidak terlupakan bagi sejarah Indonesia. Peristiwa ini dimulai secara beruntun, mulai dari krisis finansial Asia 1997, kritik terhadap pemerintahan Orde Baru, tragedi Trisakti, hingga kericuhan dan penjarahan. Tidak hanya itu, penindasan terhadap etnis Tionghoa juga terjadi, terutama dialami oleh perempuan. Banyak perempuan keturunan Tionghoa diperkosa secara sadis. Namun, kasus tersebut tidak menemui titik terangnya hingga kini. Sementara itu, para korban memilih untuk melanjutkan hidup dan meninggalkan kejadian memilukan tersebut.

Para perempuan Tionghoa bukan hanya diperkosa, melainkan juga disiksa dengan benda-benda yang dapat menghilangkan nyawa mereka. Namun, banyak dari mereka yang tidak buka suara terhadap hal tersebut. Sebagian besar alasannya adalah merasa takut dan malu untuk mengakuinya. Kejadian itu membuat B.J. Habibie, presiden pada masa itu, membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang kemudian berkembang menjadi Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 23 Juli 1998. Tim tersebut beranggotakan 17 orang gabungan dari unsur pemerintah, Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan ormas lainnya.

Ita Fatia Nadia, eks Direktur Kalyanamitra sekaligus relawan yang turun langsung kala kerusuhan Mei 1998, menuturkan dengan jelas bagaimana kekacauan dan pemerkosaan itu terjadi. Seolah kejadian itu terjadi kemarin, dia menceritakan kisah para korban dengan lancar. Dari tanggal 12 hingga 15 Mei 1998, segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual menghantui perempuan-perempuan Tionghoa tidak peduli tua atau muda. Ita menuturkan bahwa dia pertama kali menyaksikan kekejian yang dilakukan sejumlah kelompok terhadap empat perempuan Tionghoa ketika tengah berkendara menuju Glodok. Ia melihat secara langsung bagaimana empat perempuan itu disiksa, diseret, diteriaki “Cina! Cina!” di sepanjang jalan, tidak peduli dengan kondisi memprihatinkan pakaian mereka yang sudah rombeng. Ketika ingin menolong pun, Ita harus menerima tindak kekerasan berupa pukulan dan jambakan dari kelompok tersebut. Empat perempuan tersebut akhirnya diamankan di sebuah hotel yang pemiliknya juga seorang keturunan Tionghoa.

Selain dari bentuk kekerasan terhadap perempuan Tionghoa, di saat yang bersamaan juga terjadi kerusuhan dan penjarahan kepada toko-toko milik keturunan Tionghoa. Pusat perbelanjaan GORO di Pasar Minggu, contohnya, yang tak lepas dari penjarahan. Tidak hanya itu, terjadi pula pembakaran terhadap rakyat miskin kota yang terperangkap di Yogya Plaza Klender, Jakarta Timur. Dengan kekacauan yang tidak terkontrol, akhirnya Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK) yang dipimpin oleh Romo Sandyawan Sumardi memutuskan untuk membuat satu tim khusus guna menangani pemerkosaan. Ita ditugaskan memimpin tim tersebut.

Tim yang dibentuk pada tanggal 13 Mei 1998 ini kemudian diberi nama Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP). Ita kemudian membentuk 4 tim, yaitu tim hotline, tim investigasi, tim pendampingan korban, dan tim dokumentasi. Tidak hanya itu, TRKP juga menerima relawan-relawan yang berasal dari kalangan mahasiswa hingga ibu-ibu rumah tangga.


Pemerkosaan Tanpa Dorongan Seksual

Sore hari di tanggal 13 Mei, Ita menuju ke Universitas Trisakti setelah mendapatkan sebuah telepon. Di sana, Ita menyaksikan dua tubuh mahasiswi ditutupi dengan plastik hitam. Mahasiswi tersebut berasal dari Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Univesitas Trisakti. Ketika Ita membuka plastiknya, dia melihat dada dari mahasiswi FK yang dilukai dengan keji dengan cara dipotong putingnya, sedangkan mahasiswi FEB mengalami pendarahan hebat karena alat kelaminnya dilukai dengan roll film. Pemerkosaan ini tidak dilakukan dengan alat kelamin laki-laki, melainkan alat tak lazim yang ditujukan untuk merusak alat kelamin korban. Kedua mahasiswi ini dibawa ke rumah sakit yang ada di Singapura. Di perjalanan menuju bandara, Ita menyaksikan bagaimana warga keturunan Tionghoa berusaha keluar dari Jakarta dicegat dan dianiaya massa.

Setelah mengantar dua mahasiswi tersebut dan memastikan bahwa mereka naik ke pesawat, Ita segera menuju ke Cengkareng setelah mendapat pesan pager untuk menuju ke Mal Cengkareng. Setibanya di sana, dia mendapati dua perempuan Tionghoa di depan taman mal yang lagi-lagi diperkosa menggunakan gagang sapu. Dua perempuan tersebut dibawa ke rumah seorang Haji yang istrinya adalah bidan, Ita pun menitipkan dua perempuan tersebut di sana untuk kemudian paginya dibawa ke Rumah Sakit Siloam di Kebon Jeruk.

Kisah paling tragis yang disaksikan sendiri oleh Ita yaitu terjadi pada tanggal 15 Mei 1998. Dini hari jam 4 pagi, Ita mendapatkan telepon mengenai laporan pemerkosaan yang menimpa satu keluarga. Korban lain, yaitu ibu dan kakaknya, sudah meninggal karena pendarahan pasca diperkosa. Satu-satunya korban yang pada saat itu masih hidup adalah gadis berusia 11 tahun bernama Fransiska. Ita kemudian memangku gadis yang tengah sekarat karena pendarahan hebat dari alat kelaminnya yang dirusak.

“Saya bilang, ‘Kalau kamu tidak kuat, kamu pergi lah, pulang lah ke rumah abadimu. Kamu kayaknya nggak kuat. Kita nggak apa-apa, tenanglah’,” tutur Ita dengan suara bergetar. Sekitar pukul 11.15 WIB, Fransiska menghembuskan napas terakhir di dekapan Ita. Kemudian, bersama bibi dari Fransiska, Ita membersihkan tubuh gadis itu. Diketahui bahwa Fransiska diperkosa dengan botol kaca yang kemudian sengaja dipecahkan, sehingga banyak pecahan kaca melukai alat kelaminnya. Ita kemudian mendandani Fransiska sebaik mungkin sebelum dikremasi di Cilincing bersama ibu dan kakaknya.


Bayang-bayang Penyangkalan terhadap Tragedi Kemanusiaan

Pemerkosaan 1998 banyak mendulang keraguan. Dalam beberapa tahun belakangan, muncul berbagai narasi yang menyanggah adanya tindakan keji tersebut. Bilamana biasanya kabar macam itu disebarkan oleh buzzer di media sosial, pada hal ini kami menemukan bahwa beberapa media besar bahkan mengangkat narasi keraguan terhadap pemerkosaan 1998. Penyangkalan demi penyangkalan banyak sekali beredar di internet, dimana hal ini menunjukan upaya invalidasi terhadap penderitaan—bahkan pengalaman—para korban. Salah satunya, dan mungkin yang cukup menggemparkan pada masanya, adalah pemberitaan dari Republika tahun 2017, bertajuk “Suaka Via Perkosa: Menguak Kebenaran Perkosaan di Kerusuhan Mei 1998”.

Tuduhan-tuduhan dalam artikel itu menunjukan bahwa “cerita karangan” pemerkosaan 1998 hanyalah akal-akalan dari sejumlah warga keturunan Tionghoa agar mendapat suaka politik. Lebih dari itu, reporter menuliskan bahwa pemerkosaan tersebut dibawahi oleh sebuah sindikat internasional.

Dalam paragraf akhir, reporter menuliskan: “Memang ada kasus perkosaan, tetapi bukan massal. Bukan hanya pada Mei 1998. Hampir tiap bulan juga ada kasus perkosaan di sejumlah tempat di Jakarta dan lainnya. Kasus kriminal biasa. Hasil penyidikan FBI akhirnya membongkar kebohongan itu”. Narasi seperti ini sangat berbahaya, bukan hanya karena reporter seakan menempatkan pemerkosaan sebagai tindak kriminal biasa, tapi ia juga menyanggah fakta yang ada. Padahal, hasil investigasi dari TGPF dan relawan kemanusiaan telah membuktikan adanya pemerkosaan massal.

Menurut Ita, Orde Baru masih menyangkal adanya pemerkosaan massal. Namun, B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto menjadi presiden, memercayai data-data temuan relawan dan membentuk sebuah tim khusus, yaitu cikal dari Komnas Perempuan, yang tugas pertamanya adalah mengungkap fakta pemerkosaan 1998. Bahkan, negara telah memerintahkan Komnas HAM membentuk TGPF untuk menindaklanjuti laporan dari korban. TGPF telah mengkonfirmasi puluhan kasus pemerkosaan. Tim relawan mengonfirmasi adanya 156 korban pemerkosaan—dan mungkin saja jumlahnya lebih banyak dari data yang dimiliki. Komnas HAM juga telah menetapkan pemerkosaan massal 1998 sebagai kejahatan melawan kemanusiaan, karena telah memenuhi tiga unsur kejahatan melawan kemanusiaan: sistematik, terstruktur, dan meluas.

Sayangnya, narasi-narasi penyangkalan masih digaungkan di mana-mana. Hal ini membuat korban semakin terasing dari keadilan yang seharusnya didapatkan. “Meskipun ada perlindungan saksi korban, ada Komnas Perempuan, ada Komnas HAM, tetapi truth dan keadilan itu belum diberikan kepada korban. Diskriminasi terhadap perempuan masih ada, perkosaan Mei tetap disangkal, (dianggap—red) sebagai omong kosong,” tutur Ita.

Penyangkalan terhadap tragedi kemanusiaan ini dapat terjadi karena negara malu akan hal ini. Selain itu, penyangkalan juga merupakan bentuk defensif negara terhadap tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM. Negara mencoba “menyelamatkan muka” di tingkat internasional.

Mengenai upaya menyelamatkan muka negara, terdapat satu kasus keji lainnya, yaitu pembunuhan terhadap Ita Martadinata. Ia adalah seorang murid SMA keturunan Tionghoa yang juga menjadi korban pemerkosaan 1998. Ia mengajukan diri untuk bersaksi di Sidang PBB mengenai pemerkosaan massal di Indonesia. Nahasnya, seminggu sebelum berangkat ke New York, Ita Martadinata dibunuh secara brutal. Lehernya dipotong dan duburnya ditusuk menggunakan kayu, lagi-lagi oleh orang-orang berperawakan tegap dan berambut cepak. Pembunuhan terhadap Ita Martadinata merupakan pembunuhan dengan tujuan politis: untuk mencegah dunia mengetahui fakta bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.

“Sehingga, itu juga satu simbol yang mau mengatakan bahwa, ‘Hei, kalau kamu mau ngomong di tingkat internasional, nih kamu akan seperti Ita Martadinata ini. Nasibmu akan seperti itu.’ Jadi sesudah pembunuhan Ita Martadinata (di tanggal—red) 9 Oktober, seluruh korban diam dan tidak ada yang mau bercerita sampai detik ini. Jadi pembunuhan Ita Martadinata adalah membungkam suara korban,” ujar Ita.

Lagi-lagi, siapa pembunuh Ita Martadinata tidak diketahui. Di pengadilan, yang dituduh menjadi pelaku adalah Otong, seorang tukang kebun. Sementara itu, Otong sendiri bersaksi bahwa ia tidak membunuh. Bila ditarik ke belakang, pola pengkambinghitaman seperti ini juga terjadi pada kasus Sum Kuning (kasus pemerkosaan terhadap gadis penjual telur di Yogyakarta pada 1970 yang tak pernah terungkap siapa pelakunya). Begitu pula dengan pelaku pemerkosaan Mei 1998 yang tidak pernah terungkapkan, justru oleh beberapa pihak didokumentasikan dalam film-film yang mengarahkan ke rakyat sebagai pelakunya. Hal ini adalah sebuah counter yang dilakukan untuk menyangkal bahwa pemerkosaan ini benar-benar terjadi.

Orang-orang yang dituduh melakukan pemerkosaan justru warga sipil. Padahal, dari fakta yang dikumpulkan TGPF dan relawan kemanusiaan, seluruh pelaku pemerkosaan memiliki ciri-ciri yang serupa: berbadan tegap dan berambut cepak. Merupakan hal yang sangat aneh bagi warga sipil untuk bernafsu di saat situasi sedang kacau. “Mana ada rakyat, laki-laki yang dalam keadaan chaos seperti itu, kemudian terangsang untuk memperkosa dalam jangka waktu 5 menit? Tidak ada, saya tidak pernah menjumpai dalam keadaan chaos politik seperti itu, orang pengen memperkosa sembarangan dan hanya 3 menit atau 5 menit, (telebih lagi—red) dengan alat,” sambung Ita.

Pemerkosaan Massal: Penundukan dan Upaya Meredam Gejolak Sosial

Tidak dapat dipungkiri, apa yang menimpa korban pemerkosaan 1998 bukanlah bentuk pemerkosaan yang selama ini dipahami masyarakat—didorong oleh nafsu dan bertujuan memuaskan libido. Pola pemerkosaan seperti ini jauh lebih mengerikan dibanding pola pemerkosaan pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari metodenya, yang menggunakan benda tidak lazim untuk merusak vagina korban. Ita menyatakan bahwa hal ini adalah bentuk teror. Pihak peneror menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan sebagai alat politik. Perilaku ini muncul dari pandangan-pandangan misoginis. Selain itu, perempuan juga dianggap sebagai lambang kehormatan komunitasnya. Memperkosa seorang perempuan dapat menunjukan seseorang telah merampas kehormatan komunitasnya.

Seperti yang dituturkan oleh Ita, pada kasus pemerkosaan di Kemayoran, seorang korban yang sudah tidak berdaya justru diberi minum racun serangga oleh keluarganya, agar korban tersebut segera meninggal, karena dia dianggap aib. “Karena itu (pemerkosaan yang menimpanya dianggap—red) aib. Jadi, lebih baik dia mati.”

Masyarakat dari komunitas minoritas selalu lebih rentan mendapat serangan seperti ini. Pemerkosaan dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa untuk meneror, menaklukan, juga memberi pesan pada suatu komunitas. Sehingga, dalam hal ini pemerkosaan 1998 merupakan alat politik. Masyarakat sipil, utamanya perempuan, selalu menjadi tumbal dari adanya gejolak sosial dan politik di suatu wilayah.

Menarik jauh ke belakang, beberapa peristiwa serupa juga terjadi, bahkan di belahan dunia lainnya. Sebut saja pemerkosaan Nanking di Tiongkok, praktik Jugun Ianfu di negara-negara jajahan Jepang, imbas konflik Hutu dan Tutsi di Rwanda, hingga pemerkosaan terhadap perempuan yang dituduh Gerwani pada kisaran tahun 1965. Perempuan dan tubuhnya selalu dijadikan alat untuk menunjukan kuasa di saat konflik. Risiko penggunaan metode seperti ini masih sangat besar, terutama bagi kelompok minoritas. Selalu ada yang dikorbankan dari sebuah perubahan.

Tragedi pemerkosaan 1998 menjadi sebuah kenyataan yang memilukan bagi perempuan di Indonesia, terlepas dari etnis manapun ia berasal. Pemerkosaan tersebut bukan bertujuan untuk memenuhi kepuasan seksual, tetapi sebagai alat penundukan. Dengan kata lain, tubuh perempuan dijadikan sarana untuk melancarkan teror dalam perubahan politik.

Untuk mencegah adanya kekerasan-kekerasan seksual lainnya pada perempuan, Ita berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan, karena berpotensi besar untuk melindungi atau menghapuskan seluruh bentuk kekerasan seksual dari berbagai perspektif gender. Selain itu, pendekatan antikekerasan harus menjadi kebijakan publik secara berkelanjutan. Dengan demikian, tragedi ini harus terus disuarakan karena merupakan tanggung jawab bersama bagi perempuan.

“Kalian tidak boleh diam, terus menerus harus menyuarakan ini, karena kalian adalah perempuan dan itu adalah tanggung jawab kita bersama,” tutup Ita.

Teks: Aulia Maulida, Nada Salsabila, Intan Eliyun
Kontributor: Giovanni Alvita
Foto: VOA Indonesia
Editor: Giovanni Alvita

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!