Pemuda, Globalisasi, dan Kosmopolitanisme

Redaksi Suara Mahasiswa · 6 November 2021
4 menit

Pada 28 Oktober lalu, Indonesia kembali memestakan Sumpah Pemuda sebagai titik kulminasi diikutsertakannya pemuda dalam pergerakan nasionalisme. Hampir satu abad berlalu, ketiga ikrar masih bergelora dengan sifatnya yang monumental, memantik para pemuda untuk berkontribusi terhadap negara. Dinamika dan perjalanan waktu telah mengantarkan generasi muda pada alternasi peran, dari pengusir penjajah menjadi pemegang tongkat kebaruan. Teringat jelas penggalan pidato Bung Karno yang berbunyi, “Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Sekilas, kata-kata yang selalu muncul dalam peringatan Sumpah Pemuda di lapangan sekolah tersebut menyerukan beban yang besar untuk pemuda dan generasi setelahnya.

Saya pribadi mendefinisikan pemuda sebagai individu yang memiliki karakter dinamis dan dikonstruksikan sebagai pemilik masa depan oleh khalayak umum. Sejalan dengan pernyataan Bung Karno, pemuda memainkan peran fundamental dalam perkembangan zaman khususnya globalisasi. Kini, akses terhadap informasi memudahkan interaksi dengan nilai, budaya, dan bahasa yang disiarkan secara universal melalui berbagai kanal. Bersamanya, pemuda tetap dituntut untuk mempertahankan nilai dan identitas yang telah disematkan sejak lahir oleh para pendahulu. Pertanyaan pentingnya, bagaimana seharusnya pemuda menempatkan diri pada keterbukaan yang ditawarkan? Apa saja tantangan identitas yang dihadapi oleh pemuda—khususnya di Indonesia—hari ini?

Globalisasi dan Sikap Pemuda

Mengutip David Held dan Anthony McGrew dalam tulisannya yang berjudul “Rethinking Globalization”, globalisasi mengacu pada perwujudan transformasi dalam lingkup hubungan sosial dan transaksi yang menghasilkan arus antar wilayah dan peningkatan aktivitas, interaksi, hingga penggunaan kekuasaan. Lebih jauh lagi, meluasnya interkonektivitas global yang diisyaratkan dalam perkembangan sistem transportasi dan komunikasi di seluruh dunia meningkatkan potensi kecepatan difusi ide, barang, informasi, modal, dan manusia. Meskipun terdengar elegan dan kerap mendapatkan titel sebagai simbol modernitas, globalisasi nyatanya menghasilkan skeptisisme dari berbagai kalangan. Beberapa kritik yang dilayangkan membahas seputar ketimpangan akses dan informasi yang dihasilkan oleh globalisasi, bahwa hal tersebut jauh dari kata-kata manis tentang modernisasi.

Perkembangan globalisasi telah banyak memengaruhi lanskap politik, sosial, dan ekonomi di berbagai wilayah. Dalam beberapa hal, arus global juga mendorong homogenisasi ide, budaya, dan informasi—kini bukan hal yang mustahil bagi kelompok masyarakat di bantaran sungai Nil untuk mengikuti tren fesyen negara Barat, atau anak-anak di Rumania membicarakan kontestasi politik antara Donald Trump dan Joe Biden. Kemudian dari segi ekonomi, globalisasi telah berkontribusi terhadap ekspansi kapital dan tenaga kerja yang tidak jarang menimbulkan ketimpangan upah, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Sayangnya, tren negatif dari globalisasi masih mendapat dukungan oleh pemerintah, salah satunya melalui pengesahan RUU Cipta Kerja pada 2020 lalu dan dihapuskannya Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang memuat kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja sesuai dengan ketentuan upah minimum. Selain itu, dampak buruk globalisasi juga terlihat dari aktivitas pembangunan yang kerap melupakan keberlangsungan hidup flora dan fauna, juga masyarakat di sekitar area pembangunan yang bersandar pada kehijauan sebagai mata pencaharian.

Layaknya perkembangan tren pada sosial media, perkembangan globalisasi yang cepat turut mendorong perubahan gagasan pada pemuda hari ini dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Merujuk pada hal tersebut, saya menaruh fokus pada minimnya rekognisi terhadap masalah-masalah sosial di sekitar. Tidak dipungkiri, saya pribadi merasakan bahwa kemudahan akses informasi dan interaksi ke berbagai wilayah seakan membutakan berbagai kejanggalan yang hadir di depan mata. Hak-hak terhadap kebutuhan pokok, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan fundamental lainnya masih terbatas pada kelompok masyarakat di kelas menengah. Sayangnya, permasalahan tersebut salah satunya tertutup oleh narasi pemuliaan kontribusi pemerintah Indonesia dalam hubungan internasional, yang kadang kala tidak mengindahkan dampak keikutsertaan tersebut kepada masyarakat.

Melanjutkan pembahasan sebelumnya, konektivitas dan kemudahan interaksi di media sosial juga menjadi aral tersendiri bagi pemuda dewasa ini. Kultur anonimitas dan tindakan reaktif masyarakat dunia maya berdampak pada maraknya cancel culture. Tentu, setiap orang memiliki konsekuensi atas pendapat yang diutarakan kepada khalayak umum. Namun, saya pribadi menyoroti ketidaksadaran beberapa kelompok yang memiliki kenyamanan akses terhadap informasi untuk menghakimi mereka yang awam dengan nilai-nilai universalisme. Ada baiknya pemuda turut menyadari permasalahan struktural agar terhindar dari pemahaman yang parokial terhadap suatu peristiwa sosial.

Kosmopolitanisme, Perlukah Dilestarikan?

Berbicara soal homogenitas nilai dan ide dalam globalisasi, saya melihat relevansi gagasan kosmopolitanisme yang turut berperan dalam transisi ide dan nilai dalam masyarakat. Gagasan kosmopolitanisme modern diresmikan oleh Immanuel Kant melalui sebuah paham yang memandang bagaimana manusia mengidentifikasikan diri mereka sebagai “warga dunia” yang memiliki tanggung jawab atas individu lain dengan perbedaan identitas dan budaya. Kosmopolitanisme juga merujuk pada kebebasan bermoral dan menggunakan institusi sebagai salah satu alat untuk mengaktualisasikannya. Bersamaan dengan institusi, solidaritas menjadi elemen pendukung dalam aktualisasi kebebasan bermoral, juga sebagai kunci untuk menjembatani perbedaan budaya yang ada di dunia. Tanpa solidaritas, tujuan utama Kosmopolitanisme yaitu perdamaian tidak akan tercapai. Dalam pandangan Kant, kosmopolitanisme turut didukung oleh perdagangan dunia dan pertemuan antar negara untuk menciptakan ruang publik yang akan melindungi hak kosmopolitan setiap aktornya.

Sayangnya, pandangan universal terhadap ide dan norma yang diajukan oleh gagasan kosmopolitan tampak mengalami benturan dengan sifat relatif dari budaya. Hal ini dapat terlihat dari penerapan nilai-nilai HAM dengan berlandaskan pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Dalam persebarannya, universalisme HAM kerap mendapatkan kritik lantaran mereduksi nilai budaya yang telah menjadi standar norma di beberapa negara serta absennya konsensus yang mewakili seluruh suara masyarakat dalam pembentukan hak-hak universal. Perdebatan antara universalisme HAM dan relativisme budaya mencerminkan segelintir problematika dari istilah “warga dunia.” Solidaritas yang disampaikan Kant dengan kata lain hanya sebagai lamunan yang dilahirkan kaum kosmopolitan. Layaknya globalisasi, narasi kosmopolitanisme juga tidak disertai mekanisme penyamarataan akses terhadap berbagai kelompok masyarakat.

Pemuda yang dikonstruksikan sebagai pemegang masa depan sekali lagi memiliki andil besar dalam denyut gagasan kosmopolitanisme. Dengan mempertimbangkan budaya dan nilai dalam diri pemuda, rasanya istilah “warga dunia” harus dipertimbangkan kelayakannya untuk mewakilkan identitas. Saya percaya bahwa dunia hadir sebagai wadah interaksi manusia yang heterogen, bukan sarana peletakan nilai-nilai universal yang mereduksi latar belakang dan identitas setiap individu. Dengan demikian, globalisasi dan kosmopolitanisme mungkin akan tetap melekat pada aktivitas manusia, tetapi pilihan untuk sadar terhadap disparitas yang menyertainya ditentukan oleh pendirian setiap pemuda.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Diyo Aryalingga (FISIP UI)
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi

Cheah, P. (2006). Cosmopolitanism. Theory, Culture & Society, 23(2-3), 486–496. https://doi.org/10.1177/026327640602300290

Debora, Y., & DH, A. (2020, October 6). Daftar Pasal Bermasalah Dan Kontroversi omnibus Law Ruu Cipta Kerja. tirto.id. Retrieved November 4, 2021, from https://tirto.id/daftar-pasal-bermasalah-dan-kontroversi-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-f5A U.

Delanty, G. (2020). Routledge International Handbook of Cosmopolitanism Studies. Routledge.

Held, D., & McGrew, A. (2016). The global transformations reader: An introduction to the globalization debate. Polity Press.

Reichert, E. (2006). Human rights: An examination of universalism and cultural relativism.

Journal of Comparative Social Welfare, 22(1), 23-36.