Logo Suma

Pemuda Pancasila, Kekerasan Negara, dan Eksistensinya di Kampus

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Februari 2022
5 menit

Ini merupakan cerita dari setahun lalu yang hingga kini masih belum usai. Kami berkesempatan mengunjungi Pancoran yang tengah dilanda konflik agraria. Aroma keringat kami pada siang terik hari itu menguar bersama debu reruntuhan bangunan. Kami duduk beralaskan kardus di depan rumah dari anyaman bambu yang masih tersisa sembari menyimak serius kisah “Mami”—begitu julukan akrabnya di Gang Pancoran Buntu II ini. “Tapi akhirnya kan turun ormas PP (Pemuda Pancasila), sepuluh orang gitu. Akhirnya itu demo pertama kami, warga maju, tapi yang selalu maju itu ibu-ibu karena kalau bapak-bapak atau laki-laki takutnya emosi,” demikian penuturan Mami. Kepada para relawan, Ia menceritakan seluk-beluk konflik lahan antara warga Pancoran dengan PT. Pertamina yang sudah terjadi selama puluhan tahun. Konflik ini kian rumit lantaran diwarnai oleh bentrokan antara warga dengan ormas. Menurut penuturan warga, oknum ormas yang terlibat dalam konflik ini adalah oknum bayaran yang ditugaskan untuk melancarkan kepentingan pihak tertentu.

Kemudian Rabu (17/03/21), menjadi salah satu hari kelabu bagi warga Pancoran. Pada hari itu, ormas memobilisasi massa di portal. Intimidasi juga dilakukan oleh oknum ormas dengan mengacungkan senjata tajam seperti pisau dan celurit ke arah warga. Selanjutnya, oknum ormas pun mulai memprovokasi warga dengan cara melempari batu hingga melukai kepala warga. Aparat yang datang sejurus kemudian justru malah membentuk barisan bersama anggota ormas.

Meskipun masih belum bisa dikonfirmasi secara pasti—apakah ormas yang diterjunkan dalam konflik Pancoran merupakan oknum suruhan pejabat negara—ini bukan pertama kalinya pihak tertentu berupaya untuk “membenturkan” warga dengan ormas dalam suatu konflik. Pertanyaan yang muncul selanjutnya, seandainya premis tersebut betul adanya, bukankah ini termasuk bentuk dari kekerasan negara yang dilancarkan melalui pelibatan organisasi masyarakat?

Sekilas Sejarah Pemuda Pancasila

Dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia, Ian Wilson berpendapat bahwa keberadaan geng, preman, dan milisi telah menjadi ciri yang melekat pada kehidupan sosial-politik di Indonesia. Pada masa orde baru, upaya “penegakan” kekuasaan yang absah ditunjukkan melalui berbagai cara, tak terkecuali melalui koersi resmi bentukan negara. Koersi yang terwujud dalam bentuk premanisme ini, dapat menjadi suatu gerakan yang terkoordinasi di bawah komando tokoh yang berpengaruh secara lokal.

Lebih lanjut, Ian Wilson mencontohkan Pemuda Pancasila (PP) sebagai salah satu organisasi massa (ormas) yang lekat dengan pemerintah di masa orde baru. Awalnya, Pemuda Pancasila lahir pada 1959 untuk berjuang mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara, sekaligus menghadapi dominasi Pemuda Rakyat (PR)—sebuah ormas sayap kiri yang cukup populer pada masanya. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu PP merupakan organisasi di bawah Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang berafiliasi dengan TNI-AD. Pasca peristiwa G30SPKI, rezim orde baru mengerahkan PP sebagai kaki-tangannya untuk membasmi orang-orang berhaluan komunis. Kekuatan PP pun semakin meluas semasa puluhan tahun kepemimpinan orde baru—ia menjadi ormas yang cukup signifikan dan mulai dikenal akan aksi premanisme yang dilancarkannya atas tuntutan dari pemegang kekuasaan.

Runtuhnya rezim orde baru menyebabkan PP tak lagi terafiliasi secara erat dengan pemerintah. Dilansir dari ABC, Ian Wilson mengatakan bahwa reformasi menandai perubahan relasi antara elit dengan ormas-ormas. Meskipun tak lagi begitu lekat dengan pemerintahan, ormas masih tak jauh-jauh dari hingar-bingar politik. Pasca reformasi, mereka eksis selayaknya pegawai lepas (freelance) yang bekerja tatkala ada permintaan tertentu.

Afani, seorang alumni prodi Sejarah Universitas Indonesia angkatan 1995 yang kini berkecimpung di dunia ormas, mengakui bahwa terjadi perubahan pola antara hubungan ormas tertentu dengan elit negara pasca keruntuhan orde baru. Relasi antara ormas dengan elit negara kini diwarnai dengan kepentingan politik pragmatis jangka pendek. Hal ini, misalnya, terlihat pada pengangkatan Jokowi dan Maa’ruf Amin sebagai anggota kehormatan Pemuda Pancasila. Ia menilai ini sebagai “basa-basi politik”.

“Jokowi membutuhkan dukungan infrastruktur politik yang PP sudah cukup banyak, PP mengharapkan dia dapat kompensasi jabatan-jabatan tertentu,”

Pemuda Pancasila Pasca Orde Baru

Salah satu organisasi binaan PP yang bergerak dalam bidang pengkaderan pelajar dan mahasiswa adalah Satuan Siswa, Pelajar, dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP). SAPMA PP sempat vakum selama sepuluh tahun, dari tahun 1997 sampai 2007, karena PP nyaris dibubarkan pada tahun 1998. Setelah tahun 1998, Sapma PP memisahkan diri. Pada 2015 silam, sesuai dengan keputusan Musyawarah Besar I, Sapma PP menjadi organisasi mandiri.

Kami mencoba untuk menghubungi Denny, Ketua SAPMA PP Pusat, untuk memperoleh keterangannya mengenai keterlibatan ormas dalam konflik antara negara dan warga serta keberadaannya di kampus-kampus. Ia memaparkan, “Itulah ormas. Kalo ketua umum kita, Pak Yatno, itu bilang ‘memang kita itu organisasi preman’. Preman ini kan dari bahasa Belanda, orang-orang bebas,” Kendati demikian, Denny menjelaskan lebih lanjut bahwa saat ini setiap kader sudah ditekankan untuk tidak melakukan tindak kekerasan.

Sebuah artikel menerangkan bahwa Pemuda Pancasila tidak pernah menginstruksikan dan terlibat dalam bentrokan massa, yang sering terjadi ialah karena permasalahan oknum anggota ormas Pemuda Pancasila dengan anggota ormas yang lain. Bentrokan ini biasanya terjadi pada tingkat bawah. Menurut Yahya Abdul Habib dalam (Hidayat, 2019), ada empat kategori anggota dalam ormas Pemuda Pancasila, dari yang terendah yaitu anggota biasa, lalu anggota kader, kemudian anggota kehormatan, dan anggota luar biasa sebagai tingkat keanggotaan tertinggi. Melihat dari kaderisasi atau pola rekrutmen Ormas Pemuda Pancasila, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya kemungkinan beberapa anggota organisasi, terutama anggota biasa mendapatkan pelatihan atau pengetahuan yang kurang maksimal, sehingga rawan terjadi bentrokan antar anggota karena masalah pribadi. Faktor lain seperti tingkat ekonomi anggota juga dapat memicu bentrokan. Seharusnya, dalam pola rekrutmen atau pengkaderan, semua anggota ormas Pemuda Pancasila harus dibekali dengan pelatihan dan pengetahuan yang memadai untuk menghindari perilaku destruktif semuanya dari para anggota.

Keberadaan Pemuda Pancasila di Kampus?

Pada umumnya, anggota PP direkrut dari kalangan penjaga keamanan, pasar-pasar, dan parkiran liar — karena citranya yang lekat menggunakan kekerasan dalam menjalankan pekerjaannya. Kendati demikian, demi memenuhi kebutuhan strategis, PP memperluas sasaran kaderisasinya hingga meliputi berbagai golongan, seperti pelajar dan mahasiswa, melalui perantara SAPMA PP.

Di lingkungan mahasiswa, kaderisasi ormas sebenarnya sudah merupakan hal lumrah yang berjalan diam-diam dan tidak terlalu nampak polanya. Pengkaderisasian SAPMA PP baru dimulai lagi setelah tahun 2007. Deny menuturkan, pengkaderisasian awalnya dilakukan secara informal, seperti dengan menggaet kawula muda yang sedang nongkrong di kafe. Seperti PP, SAPMA memiliki tiga tingkatan dalam kaderisasi, dari Pratama, Madya dan Utama. Materi pengkaderisasian berbeda-beda disesuaikan dengan tingkatannya. Image preman juga masih lekat dalam SAPMA, walaupun mereka mengklaim bahwa SAPMA sudah berubah.

Sebagai salah satu universitas yang memiliki banyak alumni yang memiliki jabatan tinggi dalam ranah politik, tidak aneh rasanya bila SAPMA membuka pintunya di UI. Walaupun demikian, ketika ditanya mengenai keberadaan SAPMA di UI, Deny justru malah balik bertanya, “SAPMA PP apa ada di UI?”

Berdasarkan penelusuran kami, SAPMA PP sempat eksis di UI dan memiliki laman website tersendiri pada kisaran tahun 2013. Namun, setelah itu, gaung dari SAPMA PP tak lagi santer terdengar meskipun ada desas-desus bahwa SAPMA PP UI mulai dirintis kembali.

Sementara itu, Afani mengiyakan adanya pengkaderan PP di kampus. “Hampir semua ormas punya sayap di mahasiswa,” katanya. Ia melihat ini sebagai agenda untuk mereformasi susunan kepemimpinan serta upaya intelektualisasi internal. “Mereka tidak lagi hanya mengandalkan grassroot yang low-skill, low-educated, tapi mereka merambah ke kalangan terdidik. Biar bagaimanapun, di organisasi itu dibutuhkan untuk memimpin, untuk itulah mereka bentuk SAPMA dengan melihat keberhasilan HMI dan PMII,”

Meskipun begitu, saat citra sebuah organisasi sudah dianggap buruk, walaupun organisasi tersebut telah melakukan “reformasi,” masyarakat tetap akan menggarisbawahi label negatif yang lekat dengan sejarah perkembangannya. Pelibatan intelektual tidak dapat menjamin citra buruk tersebut dapat hilang begitu saja. Terlebih dengan masih maraknya aksi-aksi kekerasan ormas yang dengan entengnya diselundupkan dengan kata “oknum.”

*) artikel ini pernah diterbitkan dalam Buletin Gerbatama edisi 87 berjudul “Kocar-Kacir UI Diterpa Pandemi”, dengan sedikit gubahan.

Teks: Syifa Nadia dan Fitri Hasanah

Editor: Dian Amalia Ariani

Ilustrasi: Brilian Kusumanegara

Pers Suara Mahasiswa UI 2022

Independen, Lugas, dan Berkualitas!