Pencicilan THR: Buruh Kembali Jadi Tumbal

Redaksi Suara Mahasiswa · 1 Mei 2021
5 menit

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak luas bagi kehidupan manusia. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah dan kampus, yang semula berjalan normal, dialihkan menjadi pembelajaran jarak jauh menggunakan media daring. Kemudian, beberapa sektor ketenagakerjaan melakukan sistem work from home (WFH), sisanya bekerja seperti biasa—umumnya terjadi pada pekerja manufaktur—tetapi harus menggunakan protokol kesehatan. Bagaimanapun juga, perusahaan harus tetap berproduksi, komoditas perlu memenuhi pasar, dan laba tidak boleh macet untuk masuk ke kantong pemilik modal.

Pada faktanya, sistem ekonomi dunia juga mengalami pukulan akibat pandemi. Pemenjaraan fisik sebagai konsekuensi agar tidak terpapar virus telah membuat sebagian besar bisnis merosot. Sistem ekonomi yang berjalan dan mengharuskan adanya interaksi fisik (produksi, jual-beli antar negara) sangat bertentangan dengan upaya pemulihan masyarakat dunia dari pandemi. Akibatnya, banyak perusahaan swasta yang mengalami kolaps dan jumlah buruh yang di-PHK membludak.

Situasi ini dapat kita lihat pada awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Dalam laporan Kementerian Ketenagakerjaan yang dimuat dalam Kompas.com, sejak awal pandemi hingga 12 Mei 2020, jumlah pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK mencapai 1.722.958 orang. Jumlah tersebut berasal dari 80.000 perusahan yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain PHK, persoalan lain yang dihadapi para buruh pada Mei 2020 adalah pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR).

Pada 2020 lalu, Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 24 Mei. Ini berbarengan dengan gelombang awal Covid-19 di Indonesia dan maraknya PHK massal. Para pekerja yang tidak di-PHK ataupun yang masih memiliki hak untuk mendapatkan THR mengalami beragam persoalan. Persoalan tersebut seperti pencicilan, hingga penundaan pembayaran THR. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI/00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020.

Melalui Surat Edaran tersebut, para pengusaha memiliki legitimasi untuk menunda maupun mencicil pembayaran THR melalui proses dialog. Meskipun terkesan demokratis, kenyataannya buruh berada pada posisi yang rendah dalam proses perundingan atau dialog, hasilnya dapat kita prediksi, keputusan pemilik modal yang akan menjadi hasil dalam proses perundingan. Posisi yang tidak setara ini sebenarnya telah terjadi jauh sejak buruh masuk sebagai tenaga kerja. Mengutip Marx dalam Kerja Upahan dan Kapital (1847), para buruh dengan terpaksa menjual tenaga kerjanya untuk kelangsungan hidup mereka kepada para pemilik modal. Pertukaran ini telah melahirkan hubungan sosial produksi antara buruh dengan pemilik modal yang menempatkan para pemilik modal sebagai pemegang kekuasaan (mengontrol alat-alat produksi) ekonomi termasuk politik (Pontoh, 2011).

Setahun berselang, pada 2021 ini, pemerintah lewat Menteri Ketenagakerjaan kembali mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/IV/2021 yang secara garis besar isinya tidak jauh beda dengan surat edaran tahun lalu. Dalam surat edaran ini, tertulis tentang (lagi-lagi) penundaan pembayaran THR dengan mekanisme dialog antara pengusaha-pekerja. Selain itu, Sekretaris Jenderal Kemnaker Anwar Sanusi, mengatakan bahwa tahun 2021 ini Kemnaker masih membuka opsi pembayaran THR dicicil (Kompas.com, 2021).

Tidak heran sebenarnya mengapa pemerintah selalu mengakomodasi kepentingan pengusaha dan kebijakan yang dikeluarkan tidak berpihak pada buruh. Negara saat ini lewat pemerintahannya merupakan alat para pemilik modal untuk mendukung usaha-usaha mereka, maka peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan akan mengakomodasi seluruh kepentingan pemilik modal. Hal ini dapat dilihat, bukan hanya kebijakan pembayaran THR yang berpihak pada pengusaha, tetapi juga beberapa produk hukum yang menyertainya. Sebagai contoh, tahun lalu pemerintah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang kini telah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Produk hukum ini telah banyak dikritisi oleh para ahli dan melahirkan gelombang protes selama pandemi karena banyak memuat pasal yang merugikan rakyat kecil termasuk buruh. Akan tetapi, protes dan sikap kritis tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah hingga akhirnya produk hukum tersebut disahkan.

THR Adalah Hasil Perjuangan Buruh, Bukan Kebaikan Hati Para Bos
Sebenarnya persoalan pembayaran THR ini sudah banyak terjadi bahkan sebelum pandemi. Saya ambil contoh yang terjadi pada kawan-kawan buruh PT Elit Permai Metal Works, Jakarta Utara, pada 2019—tentunya tahun ini pandemi Covid-19 belum melanda dunia—mereka menerima pembayaran THR dengan cara dicicil. Beragam persoalan lain juga mereka hadapi, seperti tidak adanya program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, hingga pembayaran upah di bawah ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta. Beragam persoalan ini mereka hadapi dengan menyelenggarakan protes mogok kerja terhitung sejak 22 Februari 2021 hingga saat ini. Di sisi lain, pihak perusahaan belum menunjukkan iktikad pemenuhan hak para buruh. Ini merupakan satu dari sekian banyak contoh kasus perselisihan yang terjadi antara buruh dengan pengusaha, entah terkait THR, pembayaran upah, jaminan kerja, dan sebagainya.

Pemilik perusahaan pada dasarnya memang enggan membayarkan THR karena bagaimanapun itu akan menambah ongkos pengeluaran mereka. Tujuan utama dari bisnis para pemodal adalah untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya, dengan pengeluaran ongkos produksi sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, para pengusaha sebisa mungkin akan memangkas semua ongkos produksi, termasuk THR.

Meskipun namanya adalah “Tunjangan”, THR lahir bukan dari kemurahan hati  bos-bos perusahaan. Ia hadir dari tuntutan kelas buruh era 1950-an. Dalam buku yang ditulis oleh Jafar Suryomenggolo berjudul Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an, para buruh pada masa itu menuntut diadakannya THR akibat dari rendahnya upah dan kenaikan harga barang-barang pokok. Dalam menyuarakan tuntutan THR, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menjadi corong utama di antara serikat-serikat buruh lainnya.

Tuntutan tersebut berlanjut hingga berhasil menjadi aturan hukum yang wajib ditaati oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu kemenangan gerakan buruh pada masa lalu yang dampaknya kita rasakan hingga saat ini. Namun, ketika terjadi peralihan kekuasaan dan Indonesia memasuki era Orde Ba(r)u, THR dianggap sebagai salah satu hambatan komparatif dalam menarik investasi modal asing yang sesuai dengan kebijakan ekonomi Orde Ba(r)u (Suryomenggolo, 2015: 113).

Hal tersebut pula yang berdampak hingga saat ini, bahwa perusahaan menganggap THR sebagai “hadiah” untuk para pekerja yang pemberiannya dapat dikompromikan. Padahal, sudah jelas bahwa THR adalah hal yang wajib dibayarkan kepada buruh sesuai dengan undang-undang.

THR lahir dari tuntutan buruh era 1950-an. Ia merupakan tuntutan sosial ekonomi yang bertujuan untuk “perbaikan nasib” para buruh. Pada periode tersebut kondisi perekonomian Indonesia masih belum stabil akibat masa revolusi (1945–1949). Harga-harga bahan pokok mahal, upah sangat rendah, kenaikan upah juga rendah, sehingga THR muncul sebagai “tuntutan pelengkap” atas tuntutan kenaikan upah.

Melalui proses perjuangan panjang, akhirnya THR berhasil ditetapkan menjadi aturan hukum yang dampaknya dirasakan hingga saat ini. Meskipun situasi dan kondisi  ketika awal tuntutan THR muncul pada periode 1950-an berbeda dengan saat ini, saya melihat adanya beberapa kesamaan. Tahun ini, para buruh tidak menerima kenaikan upah dan—seperti biasa menjelang hari raya—bahan-bahan pokok mahal. Dengan demikian, sudah seharusnya THR dibayarkan tanpa kompromi oleh para perusahaan yang telah mengisap banyak “nilai lebih” dari para buruh, dan jangan jadikan buruh sebagai tumbal.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Rifaldi Apinino
Ilustrasi: Berliana Dewi R.
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi

Suryomenggono, Jafar. (2015). Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Marx. (1847). Kerja Upahan dan Kapital. https://marxists.architexturez.net/indonesia/archive/marx-engels/1847/kerja/Bab3.htm. Diakses 28 April 2021.

Karunia, Ade Miranti. (2020). “Kemenaker: Pekerja yang Di-PHK dan Dirumahkan Capai 1,7 Juta”. Kompas.com. https://money.kompas.com/read/2020/05/12/220000926/kemenaker-pekerja-yang-di-phk-dan-dirumahkan-capai-17-juta. Diakses 28 April 2021.

Pontoh, Coen Husain. (2011). “Kelas dan Perjuangan Kelas Dalam Manifesto Komunis”. IndoPROGRESS. https://indoprogress.com/2011/06/kelas-dan-perjuangan-kelas-dalam-manifesto-komunis/. Diakses 28 April 2021.