Pendewasaan Diri Melalui Isu Diskriminasi Rasial Dalam Novel To Kill A Mockingbird

Redaksi Suara Mahasiswa · 13 Mei 2022
5 menit

Judul: To Kill a Mockingbird
Penulis: Harper Lee
Penerjemah: Femmy Syahrani
Penerbit: Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka
Genre: Fiksi, American Literature

“Kalau hanya ada satu jenis manusia, mengapa mereka tidak bisa rukun? Kalau mereka semua sama, mengapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci?” (To Kill A Mockingbird, halaman 431).

Buku karangan Harper Lee yang berjudul To Kill a Mockingbird ini telah terjual lebih dari 40 juta kopi di seluruh dunia. Buku ini begitu laris di pasaran hingga diterjemahkan ke beberapa bahasa, salah satunya bahasa Indonesia. To Kill a Mockingbird pertama kali terbit pada tahun 1960 dan memenangkan Pulitzer Prize di tahun selanjutnya. Lebih dari itu, buku To Kill a Mockingbird bahkan telah diadaptasi menjadi film pada tahun 1962 dan berhasil memenangkan tiga Piala Oscar dengan penyajian kisah fiksi yang berlatar di Maycomb, Alabama, pada masa Great Depression sekitar tahun 1930-an. Jean-Louise “Scout” Finch melihat dan mengisahkan tiga tahun kehidupan masa kecilnya di Maycomb dari kacamata seorang anak. Ia menceritakan masa kecilnya bersama kakaknya, Jem, temannya Dill, dan hal-hal yang mereka jalani.

To Kill a Mockingbird diceritakan melalui perspektif Scout, dengan kalimatnya yang lugu dan sederhana. Meski begitu, kandungan arti dari maknanya sama sekali tidak bisa dibilang sederhana. Buku ini bahkan pernah menjadi bacaan wajib bagi para pelajar di Amerika dan banyak belahan dunia yang lain. Pada 2017 lalu, banyak orang beramai-ramai memberi komentar pedas menyatakan jika buku ini sarat akan kata yang berkonotasi negatif sehingga membuat orang-orang tidak nyaman. Imbasnya, To Kill a Mockingbird akhirnya dihapus sebagai bacaan wajib siswa SMP di distrik Biloxi, negara bagian Mississippi.

Scout mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Jem yang diasuh oleh ayahnya Atticus Finch seorang diri. Atticus Finch merupakan sosok laki-laki dan ayah terhebat yang pernah ada karena ia mulai berperan sebagai ayah tunggal sejak sang istri meninggal. Atticus selalu menanamkan kebiasaan membaca buku bersama setelah makan pada anak-anaknya sejak mereka masih kecil. Atticus menjadikan dirinya sebagai contoh teladan yang baik untuk anak-anaknya agar mereka rajin bersekolah, mau menuntut ilmu setinggi-tingginya, menjadikan anaknya terhormat dan teladan, serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.

Atticus dalam kesehariannya merupakan seorang pengacara di suatu firma di Maycomb County. Prinsip perjuangan Atticus yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran mulanya diolok oleh seluruh masyarakat kota. Atticus sangat menolak adanya diskriminasi rasial, ketidakadilan, kebencian, dan kemunafikan yang terjadi di kota tersebut. Scout berusaha agar emosi dan amarah yang sudah semakin memuncak tidak keluar saat mengetahui ayahnya dibenci serta dihina oleh seluruh masyarakat. Akan tetapi, Atticus sekali lagi menanamkan nilai kesabaran pada Scout untuk tidak tersinggung dan harus tetap mengasihi orang yang membencinya.

Memasuki bagian kedua buku, akhirnya masalah utama dibuka. Atas rekomendasi hakim, Atticus menerima Tom Robinson yang merupakan warga kulit hitam sebagai kliennya. Sebagai pengacara, pastinya Atticus harus membela Tom dalam sidang dan keputusannya untuk menerima penunjukan ini mengundang kontroversi oleh warga kulit putih di Maycomb. Sudah lama orang kulit hitam disana menjadi pembantu dan budak sehingga kasta mereka dianggap tidak sama. Bahkan, gereja mereka pun dibedakan dengan orang kulit putih. Orang kulit hitam juga tidak mempelajari kaidah berbahasa yang baik dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak sebagian besar dari mereka tidak bisa membaca. Menurut masyarakat Maycomb, Atticus seharusnya membela mereka yang satu ras dengannya, walaupun mereka salah. Namun, Atticus yang digambarkan sebagai sosok yang teguh pendirian, dan idealis, tetap setia pada prinsip untuk menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.

Di tengah beratnya proses pengadilan Tom Robinson, Harper Lee dengan lancar mengisahkan beberapa kejadian yang dilihat dari pengalaman Scout. Atticus mendapat banyak hikmah dari setiap kejadian sehari-hari di kehidupan mereka setelah ditinggal istrinya. Salah satunya adalah saat Jem diminta untuk membacakan buku cerita untuk Nyonya Dubose yang sedang kritis meski dia benci dengannya setengah mati. Atticus terus menerus mendidik anaknya bahwa kemarahan bukan jalan untuk menyelesaikan persoalan. Selanjutnya, Scout yang begitu tomboi sebab besar tanpa sosok seorang Ibu, pun harus berdamai dengan bibinya yang selalu saja ikut campur, Alexandra Hancock. Hal ini disebabkan karena ayahnya, Atticus berkata bahwa bagaimanapun keluarga adalah bagian yang tidak bisa dicampakkan sesuka hati.

Hubungan antara Scout dan Jem dengan segelintir tetangganya yang sudah dewasa diceritakan dengan hangat yang penuh pesan moral. Satu hal paling menonjol adalah interaksi antara kakak beradik itu dengan teman mereka Dill Haris, tetangganya Arthur “Boo” Radley. Dill dikenal sebagai anak paling cemerlang di masa mudanya, sedangkan Boo Radley digambarkan sebagai sosok yang misterius yang dengan sengaja mengucilkan diri dalam waktu lama dengan alasan yang tidak diketahui. Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk membuat Boo Radley keluar rumah, tetapi tidak membuahkan hasil. Posisi Boo dalam To Kill a Mockingbird agaknya menjadi sub konflik utama sehingga Harper Lee memberinya peran penting dari awal cerita, meski hanya sebagai jalan untuk memperjelas karakter keluarga Finch.

Namun, manusia kadang terlalu egois hanya karena nafsu membunuh Mockingbird, burung yang tidak pernah merugikan manusia. Mereka tidak melakukan sesuatu yang berarti, hanya bernyanyi dengan tulus untuk kita nikmati. Oleh karena itu, memusnahkan Mockingbird dianggap sebagai dosa. Membunuh Mockingbird dalam novel ini berarti berprasangka buruk dan membunuh kebenaran. Dalam novel dan berbagai resensi, Tom Robinson dan Boo Radley dianalogikan sebagai Mockingbird. Tentang mengapa dan bagaimana mereka dikaitkan dengan analogi tersebut, pembaca sendirilah yang akan memahami.

Dari novel ini, kita bisa melihat ketimpangan sosial yang muncul di Amerika Serikat akibat diskriminasi rasial. Harper Lee menekankan rasa kemanusiaan yang terkadang luput dari manusia itu sendiri. Namun, ia tidak menyalahkan orang karena pemikiran yang mereka miliki selalu memiliki latar belakang. Atticus sering menjadi tokoh favorit di cerita ini karena ia selalu mengajarkan hal-hal yang menurut masyarakat tidak perlu diajarkan pada anak-anak, seperti kebebasan berpendapat, menjelaskan kalimat asing dengan cara yang baik, dan mengajarkan nilai-nilai moral pada dua anaknya.

Dalam karya ini, ditekankan bahwa tradisi genetik, tingkat pendidikan yang rendah, atau pemikiran yang dangkal adalah hal yang sangat abu-abu dan tidak layak dijadikan alasan menentukan siapa yang salah atau benar. Perspektif yang sering dikemukakan adalah bahwa orang kulit putih selalu merasa lebih dihormati daripada orang kulit hitam, jadi sudah sepatutnya orang kulit hitam dapat diperlakukan sesuka hati. Padahal, setiap orang tentu pernah melakukan dosa dan membuat kesalahan tanpa memandang jenis kelamin atau ras.

Secara keseluruhan, penulis melihat alasan mengapa buku ini layak mendapatkan Pulitzer Prize, penghargaan tertinggi dalam jurnalisme cetak Amerika. Penggambaran karakter yang kuat dari masing-masing karakter dan penggabungan nilai moral yang sangat berbeda dari karya klasik jenis ini menjadikan To Kill A Mockingbird wajib dibaca oleh para penggemar novel klasik di seluruh dunia. Namun, terdapat kelemahan yang penulis perhatikan dalam buku ini yaitu banyaknya bahasa gaul Amerika Selatan yang tidak memiliki arti atau penjelasan. Kata-kata tersebut seharusnya dapat ditambahkan pada catatan kaki atau glosarium. Dengan demikian, hal tersebut akan memudahkan pembaca untuk memahami makna dari frasa percakapan yang terkandung.

Akhir kata, To Kill A Mockingbird membuka mata kita terhadap fakta bahwa diskriminasi harus dihapuskan dengan cara apa pun. Meskipun ditulis pada tahun 1920-an, buku ini masih relevan hingga saat ini. Hingga saat ini, banyak orang yang masih merasa lebih mulia dari orang lain meskipun mereka semua sama. Jika kita ingin hidup berdampingan secara harmonis dan saling menghormati, tidak ada kedamaian yang tidak dapat diciptakan. Namun, orang terkadang terlalu egois untuk membunuh Mockingbird, burung yang tidak pernah menyakiti mereka, karena keinginan murni dan permusuhan semata.

Teks: Dwiky Febyanti
Editor: Dimas Rama S. W.
Foto: Istimewa

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!