Manusia tidak pernah luput dari permasalahan selama menjalani hidup. Permasalahan tersebut perlu dihadapi dalam upaya beradaptasi dalam siklus kehidupan. Meskipun demikian, tak jarang tekanan atas permasalahan tersebut memicu meningkatnya stres yang dialami.
Dilansir dari Tirto, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei mengenai kesehatan jiwa masyarakat secara daring. Hasilnya, dari 1.522 responden, sebanyak 64,3 persen masyarakat mengalami cemas dan depresi akibat adanya pandemi COVID-19. Fenomena peningkatan stres ini juga turut dirasakan oleh mahasiswa. Dengan merebaknya pandemi Covid-19, kebijakan baru diterapkan dalam proses penyesuaian berubahnya tatanan kehidupan. Namun, perubahan ini nyatanya berdampak buruk pada kesehatan mental mahasiswa. Dari jurnal Bikotif, Awinda dkk menyampaikan, mahasiswa mengalami peningkatan stres dan kecemasan selama menjalani perubahan metode pembelajaran di masa Covid-19, termasuk ke dalam tiga kategori stres, dimulai dari stres ringan, sedang, hingga berat. Meskipun demikian, mereka nyatanya harus menghadapi hal tersebut sebagai proses adaptasi.
Proses adaptasi ini juga turut disampaikan oleh dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, M.Psi, “Kalau dilihat kan memang pandemi ini membawa perubahan yang besar sekali gitu, ya. Jadi, pasti yang tertantang pertama kali ketika pandemi terjadi adalah kemampuan kita untuk beradaptasi, yang tadinya kerja atau sekolahnya ketemu tatap muka sekarang harus di rumah,” ujarnya.
Perubahan tersebut tentunya berdampak pada proses belajar yang dilakukan, sehingga memunculkan ketidakefektifan dalam memperoleh informasi yang disampaikan. Hanum menilai hal ini bisa disebabkan dengan keterbatasan fasilitas yang ada di rumah, minimnya social support untuk mendukung proses pembelajaran, dan lain sebagainya.
Coping Mechanism sebagai Upaya Menangani Stres
Dalam upaya melewati permasalahan hidup, kesadaran untuk menangani stres pun muncul. Salah satunya dengan dikenalnya strategi coping sebagai jalan dalam mengurai stres yang dialami. Yani (dalam Maryam, 2017) mendefinisikan strategi coping sebagai perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan psikologi ketika kondisi stres, baik terlihat maupun tersembunyi. Oleh karena itu, coping mechanism ini seringkali digunakan mahasiswa dalam upaya mereka mereduksi tekanan yang dirasakan.
Emotion Focused dan Problem Focused dalam Coping Mechanism
Hanum juga turut menuturkan bahwa coping mechanism adalah strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan yang dialami. Dia pun menyampaikan, strategi ini terbagi menjadi dua bentuk, yakni emotion focused dan problem focused. Kedua hal ini perlu bersinergi dalam menciptakan kesesuaian dalam penerapannya.
“Sebetulnya kalau kita bicara coping mechanism kita akan bicara ada dua jenis, ada emotion dan problem, emotion focused itu tujuannya adalah untuk membuat kita menjadi lebih nyaman, sedangkan problem focused itu tujuannya memang menyelesaikan masalah,” tutur Hanum menjelaskan mengenai dua jenis coping mechanism tersebut.
Hanum juga memberi contoh bagaimana penggunaan emotion focused dalam menyelesaikan masalah. Kita dapat melakukan berbagai kegiatan lain, seperti refreshing dan sebagainya, sebelum mengerjakan sesuatu yang dianggap sulit atau kurang disenangi. “Tapi, setelah melakukan itu, kita perlu kembali lagi dan mengerjakannya. Mau enggak mau harus dihadapi,” tambahnya.
Memikirkan langkah untuk menyelesaikan sesuatu inilah yang disebut dengan problem focused. Hanum mengatakan jika permasalahan yang sedang kita hadapi sudah menimbulkan rasa tidak nyaman sehingga membuat kita menjadi cenderung mencari keamanan melalui emotion focused, maka ini dapat menjadi masalah. Akhirnya timbullah prokrastinasi, yang merupakan salah satu bagian dari avoidance coping. Adanya prokrastinasi ini tentu akan membuat masalah semakin bertumpuk dan tidak terselesaikan.
Namun, melakukan coping mechanism secara terus menerus justru akan memunculkan masalah. Sebab coping mechanism ini dapat disalahgunakan untuk lari dari tanggung jawab. Oleh karena itu, emotion focused sebagai pengalihan sejenak tidak boleh dilakukan secara terus-menerus. “Ketika ada masalah yang teridentifikasi sebagai masalah yang sebetulnya mampu kita kelola, maka dia (masalah-red) harus diselesaikan,” ucap Hanum.
Coping Mechanism sebagai Upaya Resistensi Mahasiswa Menghadapi PJJ
Perubahan-perubahan yang terjadi selama pandemi berlangsung membuat banyak mahasiswa membutuhkan coping mechanism. Permasalahan yang umum terjadi saat pandemi di kalangan mahasiswa didominasi dengan pelaksanaan pembelajaran daring. Aeysha Theona Shafira, salah satu mahasiswi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), mengaku mengalami burn out karena banyaknya tugas kuliah. Dia merasa kesulitan dalam mengikuti tempo pembelajaran. Aeysha juga menambahkan, burn out yang dirasakannya memberi dampak yang cukup besar hingga mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Dalam menangani masalah burn out yang kerap dirasakannya, Aeysha senang melampiaskannya ke dalam tulisan. Ia merasa dengan menulis dan membuat jurnal, hal yang selama ini tertahan dalam pikirannya dapat tersampaikan sehingga membuatnya merasa lega. “Oh aku lagi sering nulis-nulis di buku jurnal. Tapi bukan nulis yang rapi, sih. lebih ke nulis yang ada dipikiran saat ini gitu, contoh “pengen makan mcd”, “sebel deh sama si …”, sama lagi suka nulis cerita,” tutur Aeysha.
Tidak jauh berbeda dengan Aeysha, Ri’fat Ayu, seorang mahasiswi dari UGM, mengalami dampak psikologis seperti overthinking dan anxiety selama pandemi. Ia mengaku hal ini ia rasakan sebab tidak bisa pergi ke mana-mana untuk melihat dunia luar secara langsung. Ri’fat mengaku hal itu juga terkadang mengganggu aktivitas yang ia jalani. Ia biasanya menonton atau berolahraga untuk mengatasi hal tersebut.
Keduanya menilai bahwa memiliki coping mechanism adalah hal yang penting di tengah keadaan seperti ini. Menurut Aeysha sendiri, hal ini berguna untuk mereka yang sulit mengekspresikan perasaannya. “Apalagi, kalau orangnya susah untuk mengekspresikan atau menceritakan perasaannya,” tukasnya.
Ri’fat sendiri merasa memiliki coping mechanism dapat membantu menangani stres dan masalah psikologis dapat datang secara tiba-tiba dan bisa mengganggu aktivitas. “Jadi, mau enggak mau setiap orang harus berusaha untuk menemukan coping mechanism-nya agar mereka bisa lebih baik dan tidak terkungkung dengan perasaan yang itu-itu saja,” ujarnya.
Di samping itu, Hanum menjelaskan bahwa setiap orang pasti memiliki coping mechanism-nya masing-masing. Hanya saja terkadang kita tidak menyadarinya, sebab biasanya hal ini hadir secara otomatis. Namun, perlu evaluasi terlebih dahulu apakah masalah ini dapat diselesaikan atau tidak untuk menentukan jenis coping mechanism mana yang dapat diterapkan. Kita dapat meminta bantuan kepada orang lain, seperti berdiskusi dengan teman dan sebagainya. “Kita juga perlu menyadari proses apa yang kita lalui ketika menghadapi masalah dan mencoba untuk mengurutkan kembali, sebetulnya apa yang bisa dilakukan terkait masalah yang dihadapi,” jelas Hanum.Di masa pandemi ini, masyarakat rentan terhadap kondisi psikologis diri masing-masing. Memiliki coping mechanism sebetulnya merupakan sesuatu yang baik agar mendapatkan ketenangan sejenak dari riuhnya pikiran di masa sulit ini. Namun, perlu ditinjau kembali seperti apa strategi yang digunakan. Jangan sampai “kedok” coping mechanism memunculkan kebiasaan lari dari masalah dan menyebabkan menumpuknya masalah, sehingga bisa menimbulkan penyakit depresi karena merasa masalah yang tak berujung.
Teks: Ari, Siti Sahira A, Violina Maharani
Kontributor: Rahayu Zahra
Ilustrasi: Istimewa
Editor: Giovanni Alvita
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!
Referensi:
Maharani, Nirmala Eka. (29 07 2020). "Studi Sebut Depresi, Stres & Cemas Berlebihan Melonjak Saat Pandemi". Tirto.id. Diakses melalui https://tirto.id/studi-sebut-depresi-stres-cemas-berlebihan-melonjak-saat-pandemi-fUor