Penurunan Jabatan dan Sanksi Sosial Bagi Pelaku KS, Apa Cukup?

Redaksi Suara Mahasiswa · 4 Agustus 2021
4 menit

Kasus kekerasan seksual baik dari kalangan masyarakat luas hingga kalangan terpelajar semakin marak terjadi. Korban dan pelaku pun beragam, mulai dari kalangan sosial menengah hingga ke pejabat dari lembaga-lembaga yang mempunyai kekuasan. Lingkungan kampus pun tidak lepas dari tindak pelanggaran hukum ini, seperti halnya di lingkungan Civitas Akademika Universitas Indonesia. Beberapa kasus mencuat di muka publik atas kekerasan seksual yang dilakukan oleh beberapa fungsionaris lembaga yang ada di kampus. Orang-orang yang mempunyai kekuasaan di atas kursinya, menjadi pelaku daripada kekerasan seksual itu sendiri.

Di dalam sebuah universitas sendiri, sudah selayaknya terdapat berbagai lembaga yang berdiri dan menjalankan fungsinya masing-masing. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kampus yang nyaman ditempati oleh semua warganya. Meskipun demikian, pada kenyataannya, dapat ditemui beberapa anggota dari lembaga-lembaga tersebut yang tidak mengindahkan fungsi-fungsi yang seharusnya dijalani dengan melakukan tindakan kekerasan seksual. Pada akhirnya, tindakan tersebut berujung pada pemberian sanksi berupa penurunan atau pelepasan jabatan, serta sanksi sosial.

Adapun jumlah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota lembaga mahasiswa—yang mempublikasikan sanksi pada anggota yang melakukan kekerasan seksual—yaitu pada 2018 sebanyak 1 kasus, 2019 sebanyak 1 kasus, 2020 sebanyak 5 kasus, dan 2021 sebanyak 4 kasus. Lembaga-lembaga tersebut mulai dari tingkat himpunan mahasiswa jurusan hingga organisasi tingkat fakultas. Salah satu kasus kekerasan seksual yang cukup menjadi perhatian civitas UI pada 2020 adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu fungsionaris dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya UI (FIB) UI 2020. Kasus tersebut diketahui pada masa akhir jabatan dari fungsionaris tersebut. Pelaku mendapat sanksi yaitu pencopotan jabatan, tetapi sanksi dianggap tidak rasional karena pencopotan jabatan tersebut diberlakukan ketika masa jabatan fungsionaris tersebut berakhir, sehingga sanksi tersebut seolah-olah tidak terlihat secara jelas. Lalu ada kasus yang terjadi baru-baru ini, yaitu pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan di ranah daring oleh salah satu staf BEM dari Fakultas Hukum (FH) UI 2021 dan pelaku menerima sanksi berupa pencopotan jabatan dan diberhentikan secara tidak terhormat dari BEM FH UI.

Penurunan atau pelepasan jabatan secara tidak hormat serta sanksi sosial oleh masyarakat kepada pelaku merupakan dua jenis sanksi yang umum dijatuhkan. Seolah itu akan membuat pelaku jera dan mengobati luka dari korban, tetapi pertanyaan sesungguhnya adalah apakah itu sudah cukup untuk menghukum mereka. Menurut HopeHelps UI, rasa keadilan bersifat subjektif bagi tiap orang dan dapat mengandung arti yang berbeda, apa yang menurut kita adil, belum tentu adil bagi beberapa pihak. Namun, idealnya kampus dan seluruh sivitas akademika, khususnya fungsionaris, mampu mengemban integritas, termasuk mengenai kasus KS dan harus memberikan sanksi tegas. “Pemberian rasa adil bagi korban kekerasan seksual juga tidak boleh hanya sampai proses penjatuhan sanksi bagi pelaku, tetapi juga pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual terhadap proses pemulihan bagi mereka pasca penjatuhan sanksi,” tambah pihak HopeHelps UI.

Dampak yang dirasakan oleh para korban kekerasan seksual juga berbeda-beda. Mulai dari dampak psikologis, dimana korban akan mengalami trauma mendalam, stres yang dapat mengganggu perkembangan otak. Lalu, dampak fisik dimana korban berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan, bahkan kerusakan organ internal. Lalu, dampak sosial dimana para korban kerap kali dikucilkan dalam kehidupan sosialnya atau bahkan dianggap sebagai aib oleh keluarga sendiri. Itu juga yang menjadi alasan banyaknya korban yang enggan untuk melaporkan kasusnya.

Oleh karena itu, Hopehelps UI menyediakan tiga bentuk pendampingan untuk para korban, yaitu bentuk pendampingan psikologis, pendampingan hukum, dan bentuk pendampingan lain-lain. Ketiga bentuk pendampingan ini diberikan sesuai dengan keinginan korban kekerasan seksual. Korban turut dilibatkan dalam setiap pengambilan tindakan dan keputusan yang akan dilakukan. Lalu, untuk alur pendampingannya sendiri, Hopehelps UI membuka dua kanal pelaporan, yaitu melalui email advokasi.hopehelps@gmail.com dan hotline WhatsApp 0822 9978 8860.

“Setelah korban melaporkan kasusnya, tim advokasi akan melakukan pertemuan dengan korban untuk mengetahui bentuk pendampingan apa yang diinginkan oleh korban. Tim advokasi juga akan menjelaskan secara jelas mengenai ketiga bentuk pendampingan tersebut agar korban well informed terhadap bentuk pendampingan yang ia pilih dan sesuai dengan keinginannya,” ungkap Wulan.

Kasus kekerasan seksual dalam kampus merupakan permasalahan yang berat, tentunya “bantuan” dari pihak universitas sangat dibutuhkan. Hal ini karena mereka yang memiliki kewajiban untuk melindungi hak semua sivitas akademika dan juga para mahasiswanya. Ironisnya, masih banyak orang yang menganggap kasus kekerasan seksual sebatas tindakan asusila dan bukan tindakan kejahatan yang melanggar hak dan kemanusiaan korban. Hal ini bisa terlihat dengan masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup kampus, tetapi pelaku dengan mudahnya menutup-nutupi hal tersebut, bahkan pihak kampus kerap kali campur tangan dengan alasan menjaga nama baik institusi.

Kekerasan seksual sendiri dapat dialami oleh siapapun dan dimanapun, termasuk diri sendiri. Berani melaporkan tindakan pelaku merupakan langkah awal yang dapat kita lakukan. Jika terjadi tindakan kekerasan kepada seseorang di sekitar kita, hal yang dapat kita lakukan adalah mencoba mendengarkan dan berempati, menanyakan kebutuhannya dan menyediakan informasi yang cukup jika korban ingin melapor atau mengakses layanan konseling. Terakhir, kita harus mendesak lembaga yang berwenang di kampus agar dapat membuat regulasi tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Adanya peraturan yang khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual sangat penting agar regulasi penanganan kasus kekerasan seksual tersebut memiliki arah yang jelas. Bentuk regulasi tersebut juga harus memihak pada korban dan juga dapat menindak tegas para pelaku tanpa pandang bulu.

Teks: Intan Eliyun, Magdalena Natasya, Rachelyn Maharani

Kontributor: Kahlil, Mayerina

Editor: Giovanni Alvita Diera

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Referensi:

BEM FIB UI 2020. (05 03 2020). "Suray Keputusan Ketua BEM FIB UI Nomor: 015/SK/KETUA/BEM/FIBUI/III/2021". Diakses melalui https://www.instagram.com/p/CMCtEgHn4CZ/?utm_medium=copy_link

Fibemsar. (17 05 2020). “Kekerasan Seksual di Kampus: Bagaimana Seharusnya Unpad Menangani Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungannya?”. Bem.fikom.unpad.ac.id. Diakses melalui http://bem.fikom.unpad.ac.id/kekerasan-seksual-di-kampus-bagaimana-seharusnya-unpad-menangani-kasus-kekerasan-seksual-di-lingkungannya/

Humas FHUI. “Bahaya Dampak Kejahatan Seksual”. Diakses melalui https://law.ui.ac.id/v3/bahaya-dampak-kejahatan-seksual/

Nurtjahyo, Lidwina Inge., Putri, LG Saraswati. Buku Saku Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Universitas Indonesia Salemba dan Depok. Diakses melalui https://www.sci.ui.ac.id/datadownload/Buku-SOP-Kekerasan-Seksual.pdf

Sucahyo, Nurhadi. (07 09 2020). “Menutup Pintu Ruang Kuliah dari Kekerasan Seksual”. Voa Indonesia. Diakses melalui https://www.voaindonesia.com/a/menutup-pintu-ruang-kuliah-dari-kekerasan-seksual/5573871.html