Penyalin Cahaya: Mengusut Pelecehan Seksual Melalui “Mesin Fotokopi”

Redaksi Suara Mahasiswa · 4 Maret 2022
5 menit

Judul Film: Penyalin Cahaya
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Produser: Adi Ekatama, Ajish Dibyo
Produksi: Rekata Studio dan Kaninga Pictures
Genre: Drama/kejahatan
Tanggal/Tahun Rilis: 8 Oktober 2021
Durasi: 2 Jam 10 Menit
Pemain: Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Lutesha, Jerome Kurnia, Giulio Parengkuan, Lukman Sardi

Balada pelecehan seksual tak pernah pudar dari telinga dan mata masyarakat. Penyalin Cahaya hadir untuk mengusung kembali tema tersebut yang kali ini terjadi pada bidang pendidikan disertai perjalanan mencari keadilan. Film yang dibintangi aktris muda, Shenina Cinnamon ditayangkan perdana di kancah Internasional pada Festival Film Internasional Busan 2021 tanggal 8 Oktober lalu.

Film besutan Wregas Bhanuteja dengan judul Penyalin Cahaya atau Photocopier dalam bahasa Inggris ini menyabet banyak piala citra pada Festival Film Indonesia 2021. Tepatnya sebanyak 12 kemenangan dari 17 kategori yang dinominasikan pada malam anugerah festival tersebut. Sang sutradara mengungkapkan keresahan mengenai maraknya peristiwa pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat menjadi alasannya untuk menggarap film tersebut. Dilansir dari laman Tribunnews pada Rabu (10/11), “Film ini untuk kita bersama-sama melawan kekerasan seksual di mana pun itu, di lingkungan terdekat, di tempat kerja, di sekitar kita dan kita harus selalu berpihak pada penyintas. Kita harus menguatkan, kita harus percaya pada mereka,” ungkap Wregas saat Malam Penganugerahan Festival Film Indonesia.

Sinopsis

Cerita bermula dari sebuah kegiatan mahasiswa yang mengikuti lomba pertunjukan teatrikal. Sur adalah seorang perancang dan pengelola situs untuk pertunjukan tersebut. Untuk merayakan kemenangan teater tersebut, Sur menghadiri sebuah pesta yang diadakan di rumah seorang panitia pertunjukan. Lalu, pada malam itu sebuah insiden terjadi dan menyebabkan hidup Sur berubah. Unggahan foto saat dirinya sedang mabuk tersebar di media sosial yang menyebabkan beasiswanya di kampus dicabut.

Sur mencoba mencari tahu pelaku yang mengunggah fotonya ke sosial media dibantu oleh Amin, sahabatnya sekaligus orang yang menjaga tempat fotokopi dekat kampus. Dalam pencarian tersebut, Sur justru dipertemukan pada sebuah masalah lain yang membuatnya sadar bahwa ia telah dilecehkan. Fakta mengenai hal itu ia temukan menggunakan mesin fotokopi dan teknologi. Pada akhirnya, dengan kemampuan teknologi dan menyesuaikan dengan karakter lain yang dicurigai, Sur menemukan pelakunya. Pelaku tersebut berasal dari lingkup teaternya. Sur menemukan bahwa Rama yang merupakan seorang penulis skenario di teater sebagai seseorang yang dianggap melakukan pelecehan tersebut kepada Sur. Namun, saat Sur melaporkan hal tersebut pada pihak kampus, laporannya justru berbalik menjadi tuntutan baginya. Ia diharuskan meminta maaf pada pelaku atas kepentingan nama baik pelaku dan kampus yang berjanji akan mengembalikan kesempatan beasiswanya.

Setelah itu, cerita dilanjutkan dengan Sur yang tetap meneruskan perjuangannya dalam mencari keadilan. Dalam perjalanannya tersebut, Sur turut dibantu oleh Farah dan Thariq yang juga menjadi korban pelecehan yang terjadi di lingkup teater tersebut. Proses pengumpulan bukti oleh ketiganya disertai berbagai hambatan sampai akhirnya warga kampus memercayai hal tersebut lewat bukti-bukti yang disebarkan dan berpihak pada mereka.

Perjalanan Mencari Keadilan

Film ini disajikan dengan begitu banyak metafora. Penonton dibawa untuk berpikir terhadap makna adegan demi adegan dalam film tersebut. Slogan "Menguras, Menutup, Mengubur" pada adegan fogging, pementasan drama teater dengan tema "Medusa", dan foto instalasi Galaksi Bimasakti menjadi hal yang menimbulkan banyak interpretasi penonton. Ketiga hal tersebut menjadi hal yang simbolik dan sangat berkaitan dengan jalannya cerita dalam film tersebut.

Dari segi karakter, seluruh karakter dari karakter utama sampai karakter pendukung mendapat sorotan yang cukup dan sesuai pada porsinya masing-masing dengan kepentingan setiap karakter dalam cerita. Dimulai dari karakter Ayah Sur yang diperankan oleh Lukman Sardi sebagai sosok Ayah yang cukup relatable di tengah masyarakat, sosok yang konvensional dan keras. Hal tersebut dicerminkan dalam dialognya "Jangan memakai baju yang terbuka begitu!" perintah sang Ayah pada Sur, tokoh utama. Dialog tersebut sangat umum didengar bagi khalayak dan menjadi sebuah alasan pelecehan seksual terjadi. Pemikiran yang konvensional dari Ayah Sur tersebut membawa dirinya menjadi orang yang turut menghakimi Sur, anaknya sendiri saat dilanda isu pelecehan seksual.

Fakta-fakta mengenai hal yang terjadi pada penyintas pelecehan seksual diangkat dalam film ini, salah satunya kemanipulatifan pelaku seperti yang dilakukan Rama pada Sur. Karakter Rama (Giulio Parengkuan) diperankan dengan sangat detail dan tersorot jelas. Karakter tersebut mendeskripsikan dengan gamblang, juga dengan metafora mengenai kemungkinan yang dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual. Hal itu dimulai dari awal cerita saat Rama mencoba meyakinkan korban dengan manipulasi sampai saat ia bermonolog untuk melancarkan aksinya dengan tujuan membungkam korban.

Selain itu, fakta yang dapat diperoleh mengenai terjadinya pelecehan seksual adalah mengenai power abuse. Kekuasaan akan bekerja untuk melindungi siapa pun yang berkuasa, dalam film ini adalah untuk pelaku. Tidak adanya payung hukum atau tempat aman bagi korban, bahkan ketidakseriusan institusi atau kalangan akademisi dalam mengusut sebuah kejadian menjadi fakta menyakitkan dan ketakutan untuk bersuara bagi para penyintas pelecehan seksual. Adanya bukti yang kuat tidak lantas memberikan keadilan bagi korban. Bahkan, hal itu dapat menjadi bumerang bagi korban seperti yang ada dalam film ini, Sur dituntut untuk meminta maaf kepada pelaku atas dasar kepentingan nama baik pelaku dan institusi.

Kenyataan bahwa sulitnya mencari orang yang dapat dipercaya memberikan cerminan pahit pula bagi para penyintas pelecehan seksual. Kesulitan ini digambarkan dengan jelas oleh Sur yang tetap melakukan investigasinya sendiri meskipun banyak orang menawarkan bantuan secara formalitas. Warga kampus sebagai masyarakat luas juga turut menghakimi Sur sebagai pihak yang bersalah dan harus menanggung segala konsekuensi.

Karakter Amin yang sedari awal menjadi figur pendukung tokoh utama, diperankan dengan apik oleh Chicco Kurniawan. Namun, seiring berjalannya cerita, tokoh Amin yang berperan sebagai sahabat Sur turut mengecewakannya dengan memperjualbelikan foto pribadi Sur tanpa izin karena keadaan yang mendesak. Hal tersebut tentu membuat penonton ikut merasakan kekecewaan karena hubungan yang telah terbangun antara Amin dan Sur membuat penonton memercayai Amin. Karakter lain yang menimbulkan sebuah pandangan baru adalah Thariq (Jerome Kurnia) yang memberikan perspektif bahwa korban pelecehan seksual tidak memandang gender, dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki.

Dari segi jalan cerita, film ini dibuat runtut menggambarkan pengalaman Sur sebagai tokoh utama, terstruktur dari sebab-akibat, serta proses yang cukup progresif dan padat dalam mencari keadilan untuk dirinya meskipun banyak rintangan yang datang. Beberapa adegan membuat penonton merasa terkejut, terlebih dalam sesi investigasi Sur untuk mengetahui pelaku di balik pelecehan seksual yang dialaminya. Di tengah perjalanan Sur, ia akhirnya turut dibantu oleh korban lain yang mengalami hal serupa untuk mencari bukti bersama. Adegan fogging menjadi salah satu scene simbolik yang membuat penonton sadar bahwa slogan "menguras, menutup, mengubur" memiliki arti kebenaran yang ditutupi, dalam film ini, kebenaran tersebut berbentuk bukti-bukti yang ditemukan oleh Sur. Adegan fogging juga menjadi strategi yang digunakan oleh pelaku untuk menghilangkan bukti yang ada.

Warna yang dipakai dalam film cenderung berwarna hijau dan menimbulkan kesan gelap. Suara-suara yang dihasilkan dari lingkungan sekitar turut menjadi backsound dalam film ini dan menjadikan film ini terasa mengalir secara alami. Hal tersebut membuat penonton semakin fokus dalam menghayati isi cerita.

Hal yang sangat disayangkan dari film ini adalah penyajian akhir cerita yang sedikit menggantung dan tidak ada penyelesaian konkret yang menutup cerita. Selain itu, metafora yang digunakan dapat membuat penonton tidak mengetahui pesan tersirat yang ada di balik film tersebut atau menjadi kurang tepat dalam menginterpretasikan sebuah adegan yang seharusnya berperan cukup penting dalam cerita.

Namun demikian, Penyalin Cahaya menyajikan isu pelecehan seksual dengan baik. Isu yang diangkat juga menyertakan isu ekonomi dan sosial yang memperlihatkan bahwa kalangan menengah ke bawah lebih tak berdaya dengan kekuasaan yang ada pada orang kalangan menengah ke atas. Namun, ditunjukan pula bahwa suara masyarakat dapat berpengaruh besar untuk memberi sanksi sosial. Film ini bertujuan memberikan gambaran bagi penonton mengenai kesulitan yang dihadapi korban penyintas pelecehan seksual agar kita sebagai penonton tidak mudah menghakimi seseorang yang mengalami hal tersebut dan sudah sepantasnya berdiri bersama dan mendukung korban. Keputusan menayangkan film ini pada layanan streaming dan tidak di bioskop merupakan keputusan yang tepat pada era pandemi seperti sekarang. Hal tersebut tentunya dapat menjangkau lebih banyak masyarakat untuk menonton film ini.

Terlepas dari isi cerita, masyarakat tidak dapat menutup mata pada terjadinya kontroversi pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu crew film ini. Masyarakat menyuarakan ironinya di media sosial mengenai proses pembuatan film tersebut yang seharusnya dapat menjadi ruang aman dari pelecehan seksual. Namun, yang justru terjadi adalah sebaliknya. Di samping adanya kontroversi, hal tersebut tidak dapat menyurutkan pesan yang terkandung dari film ini. Rumah produksi juga telah meminta maaf atas kelalaian tersebut. Apresiasi turut berdatangan dari masyarakat untuk isi cerita dan tujuan dari dibuatnya Penyalin Cahaya.


Teks: Rahmadhia Aisyah Putri
Editor: Dimas Rama S.W.
Foto: Istimewa

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!