Di suatu waktu ketika sedang menjelajah beranda media sosial, saya menemukan sebuah artikel berjudul "Menolak Berhubungan Intim, Siswi SMA Dimutilasi" dari laman media besar di Indonesia. Ada rasa mengganjal di hati ketika membaca tajuk yang diangkat. Mengapa headline yang diangkat justru lebih mengekspos korban daripada pelaku? Padahal dalam Pasal 8 Kode Jurnalistik Indonesia pun sudah ditegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak boleh menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka yang merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Tidak sampai di situ, kening saya pun kian mengerut ketika setelahnya, saya menemukan berita olahraga yang judulnya kebanyakan mengomentari penampilan fisik daripada prestasi dan pengalaman kompetisi seorang atlet putri. Pembubuhan kata sejenis bohay atau manis seakan menjadi bumbu pelengkap dalam tajuk warta yang disajikan.
Mengapa fisik perempuan harus ditonjolkan padahal ia punya pencapaian yang layak diberitakan? Mengapa pula fisik perempuan kerap dijadikan objek eksploitasi media guna mendapatkan klik dari pembaca? Persoalan ini kemudian membawa saya ke penelusuran dan perenungan mengenai tajuk dan angle berita terhadap isu yang berkaitan dengan perempuan. Alhasil, saya menemukan bahwa hingga sekarang tajuk seksis dan bahasa misoginis masih bertebaran di media-media Indonesia.
Masalah ini mengakar dari dapur produksi yang kebanyakan masih didominasi oleh laki laki. Mengutip dari hasil penelitian dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro dan hasil riset Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pada tahun 2021 silam, disebutkan bahwa jurnalis perempuan di Indonesia tidak lebih dari 20-25%. Hal ini membuat riset PR2Media pada tahun 2021 yang menyatakan bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan ialah rekan kerjanya sendiri (20,9%) dan atasannya (6,9%) terasa masuk akal. Kentalnya budaya patriarki di Indonesia kerap mendorong terjadinya subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan. Terbitnya artikel bias gender merupakan salah satu contoh dari akibat jika perspektif perempuan tidak dilibatkan di dalamnya. Peran wartawati yang acapkali hanya ditempatkan di isu-isu ringan seperti domestik, kecantikan, dan fesyen membuat mereka tidak bisa menyuarakan pendapat dalam isu-isu daging seperti politik, ekonomi, gender, dan feminisme.
Bukan hanya kesetaraan, jurnalis perempuan juga butuh keadilan. Saya percaya banyak wartawati yang tidak kalah kritis dan intelek di negeri ini. Dalam media dan publikasi, pandangan perempuan justru dapat mempertajam pembahasan mengenai suatu isu. Khususnya dalam menyikapi pelbagai isu gender dan feminisme, suara dari jurnalis perempuan sangat diperlukan untuk menyeimbangkan pandangan gender dan menguji objektivitas isi. Dalam isu penting lainnya, saya juga yakin jurnalis perempuan mampu, asalkan diberi ruang dan kebijakan yang adil. Pemberlakuan kebijakan affirmative action dalam lingkup media bisa diterapkan agar jurnalis-jurnalis perempuan mendapat hak sebagai pihak pembuat keputusan di ruang redaksi. Manifestasi ketidakadilan gender yang sering menimpa wartawati bisa dicegah dan dihentikan dengan pemberlakuan kebijakan ini.
Anggapan bahwa jurnalis perempuan tidak bisa memimpin redaksi karena menyandang label irasional dan emosional, bisa patah jika kita berkaca dari media-media besar seperti Kompas TV, Narasi, serta IDN Times yang masih eksis di bawah kepemimpinan perempuan. Beruntungnya juga, masyarakat dewasa ini mulai membuka matanya terhadap isu gender dan feminisme. Hadirnya media berperspektif gender seperti Magdalene.co, juga memberi ruang besar bagi jurnalis perempuan untuk turut berperan aktif dalam media. Terbentuknya komunitas dan aliansi jurnalis perempuan juga turut memperluas ruang aman dan wadah tukar dukungan.
Saya harap disrupsi zaman bisa semakin membuka peluang bagi jurnalis perempuan dalam menyuarakan pendapat dan membela haknya. Terwujudnya ruang interaksi demokratis yang egalitarianisme dan anti-seksisme dalam lingkup media sangat berpengaruh bagi masa depan jurnalistik. Adanya kesetaraan dan keadilan gender dalam payung media akan membentuk akuntabilitas masyarakat serta memecah stereotip bahwa media hanyalah wilayah maskulin. Harapan ini akan terus saya panjatkan dan semogakan. Kerutan di kening saya mungkin tidak akan lebih dalam jika nanti tidak ada lagi judul seksis yang terlintas hingga membuat saya merinding setengah mati, sembari merutuk di dalam hati.
Referensi:
- Sunarto, dkk. (2020). Esensi Kepemimpinan Jurnalis Wanita di Media Pada Era 4.0. Semarang: Alinea Media Dipantara
- Laporan Hasil Survei Nasional 2021 pr2media bertajuk Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia:
https://pr2media.or.id/wp-content/uploads/2021/11/Hasil-Survei.pdf
- Laporan Hasil Survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tahun 2021 bertajuk Kekerasan Seksual di Kalangan Jurnalis: Perlu Ada SOP Kekerasan Seksual yang Komprehensif :
https://ajijakarta.org/2021/01/27/survei-kekerasan-seksual-di-kalangan-jurnalis-perlu ada-sop-kekerasan-seksual-yang-komprehensif/
Teks: Christini Letania Pratami, Universitas Diponegoro
Editor: Chika Ayu