Peringati 16 HAKTP, Aliansi Perempuan Indonesia Serukan Empat Tuntutan

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 November 2024
2 menit

Puluhan orang dari berbagai lapisan masyarakat berkumpul di depan Gedung Sarinah pada Senin (25/11) lalu. Dengan mengenakan pakaian bernuansa merah muda, mereka menggelar aksi bersama untuk memperingati 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP). Aliansi Perempuan Indonesia (API) menggas aksi ini sebagai bentuk protes atas kurangnya respons negara dalam menghadapi berbagai masalah terhadap perempuan, seperti penindasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Sejak pukul 9 pagi, massa aksi mulai berkumpul di dekat Mal Sarinah. Kemudian, mereka berpindah ke samping Gedung Jaya untuk menerima arahan terkait pelaksanaan aksi dari koordinator lapangan. Dengan berbekal arahan itu, massa aksi pun memulai longmars dari depan Mal Sarinah menuju Istana Negara sebagai titik aksi.

Selama perjalanan, massa aksi menyuarakan aspirasi mereka melalui sorak-sorai yel-yel. Tidak hanya itu, beberapa massa aksi juga menyampaikan tuntutannya melalui berbagai cara pribadi, seperti berorasi, berpuisi, dan bermonolog.

Dalam kesempatan tersebut, seorang demonstran bernama Ika dari Perempuan Mahardika memberikan penjelasan singkat mengenai sejarah 16 HAKTP. Dia menjelaskan alasan pemilihan tanggal 25 November sebagai hari pertama kampanye 16 HAKTP, “25 November adalah hari tewasnya tiga orang perempuan pejuang keadilan!”

Selanjutnya, Ika membeberkan berbagai kasus penindasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, hal itu terjadi karena pemerintah Indonesia tidak menempatkan kepentingan perempuan sebagai bagian dari kebijakannya.

Ika menyorot bahwa program pemerintah saat ini justru hanya bertujuan untuk memperkaya kroni-kroni terkait dan menimbulkan kerusakan lingkungan, “Pemerintahan baru [hanya] melanjutkan agenda-agenda [pemerintah] lama yang melanggengkan, yang mencari, yang berfokus pada pemupukan kekayaan sebesar-besarnya dan kerusakan alam!”

Selain orasi dari Ika, salah seorang demonstran menampilkan pembacaan puisi mengenai janda dan perjuangannya, “Mesti stigma buruk selalu melanda, kami tetap menjadikan anak-anak kami punya harapan, atas mimpi-mimpi dan cinta mereka! Kami, janda, berjuang atas hidup kami; meski kepala menjadi kaki dan kaki menjadi kepala!”

Belum sampai di titik aksi, perjalanan massa terhenti di depan Gedung Sapta Pesona. Mereka tidak dapat melanjutkan longmars karena polisi memblokade akses jalan menuju Istana Negara. Meski tidak dapat beraksi di depan Istana Negara, API dan semua massa tetap semangat menggaungkan tuntutan-tuntutan mereka di depan Gedung Sapta Pesona.

Adapun empat tuntutan utama dalam aksi API ini adalah sebagai berikut.

  1. Memprioritaskan agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya dengan menerbitkan Instruksi Presiden untuk mempercepat pengimplementasian Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12/2022 dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)  No. 3/2004 serta pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), dan penegakan hukum lain yang berpihak pada perempuan
  2. Mencabut semua kebijakan pro-investasi dan anti-demokrasi yang justru menciptakan pemiskinan struktural, menghancurkan ruang penghidupan perempuan, dan membatasi ruang gerak masyarakat sipil, seperti UU Cipta Kerja, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan kebijakan lainnya.
  3. Menghentikan proyek pembangunan dan strategis nasional yang merusak alam.
  4. Menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (HAM).

Sebagai penutup, Anti membawa suasana aksi ke puncak ketegangan emosional. Dengan lantang, penyintas kekerasan seksual dan KDRT itu menyerukan perjuangan perempuan melawan ketidakadilan. Aksi ini mencapai klimaksnya ketika para demonstran menyanyikan lagu "Runs the World (Girls)" oleh Beyoncé untuk mengiringi penyalaan smoke bomb.

“Berjalan sesuai rencana. Namun, sangat disayangkan, polisi menghalangi kami untuk menuju Istana Negara, rumah kita, agar suara kami lebih dekat dan didengar oleh para pemimpin negeri ini,” ujar Avanda dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).


Teks: Jeromi Mikhael Asido dan Fikan Vara

Editor: Jesica Dominiq M.

Foto: Fikan Vara

Desain: Aqilah Noer Khalishah


Pers Suara Mahasiswa UI 2024

Independen, Lugas, dan Berkualitas!