Peringati Bulan Jadi Polri, Mahasiswa Tuntut Perbaikan dan Reformasi

Redaksi Suara Mahasiswa · 19 Juli 2023
4 menit

Petang Selasa (18/7), di Jalan Sisingamangaraja tepatnya di bawah Halte CSW, lalu lalang tidak hanya dipenuhi oleh para pengendara dan bus Transjakarta, tetapi juga massa aksi yang hendak menuju ke Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) untuk berunjuk rasa menuntut perbaikan institusi Polri dalam rangka memperingati bulan jadi Polri. Berbondong-bondong massa aksi datang membawa panji dan memakai almamater dari masing-masing kampus. Mereka juga membawa spanduk yang menggambarkan kekesalan dan kekecewaan terhadap kinerja Institusi Polri saat ini.  

Aksi bertajuk ‘Polri Presisi Hanya Narasi’ itu dihadiri sekitar 250 hingga 300 peserta yang berasal dari berbagai kampus seperti UPN Veteran Jakarta, Universitas Trisakti, Universitas Indonesia, dan kampus-kampus lainnya.

“Jadi ini sebenarnya tidak ada kaitan dengan BEM SI atau pun BEM Nusantara, hari ini merupakan perkumpulan dari mahasiswa-mahasiswa yang memang mengecam dan menggugat tindakan-tindakan represifitas dari aparat,” jelas Vladima Insan Mardika, Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti.

Dengan keras massa aksi meneriakan enam tuntutan perbaikan Polri yaitu reformasi Polri, tolak militerisasi di ruang publik, demoralisasi dan impunitas Polri, tuntaskan pelanggaran HAM oleh kepolisian, benahi rekrutmen Polri, dan tolak multifungsi Polri.

Kedatangan massa aksi disambut oleh puluhan aparat kepolisian yang telah menunggu di persimpangan lampu merah Halte CSW. Puluhan aparat tersebut mengepung massa aksi dari depan mobil komando hingga ke belakang barisan demonstran. Hal ini membuat mobil komando dan massa aksi yang hendak maju menuju depan kantor Mabes Polri terhenti. Konsoliasi pun dilakukan antara massa aksi dan pihak kepolisian agar kepolisian mau membuka jalan untuk massa aksi menuju titik aksi semestinya yakni Mabes Polri.

Sambil menunggu konsoliasi, para orator dari berbagai kampus terus melanjutkan orasi mengenai keluh-kesah hingga kritik terhadap kepolisian di atas mobil komando. Sayang, cekcok antara massa aksi dan kepolisian pun tidak terhindarkan karena konsoliasi tak kunjung menemukan titik temu, hingga akhirnya mobil komando ditarik keluar dari area aksi demonstrasi. Meskipun begitu, massa aksi memutuskan untuk tetap melanjutkan orasi di tengah persimpangan lampu merah itu dengan hanya bermodalkan megafon.

Kegiatan aksi ini berlangsung sekitar dua jam. Ketika aksi menjelang selesai para pimpinan organisasi kemahasiswaan berkumpul dan berbaris dengan memegang pengeras suara di depan awak media. Perwakilan mahasiswa dari Universitas Trisakti membacakan kembali enam tuntutan yang ditujukan kepada institusi Polri. Selesai membacakan tuntutan, massa aksi meminta perwakilan pihak kepolisian untuk menandatangani tuntutan Reformasi Polri hingga akhirnya ditandatangani oleh perwakilan kepolisian.

Dari Ferdy Sambo sampai Kanjuruhan, Massa Aksi: Polri Perlu Perbaikan

“Mungkin, kita udah liat bukti-bukti nyata yang terjadi sekarang kalau misalnya Polri itu tidak membuat citra yang baik di mata masyarakat seperti banyak kejadian, misalnya Ferdy Sambo, Teddy Minahasa yang jadi gembong narkoba, terus baru terjadi kemarin yaitu salah tangkap yang menyebabkan korban jiwa yang dibunuh oleh polisi,” ujar Galet dan Rahul, mahasiswa UPN Veteran Jakarta.

Menurut mereka citra Polri sudah terlampau buruk karena banyaknya kasus yang tidak bisa tertangani secara tuntas. Galet dan Rahul mempertanyakan bagaimana masyarakat bisa mempercayai polisi sebagai pelindung rakyat ketika pungutan liar masih marak terjadi di lingkungan kepolisian. Hal senada pun juga disampaikan oleh Neldy Haryanto, mahasiswa Universitas Indonesia. Ia menyampaikan bahwa kepolisian sudah memiliki citra yang buruk sejak dulu dan semakin buruk hingga saat ini. Neldy menyayangkan kelalaian kepolisian dalam memproses beberapa kasus seperti kasus Teddy Minahasa, Ferdy Sambo, dan kasus-kasus lainnya.

“Kalo kasus sebenarnya banyak, kalau misalnya kita bilang arogansi tuh kita lihat videonya di Youtube, Instagram, dan sosial media lainnya sudah banyak, lah, kasus-kasus arogansi Polri,” tutur Tavi, Koordinator Sospol BEM UI.

Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh kepolisian menjadi dorongan baginya untuk hadir pada aksi tersebut. Kekecewaan yang sama juga diutarakan Tavi atas kelalaian Polri dalam bertindak tegas maupun dalam penyalahgunaan kekuatan institusi.

“Citra polisi semakin ke sini semakin turun, kita lihat dari berbagai kasus seperti Ferdy Sambo, Kanjuruhan, kasus pelanggaran HAM, kasus-kasus arogansi, kasus-kasus etik polisi lainnya yang ujung-ujungnya gak pernah dibenahi, diadili dengan ringan. Jadi, ini sudah membangun citra Polri, seharusnya Polri yang seperti apa, namun nyatanya sekarang di hadapan publik, kekecewaan publik yang sudah cukup tinggi. Apalagi, kasus-kasus yang tadi sudah disebutkan,” kata Tavi

Kendati demikian, melansir detiknews, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia tingkat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian meningkat dan berada di angka 70,8 persen pada rentang bulan Februari hingga Maret 2023. Survei tersebut mengambil sampel dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional dan metode yang digunakan dalam survei menggunakan metode simple random sampling.

Namun, hasil survei yang dilansir oleh Indikator Politik Indonesia itu berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di lapangan. Hal tersebut pun kembali dipertanyakan dan diragukan kredibilitasnya oleh massa aksi yang menuntut perubahan di dalam tubuh Polri.

Selain itu, menurut Vladima survei tersebut diragukan sebab begitu banyak penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para oknum kepolisian demi menguntungkan dirinya sendiri, misalnya tindak kekerasan, kasus yang tidak kunjung tuntas dan berkepanjangan, juga pelanggaran-pelanggaran lainya yang tidak terungkap sepenuhnya.  Vladima juga menjelaskan bahwa kasus-kasus tersebut membuat citra Polri di mata publik kembali buruk mengingat Polri yang seharusnya bergerak linear bersama rakyat, menjaga, melindungi, dan mengayomi rakyat justru menindas rakyat itu sendiri.

“Mungkin akan saya sampaikan sederhana saja kalaupun memang 70% rakyat Indonesia dari sekian ratus juta yang hidup di bangsa ini rakyatnya 70%, ini kan jumlah yang sangat besar seharusnya kita melihat kembali secara ril apakah memang ini merupakan survey yang nyata atau survey yang dibuat-buat, karena jika saya pribadi menyatakan hari ini kita tidak perlu berbicara jauh saja, beberapa belakangan ini ada seorang tahanan Polres di Jawa Tengah yang itu memang meninggal, nah hal-hal seperti itu saya pikir sangat tidak layak untuk dibilang di awal tahun ini ya ada survey seperti itu,” ujar Vladima Insan, Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti.

Setelah peserta aksi menyampaikan berbagai tuntutan, orasi, serta keluhannya, massa aksi menyatakan akan terus bersuara untuk menuntut perubahan dengan melakukan konsolidasi dan pergerakan lanjutan jika tidak ada respons serta tindak lanjut dari instansi kepolisian untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dan melakukan perubahan di dalam tubuh Polri

“Kita pasti gerak lagi, kita pasti bikin hal-hal lain melalui aksi, melalui kajian untuk bisa mendorong Polri untuk berbenah.” Tegas Tavi.

Dengan adanya aksi ini, massa aksi berharap tuntutan-tuntutan yang disampaikan dapat diproses lebih lanjut dan bukan sekedar dibaca saja. Mereka juga berharap instansi kepolisian dapat memperbaiki diri dalam segala aspek, diantaranya rekrutmen anggota baru dan sistem pendidikan yang harus ditingkatkan kualitasnya. Selain itu, para peserta aksi berharap agar instansi kepolisian mereformasi internal tubuh Polri serta menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, penindasan masyarakat kecil, pungutan liar, dan berbagai pelanggaran lain agar citra Polri sebagai pengayom masyarakat dapat kembali pulih.

Teks: Daffa Ulhaq, Aulia Arsa A.

Foto: Ammara S.

Editor: M. Rifaldy Zelan

Pers Suara Mahasiswa UI 2023

Independen, Lugas, dan Berkualitas!