Perjalanan Menuju Kamar Tidur, Sehimpun Puisi

Redaksi Suara Mahasiswa · 20 Juni 2021
2 menit

Perjalanan Menuju Kamar Tidur

1.

Aku menempuh perjalanan sepanjang 548 KM, sepanjang masa laluku yang hanya sepersepuluh. Peta di saku malas, tertutup dan tidur karena menyadari guna adalah hal paling tidak dibutuhkan —perjalanan kali ini sarat sengkuyung dan ruam-getir.

Di dunia ketiga, aku menemukan orang-orang baru —sebagian memicingkan mata dan sebagian besar lagi saling merebut, memeluk dan meneriakkan salam. Aku menjadi keramaian yang disaksikan orang-orang sekaligus menjadi ngeri kesunyian untuk diriku sendiri.

Satu hal yang ingin kutekankan, aku adalah saksi malam beserta mayapada angkasanya dan aku hendak menjelaskan kepada langit gelap jika aku berhak membaca —kegelapanku sendiri.

2.

Di langit-langit kamar yang lelah, aku melihat jembatan besar dan panjang yang hendak menghantarkanku pada ruangan penuh permadani —dan menikmati makanan kesukaanku —sego tewel.

Perjalanan kali ini sekali lagi membuatku berpikir, seberat beban batu yang dipikul seorang Sisifus. Dan aku berhasil menemukan puncak atas pergulatan yang dahsyat —menjadi permadani dan atribut mandalanya yang membuatku jatuh cinta —keseimbangan.

Sekali lagi, aku mendapatkan ‘rasa’ dan ia mengolahku untuk menyelami diri, menggali lorong kesunyianku sampai habis dan menemukan cerukku. Makhluk macam apa…

3.

Tiba di hari ketika orang-orang sontak mengheningkan cipta — aku seolah digelandang menuju gelanggang untuk menjadi matador berbekal segebok cerutu —dan akhirnya aku paham, didikan Ibu sejak lahir adalah ‘jangan sekali-kali menjadi kecil’. Aku membelah tempurung kelapa dan menjadikannya kolam ikan, sebagaimana ajaran Mbah.

—Sekonyong gelanggang hening. Mandala di permadaniku seolah menjadi corak yang berbeda. Ia menjelma suatu benda yang tidak dapat aku eja. Sangat rumit, belum lagi ia memenuhi seluruh gelanggang.

Aku mengalah untuk menerima kematian sesaat, sebelum kemudian dunia berbaik hati dan memberikanku babak-babak baru.

4.

Kita —yang memahami jagat pertarungan adalah hal kuno akhirnya memaafkan hari lalu. Engkau tidak menghendaki persilangan botol-botol anggur di langit. Lebih bijak barangkali adalah saling merawat tanah untuk menyongsong keabadian —menanam padi dan teh atau mempersiapkan liang lahat.

Kita memeragakan peran orang-orang pintar —lakon yang seharusnya kita jalankan nanti tanpa harus membaca peta, sebagaimana kita menyadari ‘guna’ adalah hal paling tidak dibutuhkan. Semua terbaca dan bukan kita yang berhak membacanya —biarlah udara masam.

Akhirnya satu yang ingin aku titipkan sekaligus, semisal aku mati terlebih dahulu dan mengisi liang lahat yang kita gali, semoga engkau selalu mendoakanku. Sepanjang doa, sepanjang baktimu menjadi manusia.

Aku menjadi buku catatan kehidupanmu, abadi...

Menonton Televisi

Mengunjungi rumah lama, aku mendapati satu slot pita rekaman masa kecil yang meriah —berdebu dan sia-sia
Kejenuhanku membendung kalimat-kalimat kematian, menahannya agar terpekur sejenak sebelum aku saksikan siaran tunda kehidupan (untuk menertawakannya sebentar sebelum semua selesai)
Dan tidak ada siaran tunda kali ini. Aku menjadi haribaan di depan televisi usang peninggalan ibuku, yang menjadi saksi jelang kematiannya
Tidak ada hari suci —semua bergeser dan menjadi hal lumrah. Sementara aku ingin menjadi awan di langit yang memagari dunia, menjadi saksi dua manusia yang tengah jatuh cinta
Kepada nyata pepohonan dan rumbai-rumbai daun pisang, esok hari aku akan menjadi tanah untuk siapapun yang kucintai
Aku bersaksi pada sebuah televisi mati yang tak mau menayangkan siaran tunda masa kecil —penuh reportoar dan kejanggalan

Salimna, salimna, ya Mujibassailin!

Menjadi Tukang Kebun

Ini kali kesekian engkau menyaksikan aku berdarah di depan rumahmu
Engkau terisak dan sendu di balik jendela tak kuasa
Mataku berlinang air mata dan dedaunan jatuh
Pelan-pelan menjadi kompos dan kesibukan luhur
Menyuburkan kebunmu agar selalu menjadi kehidupan

Penulis: Adli Muaddib
Ilustrasi: Adelia Febiyanti
Editor: Nada Salsabila

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!


Tentang Penulis

Adli Muaddib, lahir di Pati pada tanggal 10 Desember. Saat ini tengah menempuh pendidikan tahun ketiga di Prodi Rusia UI. Ia aktif berjejaring di Kolektif Literasi Makara UI dan Jejaring Dunia Santri. Salah satu hal yang ia geluti saat ini adalah sarung, karena ia sangat suka memakai sarung.