Rangkaian Pekan Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional mencapai puncaknya pada Sabtu (15/2) kemarin. Jalan Bareng PRT menjadi aksi puncak yang menutup rangkaian peringatan tersebut. Tidak hanya para PRT, lebih dari 100 komunitas turut turun ke jalan sebagai partisipan dalam kegiatan ini, seperti Konde, Perempuan Mahardhika, dan Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi).
Dengan membawa spanduk yang memuat tagar #SahkanRUUPRTSekarangJuga, massa aksi jalan bareng dari titik kumpul di depan Sarinah ke titik aksi di Patung Kuda. Di sepanjang perjalanan, beberapa massa aksi bergantian menyampaikan orasi. Melalui orasi-orasi itu, mereka mengangkat isu-isu yang dihadapi para pekerja domestik.
Di bawah langit kelabu dan guyuran hujan, massa aksi memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan PRT (RUU PPRT). Mereka masih melanjutkan perjuangan yang telah berjalan selama lebih dari 20 tahun itu karena pemerintah tak kunjung mengesahkan payung hukum bagi keselamatan para PRT tersebut. Jika pemerintah mengesahkan RUU PPRT, para PRT pun mendapatkan pelindungan hukum dan ruang aman dari berbagai kekerasan ketika melakukan kerja.
Mengutip siaran pers (release press) Aksi Hari PRT Nasional 2025, Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT) mengategorikan empat tindakan kekerasan dan diskriminasi kerja yang dialami para PRT. Keempat kategori itu adalah hidup dalam situasi perbudakan; hidup dalam situasi pelecehan; hidup dalam situasi kemiskinan tanpa pelindungan sosial yang seharusnya; rentan menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).
Bukan hanya itu, sejumlah orator juga menyuarakan hak-hak perempuan yang mengalami kekerasan, penindasan, dan diskriminasi. Secara khusus, massa aksi juga menyinggung kebijakan efisiensi anggaran. Mereka memandang bahwa kebijakan itu tidak berpihak kepada rakyat karena menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai aspek pendukung atau sekunder semata.
Seruan Lembaga Keagamaan untuk Pengesahan RUU PPRT
Daftar korban yang semakin hari terus bertambah menjadi keprihatinan bagi beberapa lembaga keagamaan. Lembaga-lembaga itu pun buka suara demi mendorong pengesahan RUU PPRT. R. D. Marthen L. P. Jenarut, seorang perwakilan Romo dari Konferensi Waligereja Indonesia, merasa bahwa lembaga agama tidak hanya harus mengurus segala sesuatu terkait spiritualitas, tetapi juga menyuarakan isu-isu yang menyangkut kemanusiaan.
Lebih lanjut, Rev Ethika sebagai perwakilan Pendeta dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menekankan keberadaan PRT sebagai manusia yang merupakan makhluk mulia ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, Rev menyatakan bahwa penting bagi sesama manusia untuk menunjukkan kepedulian terhadap para PRT sesuai amanat di dalam Kitab Suci.
“Alangkah baiknya memang dimulai dari kesadaran mengakui bahwa mereka adalah pekerja. Sebagai pekerja, tentulah dibutuhkan pengakuan atas hak-hak mereka yang sangat mendasar: Apakah mereka sudah punya kontrak kerja, jam kerja yang manusiawi, perlindungan hukum dan perlindungan sosial? [Oleh] karena itulah, PGI mendorong hak-hak yang sangat mendasar itu lewat pengesahan RUU PPRT.”
Lembaga Islam juga memberikan pernyataan serupa. Melalui Ummu Salamah selaku perwakilannya, Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah menegaskan bahwa ketidakadilan yang dialami pekerja rumah tangga adalah tidak lebih dari bentuk kezaliman struktural yang harus dihapus lewat kebijakan yang berpihak pada kelompok-kelompok rentan.
Desakan dan Harapan
Bertahun-tahun pengesahan RUU PPRT telah diperjuangkan, tetapi tidak ada keseriusan pemerintah dalam menanggapinya. Pada akhir periode sebelumnya, DPR mengumumkan akan melanjutkan pembahasan draf RUU PPRT ke periode berikutnya. Akan tetapi, kejelasan dari kelanjutan tersebut tidak kunjung terdengar hingga sekarang.
Padahal, jika anggota legislatif memang membutuhkan penjelasan lebih lanjut mengenai urgensi dari pengesahan maupun detail lain tentang RUU PPRT, mereka dapat membahasnya dengan Jala PRT dan Koalisi Perempuan Indonesia yang sangat terbuka untuk duduk bersama.
Jumisih, salah seorang anggota Jala PRT, juga mengungkapkan harapannya terhadap progres dari pengesahan RUU PPRT, “Harapannya kepada anggota dewan, ini proses pembahasannya masuk ke komisi 13 [komisi yang bergerak dalam isu hak asasi manusia] dan kita tahu hak-hak PRT banyak terlanggar. Kami ingin HAM PRT atau hak dasar sebagai PRT diakui dan itu tertuang di dalam draf RUU PPRT. Jadi, kalau draf RUU PPRT-nya jadi undang-undang, maka itu adalah sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia termasuk PRT,”
Bersamaan dengan itu, Ajeng Pangesti selaku Perwakilan Perempuan Mahardhika mengkritik kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran selama ini. Dia menilai bahwa pemerintah lebih sibuk mengurus efisiensi anggaran, perluasan sawit, dan program Makan Bergizi Gratis daripada isu kekerasan, femisida, dan kondisi pekerja rumah tangga yang memerlukan perhatian lebih.
Sebagai informasi tambahan, sebelum ditutup dengan aksi Jalan Bareng PRT, Pekan Peringatan Hari PRT Nasional telah menyelenggarakan berbagai rangkaian kegiatan sejak 12 Februari lalu. Pekan peringatan ini dibuka dengan Open Mic bersama anggota DPR lintas partai pada 12 Februari, lalu dilanjutkan dengan siaran langsung di YouTube mengenai pembahasan RUU PPRT pada 13 Februari dan acara Konferensi Pers di Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada 14 Februari.
Teks: Chika Ayu dan Grace Tereneysa
Editor: Jesica Dominiq M.
Foto: Naswa Dwidayanti K.
Desain: Hanif Ridhwan Nuruddin
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!