Memahami Kembali Perkosaan Mei 1998: Logika Sesat Kerusuhan Massal

Redaksi Suara Mahasiswa · 15 Mei 2023
5 menit

Bagi orang-orang umumnya, kiranya Jembatan Slipi hanya menjadi penghubung jalan biasa. Mungkin tak seorang pun mampu membayangkan nasib apa yang akan dialaminya ketika melewati Jembatan Slipi yang hampir selalu diramaikan kendaraan bermotor. Tapi, bagi Siska (bukan nama sebenarnya), jembatan yang terletak di bilangan Jakarta Barat ini tak mampu lagi untuk dilewatinya.

Di pinggir Jembatan Slipi itu, tepat 14 Mei 1998—sebagaimana cerita ini penulis kutip dari publikasi Komnas Perempuan berjudul Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa: Disangkal!—Siska bersama dengan teman kuliahnya, Erna (bukan nama sebenarnya juga), yang sedang menunggu bus dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil oleh sekelompok laki-laki. Tubuh mereka diraba-raba, sebelum akhirnya salah seorang laki-laki memotong payudara kedua mahasiswa ini. Mereka kemudian dibuang di daerah Kebon Jeruk.

Logika Sesat Kerusuhan Massal

Ini bukan tentang kesialan nasib seseorang. Dalam waktu yang berdekatan, ada ratusan perempuan—dengan sebagian besarnya merupakan keturunan Tionghoa—yang mengalami kejadian serupa. Tubuh korban diserang dan dijadikan alat teror untuk sementara waktu sehingga dapat dikorbankan kembali (revictimization) melalui penyangkalan negara dan masyarakat.

Penjelasan umum yang diterima biasanya menyebut tragedi perkosaan Mei 1998 sebagai titik kulminasi dari kerusuhan massal berbasis etnik. Sebagian lagi, dengan kadar berbeda, menganggapnya berkelindan dengan krisis ekonomi, sosial, dan politik seiring menuanya umur kekuasaan diktator Soeharto. Sebagian lainnya, yang lebih menggelikan, menempatkan tragedi ini dalam pusaran konflik berbasis agama dan rasial.

Terlepas berbagai aspek berbeda yang dipertimbangkan itu, bila diringkas, pemikiran umum yang berkembang menempatkan tragedi perkosaan Mei 1998 ini sebagai “kerusuhan massal”. Berkaca dari umumnya penggunaan term kerusuhan massal—sebagaimana sejarawan Merle Calvin Ricklefs menggunakan pula istilah “kerusuhan massal” dalam karyanya berjudul A History of Modern Indonesia Since c. 1200—anggapan tersebut seolah tak dapat digugat kembali.

Persoalan ini tentunya bukan sekadar penggunaan istilah atau typo semata. Ada logika maskulinitas dan ideologi gender negara yang bersembunyi di balik istilah kerusuhan massal. Melalui Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture, dalam sebuah catatan kaki yang penting untuk penulis kutip panjang lebar, Ariel Heryanto membedahnya dengan terang benderang: “Istilah ‘kerusuhan’ mengimplikasikan tindakan dari bawah ke atas dan bersifat spontan, ditandai dengan kehendak bebas para pelaku, yaitu kerumunan yang marah. Skenario yang banyak diterima ini menyalahkan kriminalitas pada massa kolektif yang dibayangkan, padahal mereka tak pernah ada ...” Pendek kata, logika kerusuhan massal mengandaikan tanggung jawab sosial secara eksklusif terhadap warga negara, alih-alih menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama.

Kekerasan negara—dalam bentuknya yang paling menjijikkan—mewujudkan dirinya dalam tragedi perkosaan Mei 1998. Akan tetapi, bila bukan disangkal oleh negara atau elite politisi brengsek, kekerasan negara lebih banyak dan sekadar dikecam para aktivis HAM tanpa dibarengi pemahaman teoritik yang memadai. Kosongnya pemahaman teoritik ini, sebagaimana diungkapkan oleh Ariel Heryanto dalam Perkosaan Mei 1998: Beberapa Pertanyaan Konseptual, mendorong digunakannya percakapan dan diskursus publik seputar kekerasan negara—secara paradoksal—sebagai alat kekuasaan demi mempertahankan kepentingan dari satu pihak.

Percakapan-publik-sebagai-alat-kekuasaan ini kiranya tergambarkan jelas dalam kasus klaim sepihak politisi tersohor Fadli Zon, dalam sebuah diskusi yang dihelat Metro TV berjudul Save Our Nation: Fakta dan Mitos Kerusuhan Mei 1998, yang menyebut tragedi perkosaan Mei 1998 sebagai sebuah mitos belaka. Sampai di sini, kita perlu mempertanyakan kebenaran aksiomatis yang menjadi landasan percakapan kita ini demi melampaui logika kerusuhan massal dan logika rasialisasi.

Sudah berabad-abad lamanya, memori kolektif kita terlampau tercemar oleh logika rasialisasi—yang sebagiannya didorong pula oleh historiografi rasis: membayangkan identitas ras atau etnis sebagai sesuatu yang alamiah. Masyarakat dibayangkan secara saklek terdiri dari berbagai identitas etnis yang ditetapkan sejak kelahiran masing-masing individu.

Padahal, sebagaimana ditegaskan Heryanto dalam Identity and Pleasure, para ilmuwan humaniora telah bersepakat atas sifat fiktif dari hampir seluruh identitas sosial, termasuk etnisitas dan ras. Pandangan ini secara khusus berkembang sejak terbitnya dua karya penting di akhir abad ke-20, yakni The Invention of Tradition karya Eric Hobsbawm dan Terence Ranger dan Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism karya Benedict Anderson.

Meski demikian, anggapan umum yang menempatkan identitas etnis dan ras sebagai sesuatu yang alamiah, objektif, dan nyata masih berakar kuat dalam diskursus publik hari ini. Logika rasialisasi terwujud jelas dalam anggapan umum yang meletakkan tragedi perkosaan Mei 1998 sebagai konflik meledak-ledak antara kaum ‘Pribumi’ melawan kaum ‘nonPribumi’.

Nyatanya, dalam kasus ‘kerusuhan Mei 1998’ yang lebih luas, tidak semua yang disematkan sebagai ‘Pribumi’ mengekspresikan dirinya dengan membela apa yang digolongkan sebagai kelompoknya—dan begitupun sebaliknya. Kecenderungan kita untuk meletakkan tragedi perkosaan Mei 1998 sebagai permasalahan rasial sedikit banyaknya mencerminkan kecenderungan publik mewariskan tradisi kolonial terkait kategorisasi ras sebagai sesuatu yang alamiah.

Perkosaan Mei 1998 sebagai Terorisme Negara

Logika rasialisasi tidak membawa siapapun pada penjelasan mengapa kebencian terhadap sekelompok ras, yang didorong masalah dominasi ekonomi, bermuara utamanya pada serangan seksual terhadap anggota ras perempuannya, alih-alih anggota laki-lakinya? Logika rasialisasi, begitupun juga logika kerusuhan massal, sama sekali tidak menjelaskan mengapa serangan yang dianggap “kemarahan etnik” itu harus berwujud kekerasan seksual? Bahkan, bila aspek ketimpangan gender dipertimbangkan sebagai yang utama, mengapa pula serangan seksual yang terjadi haruslah berbentuk perkosaan massal (gang-rape)?

Di sinilah, pemahaman kita atas apa yang terjadi pada tragedi perkosaan massal Mei 1998 mendapatkan bantuan dari eksplorasi Ariel Heryanto mengenai konsep “terorisme negara”, state terrorism. Dalam karyanya berjudul State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging, Ariel Heryanto berupaya mendudukkan terorisme negara sebagai sebuah konsep umum dan juga praktik khusus dalam negara Orde Baru. Terorisme negara dimaknai sebagai serangkaian kampanye yang disponsori negara demi mendorong ketakutan (teror) yang intens dan meluas.

Konseptualisasi tersebut melibatkan lima aspek kunci. Pertama, ketakutan yang diciptakan berasal dari tindakan kekerasan oleh agen negara, seperti tentara. Kedua, ditujukan terhadap warga negara tertentu. Ketiga, individu korban sengaja dipilih sebagai perwakilan dari satu atau lebih kelompok sosial yang sering diidentifikasikan secara publik. Keempat, viktimisasi dan sedemikian terbukanya kekerasan dilakukan demi menyebarluaskan ketakutan. Kelima, sebagai akibatnya, populasi umum akan mereproduksi ulang kekerasan yang diterima pada sesamanya. (Heryanto, 2006: 19).

Kita pun perlu tahu, sebagaimana diidentifikasikan dalam Laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, bahwa mereka yang melakukan penjarahan ataupun perkosaan merupakan individu terlatih dan berpostur tubuh layaknya tentara. Sangat konyol untuk menyebut tragedi Mei 1998 yang sangat terang dilakukan secara sistematis dan terorganisir sebagai sebuah ‘kebetulan’. Temuan fakta di lapangan bahwa warga setempat bukanlah pelaku utama peristiwa ‘kerusuhan’ juga semakin mematahkan logika kerusuhan massal yang mengandaikan tindakan spontan warga setempat.

Perlu juga dicatat, sebagaimana digambarkan oleh Dorothy Q. Thomas dan Regan E. Ralph dalam Rape in War: Challenging the Tradition of Impunity, perkosaan sebagai strategi perang sudah menjadi suatu hal yang umum. Selama masa Perang Dunia 2, misalnya, tentara bayaran Maroko hanya mau bertempur dengan pasukan Prancis di Italia dengan syarat diizinkan untuk memperkosa dan menjarah di wilayah musuh. Bahkan, tentara Nazi juga memperkosa secara masif para perempuan saat mereka menyerbu Uni Soviet. Tindakan ini kemudian dibalas Uni Soviet terhadap para perempuan Jerman saat pasukan mereka berperang menuju Berlin.

Dalam kasus tragedi perkosaan Mei 1998, perkosaan massal dihadirkan oleh negara dalam situasi non perang. Lebih jauh lagi, dengan mempertimbangkan berbagai temuan itu, seperti adanya indikasi keterlibatan agen negara, identitas sosial korban yang dipilih spesifik—sebagian besar beretnis Tionghoa dan perempuan, hingga kekerasan yang bersifat terbuka, tragedi perkosaan Mei 1998 dapat dipahami sebagai sebentuk terorisme negara. Maka demikian, aspek seksualitas, gender, agama, hingga rasisme hanyalah—untuk meminjam istilah Heryanto—sekadar ‘tumpangan’ dalam sebentuk terorisme negara.

Teks: Ahmad Shalahudin (FIB UI)
Editor: Dian Amalia Ariani

Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, Berkualitas!

Daftar Acuan

Anderson, Benedict. (2008). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas yang Terbayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Heryanto, Ariel. (2014). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. Singapura: NUS Press.

Heryanto, Ariel. (2006). State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. New York: Routledge.

Heryanto, Ariel. (2000). Perkosaan Mei 1998: Beberapa Pertanyaan Konseptual. Dalam Nur Iman Subono (Ed.), Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Hobsbawm, Eric & Ranger, Terrence. (2013). The Invention of Tradition. New York: Cambridge University Press.

Komnas Perempuan. (1999). Seri Dokumen Kunci: Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (Lampiran Laporan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan). Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan. (2003). Tragedi Mei 1998 dalam Perjalanan Bangsa: Disangkal! Jakarta: Komnas Perempuan bekerja sama dengan New Zealand Official Development Assistance.

Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Fourth Edition). New York: Palgrave Macmillan.

Thomas, D. Q., & Ralph, R. E. (1994). Rape in War: Challenging the Tradition of Impunity. SAIS review, 14(1), 81-99.

Youtube.com. (n.d.). Save Our Nation "Fakta dan Mitos Kerusuhan" Mei 1998. Diakses dari youtube.com, https://www.youtube.com/watch?v=b6XsTwf9c8I