Pers Komunis ala Njoto

Redaksi Suara Mahasiswa · 27 Januari 2021
4 menit

Contributor Rifaldi Apinino

Nama Njoto mungkin sudah tidak asing di telinga kita, ia kita kenal dalam buku sejarah sebagai tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama dua orang dedengkot lainnya, yakni Aidit dan Lukman. Posisi sentral Njoto telah membuat pemikiran serta beragam aktivitasnya terkubur bersama partai yang dinyatakan terlarang sejak tahun 1966. Dengan kata lain, stempel terlarang pada PKI telah membuat banyak orang menghindari pembahasan partai tersebut termasuk para tokoh di dalamnya. Namun, kali ini penulis akan mengajak kawan-kawan untuk mendobrak sekat tersebut dan melihat kembali bagaimana pemikiran serta aktivitas Njoto yang di dalamnya terdapat banyak sekali ilmu, karena memang landasan pemikiran dan aktivitasnya bersumber pada ilmu: Marxisme.

Tertarik pada Dunia Jurnalisme sejak Kecil
Di balik aktivitas politiknya hingga menjadi petinggi PKI, Njoto sejak kecil justru lebih menaruh minat besar pada dunia tulis-menulis. Ketika bersekolah di Hollandsche-Inlandsche School (HIS)—setara dengan sekolah dasar saat ini—Jember sekitar tahun 1933, Njoto mengutarakan pada ayahnya bahwa ia bercita-cita ingin menjadi seorang jurnalis dan bertekad untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Perancis (Zulkifli, 2009: 5). Tekad dan cita-cita tersebut didukung penuh oleh ayahnya dengan terus menyekolahkan Njoto hingga jenjang tinggi.

Setelah lulus dari HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama, di Jember (Zulkifli, 2009: 10). Pada saat ini pula, Njoto mulai akrab dengan buku-buku karya Karl Marx, Stalin, Lenin, dan tokoh komunis lainnya. Keakraban Njoto dengan buku-buku tersebut tidak lepas dari pengaruh ayahnya, Sosro Hartono, yang juga merupakan tokoh PKI dan sudah aktif sejak tahun 1920-an. Sosro Hartono tidak pernah membatasi Njoto untuk membaca apa saja, asalkan urusan sekolah tidak ditinggalkan. Dengan demikian, Njoto yang lahir pada 17 Januari 1927 dibesarkan dalam keluarga yang dekat pada politik komunisme, dan mungkin latar belakang keluarga inilah yang secara signifikan memengaruhi pijakan politik Njoto di kemudian hari.

Memasuki masa remaja, aktivitas politik dan tulis-menulis Njoto terus berkembang. Ia bergabung dengan Organisasi Politik “Indonesia Muda” tahun 1942, pada saat itu pula Njoto mulai masuk dalam lingkaran PKI di lingkup Jawa Timur (Firdausi, 2017: 18). Kemudian, kegiatan tulis-menulis Njoto mulai aktif ketika memasuki tahun 1945. Tahun tersebut menjadi awal kontribusinya menulis untuk Bintang Merah, majalah teori PKI. Selain itu, Njoto juga bergabung dengan redaksi harian Suara Ibu Kota yang dipimpin oleh Siaw Giok Tjhan—seorang aktivis politik dan aktif dalam dunia pers.

Pertemuan dengan Siaw Giok Tjhan telah membuka jalan Njoto untuk lebih jauh mendalami dunia pers. Di sisi lain, Siaw Giok Tjhan melihat Njoto sebagai seorang yang pekerja keras dan mau belajar, hingga akhirnya Siaw Giok Tjhan mempercayai Njoto untuk mengelola surat kabar bernama Harian Rakjat. Kemudian, karena keterbatasan dana, Harian Rakjat diakuisisi oleh PKI dan Njoto ditunjuk sebagai pimpinan redaksi (Zulkifli, 2009: 23). Pada masa inilah Njoto mempraktikkan ide-ide tentang komunisme dan pers.

Menjalankan Pers dengan Landasan Komunisme
Prinsip pers yang dijalankan oleh Njoto tergambar dalam beberapa tulisannya yang terbit di surat kabar Harian Rakjat. Hal paling mendasar yang dijelaskan oleh Njoto dari prinsip pers komunis adalah perihal gaya tulisan. Setiap penulis Harian Rakjat harus melakukan gaya tulisan sederhana, tetapi tetap hidup. Maksudnya adalah penulis tidak menggunakan bahasa “ber-kembang2, diperindah2, tetapi bahasanja tidak berisi”, tetapi juga tidak menulis dengan gaya “mati seperti akte notaris atau undang2 negara..” (Njoto, 1953: 3). Dengan gaya penulisan semacam itu, surat kabar Harian Rakjat dapat dinikmati oleh massa rakyat secara luas, baik itu golongan akademisi maupun kelas buruh dan kaum tani.

Selain perkara gaya penulisan, Njoto juga menyoroti perihal kegunaan pers. Menurutnya, media berperan dalam melakukan pemberitaan yang berpihak pada perjuangan rakyat. Dalam tulisannya “Berdjuang Dengan Pers” (1954), ia mengatakan, “Sesuatu aksi massa, baik demonstrasi, atau pemogokan, atau kongres, atau lain2nja, berlangsung dengan sukses, djika ia dibantu oleh kampanje jang baik di dalam pers”. Oleh karena itu, Njoto menegaskan bahwa hadirnya Harian Rakjat adalah untuk mengabdi kepada rakyat dan perjuangan-perjuangannya (Njoto, 1954: iii). Ia mengatakan bahwa objektifnya pemberitaan Harian Rakyat berarti memberitakan sesuatu dengan benar. Dalam objektif itu pula, dengan sendirinya terdapat rasa keberpihakan karena kondisi masyarakat yang penuh dengan pertentangan kelas. Kemudian, Njoto mengatakan bahwa pers komunis berkewajiban berupa memberikan penerangan tentang adanya kelas-kelas sosial dan memberikan realitas yang aktual di masyarakat (Firdausi, 2017: 76).

Selain menempatkan Harian Rakjat sebagai media yang mengabdi pada perjuangan rakyat, Njoto juga menjelaskan harus ada pola sebaliknya, yakni bahwa rakyat harus memaksimalkan kekuatan pers. Oleh karena itu, koresponden perlu hadir di tengah-tengah massa. Koresponden boleh berasal dari golongan mana saja, baik itu pemuda, pelajar, buruh, tani, maupun akademisi, selama mereka berpihak pada kelas tertindas maka Harian Rakjat akan memuat tulisan mereka. Relasi dua arah semacam ini yang dibangun oleh Njoto antara pers dan massa merupakan kekuatan sekaligus kekuasaan pada saat itu yang tidak dimiliki oleh surat kabar harian lain (Njoto, 1958: 3).

Njoto juga mengkritik keras surat kabar borjuis yang memberitakan hal-hal aneh dan tidak penting. Dalam tulisannya, Njoto mengambil contoh, “Koran burdjuis biasanya penuh dengan jang aneh2.. Kalau ada demonstrasi buruh, jang diberitakan bukan djumlah pesertanja, tuntutannja apa, dsb. Tetapi misalnja: “ada pesertanja jang sepatunja terbalik” dan matjam2 lelutjon lainnja” (Njoto, 1953: 3). Kritik Njoto tersebut tentu masih relevan dengan situasi saat ini, di saat media-media besar dikuasai oleh para borjuasi nasional. Misalnya pemberitaan demonstrasi May Day lebih banyak terkait penggunaan Motor Mewah oleh kaum buruh ketimbang memberitakan tuntutan demonstrasi tersebut.

Bagi saya, apa yang telah dilakukan oleh Njoto sebagai seorang komunis sekaligus pimpinan surat kabar telah memberikan banyak pengalaman dan ilmu bagi perkembangan pers hingga saat ini. Kemudian, tulisan ini juga menjadi refleksi kita bersama, bagaimana menjalankan pers (mahasiswa) dengan mengambil ilmu yang sudah dilakukan oleh Njoto. Bukankah dunia ini memang merupakan persaingan antara penindas dan kelas tertindas? Di sisi lain, kita perlu menentukan sikap, ke mana kita akan berpihak.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Penulis: Rifaldi Apinino
Foto: Emir Faritzy
Editor: Ruth Margaretha M

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Daftar Pustaka
Zulkifli, Arif dan Bagja Hidayat. Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bersama Majalah Tempo, 2009.
Firdausi, Aziz. Njoto Biografi Pemikiran. Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2017.
Njoto. “Gaja Menulis.” Harian Rakjat. (11 Desember 1953).
_____. “Berdjuang Dengan Pers.” Harian Rakjat. (25 Februari 1954).
_____. “Kekuatan Kita.” Harian Rakjat. (11 Desember 1953).
_____. “Berita Apa.” Harian Rakjat. (11 Desember 1953).