Senin itu tanggal 23 September 2019, Jakarta terlihat lebih muram, selain karena mendung yang menggantung di langit-langit kota, suara dentuman tembakan gas air mata terdengar riuh redam bersamaan dengan seruan dan jeritan mahasiswa yang memprotes adanya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Peristiwa tersebut mengingatkan kita pada momen gerakan mahasiswa yang terjadi dua puluh tiga tahun lalu, yakni reformasi.
Selain dua peristiwa tadi, dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa memiliki track record dari pasca kemerdekaan hingga sekarang, contohnya, dari Tritura hingga Omnibus Law. Gerakan tersebut terbentuk karena kesadaran kolektif sebagai kelompok masyarakat terpelajar yang melek politik.
Dari aksi-aksi pergerakan mahasiswa, ada peran pers yang selalu menyorotnya. Pers memegang peran besar dalam pergerakan mahasiswa, seperti memberikan informasi yang sehat dan seimbang mengenai apa yang terjadi saat demonstrasi kepada masyarakat, baik pers lokal maupun pers asing, pers profesional maupun pers mahasiswa (persma) tak pernah absen dalam menyorot gerakan mahasiswa. Terlebih lagi persma, persma sendiri adalah pihak yang lebih independen dalam menyajikan informasi atau pemberitaan mengenai pergerakan mahasiswa dibandingkan pers lainnya, hal ini dikarenakan persma bukanlah perusahaan pers yang hanya berorientasi pada keuntungan. Persma lebih dituntut untuk memberi informasi yang faktual atau sebenar-benarnya untuk melawan ketidakadilan yang dianggap meresahkan masyarakat luas. “Kemudian informasi yang diberikan pers mahasiswa kan karena dia bersifat independen dan membawa perubahan, tentu itu yang menjadi pembeda dari media-media mainstream yang lain yang kita tahu bersama kalau dia sudah memiliki atau memasuki pemodal atau dimasuki pemodal, secara struktural dan kultural isi beritanya pun bisa diatur,” tegas Sauky Maulana, seorang reporter persma dari Universitas Negeri Makassar.
Fungsi Persma
Fungsi pers menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah informasi, edukasi, transformasi dan kontrol sosial. Walau belum memiliki badan hukum, menurut Faizah Diena, Pimpinan Umum Pers Suara Mahasiswa UI (Suma UI), fungsi pers mahasiswa juga tidak berbeda dengan pers yang disebutkan dalam UU, dimulai dari edukasi, memberi informasi, hiburan, hingga social control. Mengambil pernyataan Diena, dalam gerakan mahasiswa, pers memiliki peran penting untuk membentuk opini publik atas isu yang sedang diperjuangkan. “Nah, di sini ini pers jadi punya kekuatan untuk gerakin siapa aja yang menurut kita, kita kehendaki atau menciptakan public opinion,” Jelas Diena saat dihubungi reporter Suma UI.
Diena juga menambahkan bahwa persma hadir sebagai ‘penerjemah’ suatu isu kepada mahasiswa dan masyarakat luas, sebab sebagian besar isu sosial dan politik yang diusung gerakan mahasiswa terkadang memiliki bahasa yang sukar dimengerti. Sehingga, pers hadir untuk mempermudah khalayak ramai, terutama mahasiswa-mahasiswa yang notabenenya masih dianggap apolitis. Persma di sini juga berperan penting untuk memperluas jangkauan audiens suatu isu agar isu yang sedang diperjuangkan bisa lebih didukung lebih banyak orang.
Hadirnya persma dalam gerakan mahasiswa dianggap efektif bila terdapat sinergi antara gerakan mahasiswa dan pers itu sendiri. Koordinasi yang jelas akan menciptakan proksi yang jelas, sehingga dampak penyebarluasan gerakan akan efektif. Walau dituntut bersinergi terhadap aksi yang dilangsungkan, persma juga harus menyeimbangkan diri sebagai badan otonom yang independen. “Di sini kita itu juga sebagai pers mahasiswa bukan berarti dalam adanya koordinasi atau sinergi ini mereka bisa masuk ke dapur kita ya, ke dapur redaksi nggak bisa karena di sini tuh kita menjaga independen dan bebas menentukan sikap kita.” tegas Diena.
Represi Terhadap Persma
Dalam aksi peliputan, anggota persma tak jarang mengalami represi, tak hanya dari aparat, tetapi juga pihak kampus. Beberapa contoh kasus represi terhadap persma yakni seperti yang terjadi pada awal Oktober tahun lalu, ketika mahasiswa melakukan aksi menolak UU Cipta Kerja. Tujuh jurnalis menjadi korban represi aparat pada saat itu, tiga di antaranya merupakan persma Universitas Prof. Dr. Moestopo (UPDM), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Politeknik Negeri Jakarta (PNJ).
Hal yang sama juga terjadi pada awal Mei tahun ini, dimana pada saat itu mahasiswa bergerak melakukan aksi May Day. Persma dari berbagai kampus turut meliput aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa. Sayangnya, dua anggota LPM Marhaen Universitas Bung Karno diamankan oleh aparat. Padahal, mereka telah menunjukkan kartu pengenal pers mahasiswa kepada aparat. Aparat berdalih para mahasiswa yang melakukan demonstrasi dan pers mahasiswa yang meliput aksi tersebut bukanlah buruh atau pekerja. Dikutip dari CNN Indonesia, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus, menyebut pihaknya tak ingin ada kejadian yang tak diinginkan saat mahasiswa membaur dengan serikat pekerja. Sehingga, aparat melakukan tindakan yang mereka anggap sebagai tindakan preventif dengan memisahkan dan mengamankan unsur-unsur mahasiswa yang berada di lokasi demonstrasi buruh. Sementara itu, dalam lingkup kampus, represi dapat berbentuk pemberhentian pendanaan untuk persma ataupun ancaman skorsing dan DO bagi anggota-anggotanya.
Meski persma kerap kali mendapatkan intervensi dari pihak kampus, Sauky menegaskan bahwa persma tetap mementingkan urgensi dari penerbitan informasi yang diperoleh, entah sepahit apa pun. Lewat tulisan-tulisan yang pahit ini, mahasiswa bisa memahami kondisi sebenarnya dan tergerak untuk menghadapi persoalan yang ada. Juga, tulisan pahit ini bisa memprovokasi mahasiswa-mahasiswa membentuk sebuah gerakan karena memiliki perasaan sependeritaan dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.
Tips Untuk Anggota Persma saat Peliputan
Sebagai Pimpinan Umum Suma UI dan seorang reporter yang kerap kali turun aksi, Faizah Diena memberi tips bagi anggota pers mahasiswa agar aman selama aksi.
Pertama, pahami substansi dari aksi melalui riset sebelum turun lapangan. Kedua, targetkan narasumber saat aksi agar tidak kebingungan dan menghemat waktu. Ketiga, siapkan fisik dan mental untuk aksi karena keadaan lapangan yang tidak dapat diprediksi. Keempat, siapkan peralatan yang dibutuhkan, seperti ponsel full charge, recorder, kontak darurat, presscard, dan obat-obatan pribadi. Kelima, ketahui betul jalur evakuasi dari denah aksi. Keenam, cari teman dan relasi untuk turun aksi, jangan sendiri. Terakhir, pakailah outfit nyaman yang sesuai cuaca dan medan aksi.
Fotografi sebagai Independensi Persma
Mengingat bahwa foto juga merupakan produk dari persma, kenetralan dan independensi pun melekat pada foto-foto yang ditangkap. Rezkita Suhendar, mantan Fotografer Jurnalistik Suma UI, menjelaskan bahwa foto-foto yang ditangkap bisa menceritakan kembali apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Dalam pergerakan mahasiswa, seperti demonstrasi, foto tidak hanya untuk menceritakan kembali apa yang telah terjadi, tetapi juga sebagai bukti akan adegan-adegan kekerasan yang terjadi. Para fotografer jurnalistik dengan dingin menangkap adegan-adegan itu agar menjadi bukti yang valid dan rasional ketika ada kekerasan yang tidak perlu, seperti instruksi yang diberikan Diena kepada fotografer Suma UI untuk menangkap foto apa pun yang terjadi selama di lapangan. “Meskipun itu cuma tangkapan gambar aja, tapi banyak diskursus di balik sebuah foto,” ujar Rezkita mengenai foto jurnalistik.
Terpampang secara gamblang bahwa pers mahasiswa mengambil beberapa peranan penting dalam sebuah pergerakan mahasiswa. Entah sebagai pemberi informasi faktual, entah pemasok foto momen-momen krusial, pers mahasiswa memiliki cara tersendiri untuk mendukung pergerakan mahasiswa. Melihat urgensi pers mahasiswa ini, maka merupakan suatu kewajiban bagi pers mahasiswa untuk tetap relevan dengan zaman. Sauky mengatakan bahwa sebagian orang sudah malas membaca tabloid dan melihat tabloid yang dibuang-buang. “Mungkin ditransformasi atau diubah dalam video misalnya yang lebih modern, tetapi pesannya itu tidak berkurang, tidak merubah substansi yang mau kita sampaikan, atau mungkin dibahas dalam bentuk podcast.” Ujar Sauky.
Terakhir, sebagai pemberi informasi yang faktual, pers mahasiswa juga harus memahami substansi yang akan diberitakan. Pemahaman ini menjadi bekal ketika hendak melakukan liputan. “Karena kadang orang yang kita wawancara itu jawabannya ga komprehensif karena dia ga terlalu paham substansi gerakannya itu sendiri,” ujar Diena, “Jadi, ketika kita udah punya bekal sendiri ketika wawancara orang, kita udah tau yang mana tepat dan tidak.” sambungnya.
Teks: Arnetta Nandy, Ghozi Djayu, Wahyu Nurul H
Foto: Istimewa
Editor: Giovanni Alvita Diera
Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!