By Zuhairah Syarah
Departemen Kajian Aksi dan Strategi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UI) telah melaksanakan sebuah diskusi berjudul “Rasisme Hukum di Papua” pada hari Sabtu, 6 Juni 2020. Diskusi tersebut diisi oleh 3 pembicara, yaitu Veronica Koman, seorang pengacara HAM, Gustaf Kewer pengacara HAM, dan Sayang Mandabayan, seorang mantan tahanan politik asal Papua. Namun, setelah diskusi dilaksanakan, di hari yang sama pihak UI mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa diskusi publik yang diselenggarakan oleh BEM UI tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Selain itu, pihak UI melalui surat edaran tersebut menganggap diskusi publik yang dilaksanakan telah menghadirkan pembicara yang tidak layak.
Dilansir dari Tirto.com dalam artikel yang berjudul Rektorat UI Turut Serta Memproduksi 'Kebenaran Tunggal' soal Papua, dalam siaran pers bernomor Peng-102/UN2.HIP/HMI.03/2020, UI menegaskan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, yang salah satu wujudnya adalah diskusi, “Namun, perlu diingat bahwa ciri penting perguruan tinggi dan sivitas akademika dalam berpendapat adalah selalu merujuk pada kajian akademik serta berpegang pada tata aturan hukum yang berlaku di Indonesia,” Sehingga, UI menganggap diskusi tersebut tidak termasuk di dalamnya.
Surat itu juga menyebutkan bahwa, "Pertimbangan dan perencanaan yang tidak matang, diikuti dengan kecerobohan dalam proses pelaksanaannya, telah menyebabkan diskusi yang diselenggarakan oleh BEM UI tersebut menghadirkan pembicara yang tidak layak." UI menyimpulkan bahwa diskusi tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan akademik yang baik karena kandungan dan pijakan ilmiah atas materi diskusi juga tidak cukup kuat. Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusia mengonfirmasi siaran itu kepada wartawan Tirto, Minggu (7/6/2020) malam. Selain itu, UI juga mengatakan diskusi tersebut tidak mengindahkan peraturan dan tata cara yang berlaku.
Petisi Mahasiswa Mendadak Kebingungan
Dalam merespons pernyataan pihak UI berkaitan dengan diskusi tersebut, pada tanggal 8 Juni 2020 petisi atas nama Mahasiswa Mendadak Kebingungan (MMK) yang meminta agar UI mampu dan mau memeriksa kembali asumsi-asumsi keilmuannya, beban ideologis, dan menguatkan komitmen intelektualnya.
Petisi tersebut menyatakan kekecewaan pada Universitas Indonesia yang mengesankan diskusi yang diadakan oleh BEM UI sebagai diskusi liar tidak berizin, sikap Universitas Indonesia yang ingin menutup kemungkinan eksplorasi akademis dengan dalil-dalil otoritas tanpa penjelasan yang kuat, serta kecewa terhadap pernyataan UI perihal sifat tidak akademis dan tidak mencerminkan etika akademis yang sampai saat ini hanya menjadi alat pengekangan.
Hingga Kamis (18/06) siang, sudah ada sekitar 500 penandatanganan petisi meliputi mahasiswa dan alumni, serta dua lembaga yaitu pers mahasiswa Badan Otonom FISIPERS UI dan Serikat Mahasiswa Progresif UI.
“Sejauh ini kita masih memantau buat beresin petisinya dan menunggu respon UI dan coba berkoordinasi dengan elemen kampus yang lain. Tapi, kami rasa diskusi, seminar, mimbar bebas, yaitu yang kampus ini butuhkan untuk menentang pengekangan yang makin berani dimunculkan," ujar Teman Bicara MMK ketika diwawancarai oleh Suara Mahasiswa.
“Pertanyaannya, UI berharap etika akademis seperti apa? Kita tahu kalo UI sangat suka mengundang CEO dan tentara-polisi ke kampus buat kasih kuliah umum. Lalu, apakah itu etika akademik yang diharapkan? Dan asal usul dari ketakutan UI?" lanjutnya.
MMK menegaskan bahwa pembatasan seperti ini bukan yang pertama di UI, tetapi ini pertama kalinya UI secara terang-terangan memerangi diskusi melalui otoritasnya, bukan melalui perdebatan akademis.
“Jadi, UI tidak mencerminkan perilaku akademika yang baik, dimana seharusnya sebuah diskusi, sebuah pandangan berbeda ya dilawan dengan pandangan lain," kritik Teman Bicara MMK.
Menurutnya, diharapkan dengan adanya petisi ini, kita semua, sebagai mahasiswa, dosen, pejabat struktural, dan unsur dari UI lainnya, bisa memeriksa asumsi-asumsi keilmuan kita dan mendefinisikan kembali apa sih yang kita maksud ketika kita bicara sebagai seorang akademisi dan intelektual.
Tanggapan BEM UI
Membahas mengenai diskusi publik yang sensitif tersebut, pada tanggal 9 Juni 2020 diadakan rapat dengar pendapat antara BEM UI dan DPM UI secara virtual melalui google meeting, BEM UI memberi tanggapannya atas surat pers yang menganggap diskusi publik tersebut tidak layak, hasil notulensi dari diskusi tersebut tertulis bahwa BEM UI tidak merasa diberikan kiriman surat resmi siaran pers dari pihak Universitas, namun langsung beredar begitu saja.
Tanggapan BEM UI mengenai pernyataan UI tentang pembicara yang tidak layak adalah, “alasan BEM UI mengundang Veronica Koman murni karena pengetahuannya terhadap kondisi Papua, tidak ada unsur apapun. Terkait dua pembicara lainnya, BEM UI berusaha menghadirkan suasana dari sudut pandang masyarakat Papua sehingga pembicara yang diundang merupakan Tahanan Politik Papua dan Pengacara Papua,” dikutip dari Notula Rapat Insidental BEM UI.
Teks: Zuhairah Syarah
Kontributor: Arneta Iftita
Foto: Istimewa
Editor: Faizah Diena
Pers Suara Mahasiswa UI 2020
Independen, Lugas, dan Berkualitas