Pilih Membenci atau Mencintai Diri Sendiri?

Redaksi Suara Mahasiswa · 19 Maret 2021
3 menit

Judul buku: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki
Pengarang: Baek Se Hee
Penerbit: Haru Semesta Persada
Tahun terbit: 2019 dan 2020
Cetakan: I

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki merupakan salah satu buku bestseller di Korea Selatan. Buku ini ditulis oleh Baek Se Hee, seorang pengidap distimia (depresi berkepanjangan) selama sepuluh tahun. Ia sudah mengunjungi berbagai psikolog dan psikiater, hingga akhirnya menemukan rumah sakit yang cocok dan kini ia sedang menjalani pengobatan. Baek Se Hee menulis dua buku yang saat ini keduanya sudah diterbitkan oleh Haru Semesta Persada.

Buku ini memuat segala penyebab dari depresi yang dialami oleh Baek Se Hee. Semuanya bermula dari masa kecilnya yang hidup di tengah keluarga yang kurang baik. Dia yang selalu menyaksikan perkelahian orang tuanya, tinggal di sebuah apartemen kecil sehingga mendapatkan olokan dari orang di sekitarnya, dan memiliki kakak yang menyayanginya dengan syarat. Semua hal tersebut adalah awal dari penyebab Baek Se Hee menjadi pribadi yang introvert, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, dan memiliki rasa kurang percaya diri yang tinggi. Ketika beranjak dewasa dia mencoba mencari jalan keluar untuk terlepas dari keluarganya, yaitu dengan melakukan pekerjaan paruh waktu sehingga dia mampu membiayai hidupnya sendiri. Depresi yang semakin sulit dikendalikan membuatnya menentukan standar kehidupan, yaitu kesulitan untuk menegur kesalahan orang lain karena ketakutannya apabila menyakiti mereka. Ketakutan yang semakin meningkat dimulai jika semua orang akan meninggalkannya dan berpikir tidak ada yang akan mencintainya.

Klimaks dari depresi yang dihadapi oleh Baek Se Hee terjadi ketika dia merasa semua orang tidak mencintainya. Padahal, tanpa disadari dia masih memiliki kekasih yang peduli kepadanya. Baek Se Hee pun memandang dirinya sangat buruk sehingga melakukan diet ketat. Dia juga terbiasa untuk melihat diri sendiri menurut pandangan orang lain. Semua hal tersebut membuatnya semakin tersiksa. Dia pun pernah melakukan self-harm (melukai diri sendiri) dengan menyayat bagian tangannya saat dia merasa tidak baik-baik saja. Namun, dia tetap menceritakan setiap kejadian yang dialaminya tanpa terlewat satu pun karena catatan yang dimilikinya kepada psikiater. Hal tersebut membuat dia mengalami sedikit perubahan sehingga mencoba untuk menerima apa pun yang ada pada dirinya.

“Memang sulit untuk berhenti membandingkan, tetapi kita harus ingat bahwa menilai dan menekan rasa sakit kita dengan standar masyarakat dan orang lain adalah gagasan yang sangat berbahaya. Sederhananya, aku ingin fokus pada perasaanku sendiri tanpa membandingkan emosi gelap dalam diri atau melarikan diri dari emosi tersebut. Seperti halnya menikmati kegembiraan, aku akan merawat diri dengan melihat ke dalam kegelapan diri dan berbincang dengan diri sendiri” (I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki 2, hal. 126).


Buku dengan tipe kepribadian, yang menampilkan istilah-istilah psikologis, mungkin membuat orang awam akan kesulitan dalam memahami maksudnya. Oleh karena itu, pembaca dituntut untuk lebih fokus agar dapat memahami maksud dari percakapan antara psikiater dan pasien sehingga dapat menghubungkannya dengan diri sendiri. Tidak hanya itu, pembaca juga perlu memahami bentuk konflik yang terjadi dan mengingat setiap kejadian karena permasalahan yang sama akan terjadi di waktu yang berbeda.

Sebuah buku berbau psikologi akan menampilkan banyak teka-teki yang sulit untuk dipecahkan oleh banyak orang. Sebuah pemecahan masalah yang sangat jarang ditampilkan secara langsung akan membuat pembaca mencoba untuk terus mencari maksud dari cerita tersebut. Jika pembaca kurang tertarik dengan bentuk cerita yang penuh teka-teki, maka buku ini adalah salah satu pilihan, karena penulis yang langsung menyajikan setiap hal yang terjadi di dalam hidupnya. Hal ini akan membuat pembaca dapat memahami segala yang terjadi pada penulis.

Eratnya kaitan buku dengan kondisi depresi yang dialami penulis membuat pembaca merasakan berbagai emosi yang disajikan. Setiap konflik yang terjadi seperti self-harm, membandingkan diri sendiri dengan orang lain, dan segala pikiran negatif membuat buku ini semakin menarik karena pembaca dapat mengetahui apa yang akan terjadi saat melakukan hal tersebut. Selain itu, penulis juga menyajikan penyelesaian dalam setiap permasalahan yang terjadi, seperti ketika penulis bercerita bahwa dia berbicara dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, dia mendapatkan jawaban dari permasalahannya tanpa merasa terbebani.

I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki sangat direkomendasikan untuk para pembaca dari berbagai latar belakang kehidupan. Permasalahan yang terjadi pada penulis sangat umum dirasakan oleh banyak orang, seperti kurangnya rasa untuk memahami diri sendiri dan kecenderungan menilai diri sendiri secara negatif. Buku ini juga mengajarkan kita bahwa membenci diri sendiri akan menanamkan segala hal negatif dalam pikiran dan dapat mengganggu hubungan kita dengan orang lain.  Selain itu, buku yang ditulis oleh Baek Se Hee ini juga mengajarkan bahwa kita akan merasa nyaman dan tidak dihantui ketakutan ketika kita dapat menerima dan mencintai diri sendiri.

Melalui buku ini, Baek Se Hee berpesan agar setiap orang tidak menganggap gangguan mental sebagai permasalahan yang mudah dikendalikan. Dia berharap suatu hari nanti luka hati dan luka fisik dapat diperlakukan dengan sama.

“Hal yang paling penting adalah perasaan senang dan gembira dari dalam diri anda, tidak peduli apa yang orang lain pikir atau katakana. Saya harap anda bisa memenuhi keinginan diri anda terlebih dahulu, tanpa memikirkan apa yang dilihat oleh orang lain.” (I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki, hal. 73)

Teks: Cyndi Juita Rindu
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!