Gemerlap dua belas piala Citra yang disabet film Penyalin Cahaya masih belum surut saat co-writer film tersebut, Henricus Pria, terungkap sebagai pelaku kekerasan seksual. Film yang lahir dari tangan dingin sutradara Wregas Bhanuteja tersebut bisa dikatakan menjadi film Indonesia paling disorot oleh publik belakangan ini. Bukan hanya karena kualitas film itu saja, melainkan juga dari tabir gelap yang ada di baliknya. Dari tersingkapnya tabir tersebut, opini publik pun terbelah: ada yang bersikeras membela film tersebut karena menganggap film tersebut adalah hasil kerja keras seluruh kru film, tetapi tidak sedikit juga yang mencibir dan menyerukan boikot. Lalu, sebagai penonton, sikap bijak seperti apakah yang harus kita ambil untuk memandang film Penyalin Cahaya?
Geger Penyalin Cahaya
Film Penyalin Cahaya atau Photocopier dalam bahasa Inggris adalah film hasil kolaborasi antara Rekata Studio dan Kaninga Production. Film yang pertama kali diputar di Festival Film Internasional Busan pada 8 Oktober 2021 ini bercerita mengenai kekerasan seksual yang dialami tokoh utamanya, Sur, dan lika-liku perjuangannya dalam menuntut keadilan. Film ini berhasil mencatatkan rekor sebagai pemenang piala Citra terbanyak dalam Festival Film Indonesia sepanjang sejarah. Tidak hanya itu, film ini juga memenangkan penghargaan terbanyak dalam Festival Film Tempo 2021. Kegemilangan tersebut pun membuat publik sangat mengantisipasikan rilisnya film tersebut di layanan streaming Netflix pada 13 Januari 2021.
Terlepas dari gilang-gemilang kemenangan dan puji-pujian yang diraih film Penyalin Cahaya dari berbagai pihak, tiga hari sebelum rilisnya film tersebut di Netflix, Rekata Studio dan Kaninga Pictures merilis pernyataan sikap yang jelas menggemparkan komunitas penikmat film di Indonesia. Berdasarkan pernyatan sikap tersebut, terungkap adanya kru film Penyalin Cahaya yang dilaporkan sebagai pelaku kasus kekerasan seksual oleh suatu komunitas yang bergerak dalam bidang pelaporan kasus kekerasan seksual. Belakangan, nama kru yang dimaksud adalah sang co-writer dari film Penyalin Cahaya, Henricus Pria. Seketika setelah pernyataan sikap tersebut rilis, berbagai cacian dihunuskan warganet terhadap sosok Henricus Pria. Kritik keras terhadap film Penyalin Cahaya pun berhamburan di linimasa internet, salah satunya adalah tuntutan untuk menarik kembali piala Citra yang diraih film tersebut sebagai pemenang penulis skenario asli terbaik. Tidak berhenti sampai situ, walaupun rumah produksi yang menaungi film Penyalin Cahaya sudah sepakat menghapus nama Henricus Pria dari kredit film, muncul tuduhan bahwa rumah produksi setengah hati dalam menyikapi kasus ini karena tidak berani membeberkan nama pelaku kekerasan seksual yang dimaksud dalam pernyataan sikap mereka.
Lensa dalam Melihat Seni
Film Penyalin Cahaya memang memiliki kontroversi yang menimbulkan perdebatan, namun sebelum mengambil sikap, perlu untuk memahami beberapa ‘lensa’ yang dapat dipakai untuk melihat sebuah karya seni. Penulis, produser film, sekaligus Dosen Antropologi Universitas Bina Nusantara, Nosa Normanda, menjelaskan berbagai pendekatan dalam memandang sebuah karya seni. Pertama, cara pandang semiotika atau cultural studies, yakni pendekatan bahwa ketika seorang pencipta melepaskan sebuah karya ke konteks publik, ia tidak punya lagi hak untuk mendikte orang akan arti seni tersebut. Dalam melihat sebuah karya film, semiotika menjadi metode analisis untuk mengkaji tanda dalam suatu konteks skenario, gambar, teks, dan adegan di film menjadi sesuatu yang dapat dimaknai (Mudjiono, 2011).
Kedua, terdapat cara pandang hermeneutika yang melihat hubungan yang sangat erat antara si pencipta dan karyanya. Dengan pendekatan ini, karya seni tidak dilihat sebagai suatu objek semata, melainkan sebagai hubungan sosio-kultural, politik, finansial, dan semua hal yang mempengaruhi seorang seniman hingga bisa menciptakan karya seninya. Cara pandang ini sejalan dengan opini Gladhys Eliona, penulis dan aktris yang aktif mengulas film melalui media sosial Twitter. Menurutnya, sebuah karya dan seniman itu tidak bisa lepas dari satu sama lain. Hal ini karena karya seni, dalam bentuk apapun, merupakan buah pikir seseorang yang kemudian diwujudkan dalam sebuah bentuk karya.
Kedua pendekatan tersebut merupakan cara pandang klasik terhadap hubungan sebuah karya dan penciptanya. Di samping keduanya, menurut Nosa, terdapat sebuah cara pandang ketiga yang tidak banyak diketahui secara umum. “Ketika sebuah karya seni diluncurkan, senimannya tidak punya hak memang untuk mendefinisikan lagi itu artinya apa, tapi senimannya masih bisa menghantui. Menghantui itu artinya dia masih bisa kritik, masih bisa ngomong dan memberikan interpretasi terhadap karyanya sendiri. Selain itu, ketika seniman mendapatkan royalti dari karyanya, menurut gue dia juga menghantui seninya,” jelas Nosa.
Dilema Film ‘Problematik’
Ketika kembali ke pertanyaan utama, cara pandang mana yang tepat digunakan terhadap film Penyalin Cahaya? Apakah Penyalin Cahaya tetap harus diapresiasi terlepas dari co-writer-nya yang problematik atau sebaliknya? Menurut Gladhys, sebenarnya hal tersebut kembali kepada individu masing-masing. “It’s okay if we want to boycott the film, but if we don’t want to boycott the film it’s also alright, asalkan menontonnya lebih kritis karena kita tahu apa yang ada di belakang dari si penulis itu atau keadaannya,” ujar Gladhys, “menurutku justru kalau di-cancel kita malah menutup diskursus yang diperlukan. Ibaratnya, kita berguru pada orang yang tidak baik supaya kita tidak melakukan hal seperti itu,” tambahnya.
Di sisi lain, Nosa beranggapan bahwa cara pandang yang digunakan terhadap sebuah film amat dipengaruhi oleh konteks film tersebut. Dalam kasus film Penyalin Cahaya, publik yang tadinya fokus memandang film secara semiotik– membicarakan simbol, pewarnaan, serta yang isu yang diangkat– berpindah memandang film tersebut secara hermeneutik ketika mengetahui permasalahan penulisnya. “Jelas terjadi shifting, karena gue rasa banyak orang merasa dikhianati. Bukan cuma teman-teman dia satu produksi, tapi juga semua penonton yang ingin membawa film itu untuk kepentingan HAM dan kekerasan seksual. Kita semua merasa dikhianati sama Henricus Pria,” tegas Nosa.
Dilema dalam menyikapi film Penyalin Cahaya juga berasal dari fakta bahwa film itu sendiri melibatkan banyak orang dalam proses pembuatannya. “It’s really hard when it comes to film, menurutku gak fair ketika ada satu-dua orang yang bermasalah lalu kita mengecap film itu problematik,” ujar Gladhys. Sejalan dengan Gladhys, Nosa juga beranggapan bahwa argumen yang menyatakan Penyalin Cahaya adalah film yang berbahaya atau buruk karena pembuatnya, merupakan argumen dengan logika yang salah. “Kalau kita mau melihat film tidak sebagai teks doang, melainkan seluruh elemen production dan industri, maka yang bermasalah bukan filmnya, melainkan industrinya. Industri itu telah membuat film yang bagus, tapi industrinya bermasalah,” simpulnya.
Menebang Akar Permasalahan
Nyatanya, apa yang terjadi dengan Penyalin Cahaya hanya merupakan salah satu cerminan dari permasalahan sistemik dalam industri perfilman Indonesia. “Industri film sangat timpang gender. Orang-orang yang sudah tua atau cowok-cowok muda yang dapat privilege ada di situ. Dan itu tidak diperbaiki berpuluh-puluh tahun di industri yang sudah sangat kapitalis. Artinya, kalau di sebuah industri kapitalis, film membela perempuan itu laku, ya dibikin, tapi dia nggak perlu membela perempuan di industrinya. Itu masalah tuh. Industrinya tidak koheren dengan apa yang dia buat,” terang Nosa. Pernyataan tersebut amat jelas tercermin ketika melihat linimasa sejarah kontemporer perfilman Indonesia. Setidaknya, baru setelah reformasi tahun 1998 muncul nama-nama sutradara perempuan yang diakui, seperti Nia Dinata, Mira Lesmana, dan Nan Achnas. Meski demikian, perjalanan industri perfilman dalam meningkatkan inklusivitas terhadap perempuan masihlah panjang.
Sifat industri film yang kapitalis juga digarisbawahi oleh Gladhys. Ia beranggapan bahwa film ini dibuat karena isunya ‘seksi’ atau sedang hangat diperbincangkan sehingga akan mendatangkan banyak keuntungan. “Ini jadi teguran yang keras sekali buat filmmaker dan orang-orang dalam industri film, bahwa membuat film itu jangan cuma karena ada isu seksi, jangan bikin film karena mau menyelamatkan orang. Buatlah film atau dukunglah film yang berpihak pada narasi perempuan, tidak eksotis, tidak mengeksploitasi siapa pun yang ada di dalam pembuatan film tersebut,” tegas Gladhys.
Lantas, bagaimana langkah yang harus selanjutnya diambil? Dengan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang tidak kunjung disahkan, industri perfilman masih mengalami kesulitan dalam melakukan mitigasi terhadap kasus kekerasan seksual seperti industri lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, Nosa berpendapat bahwa dibutuhkan improvisasi dari industri perfilman dengan cara membiasakan rumah produksi untuk membuat pakta integritas terkait pencegahan kekerasan seksual. Setidaknya, dengan begitu masing-masing rumah produksi memiliki operasi prosedur standar yang dapat diacu untuk menangani kasus kekerasan seksual ketika belum ada dasar hukum yang dapat melindungi korban.
Akhir kata, masih banyak PR yang dimiliki industri perfilman Indonesia untuk menangani masalah yang amat mengakar dalam industri tersebut. Namun, tentunya masa depan industri perfilman Indonesia akan ditentukan oleh sineas dan penonton generasi baru yang sadar akan isu ketimpangan gender dan kekerasan seksual, lalu mengambil tindakan terhadap permasalahan tersebut. “Sebenarnya representasi itu jadi tidak valid dan tidak dibutuhkan ketika yang merepresentasikan adalah orang-orang yang tidak mengalami atau orang-orang yang berada di sisi lain dari cerita itu, orang-orang yang tidak seharusnya kita bela. So we don’t need the representation, we just need the reparation. We don’t need awareness anymore because it's everywhere. But we need more action, answering the question of- what should we do after we see this piece of fiction?” pesan Gladhys.
Seakan menjawab pertanyaan tersebut, Nosa turut memberikan pesan penutupnya, “Buat gua, penonton jangan patah arang kalau film perjuangan dibuat sama penjajah. Nilainya masih sama, kita berjuang. Kampus kita mesti aman, negara kita mesti aman, komunitas kita mesti aman. Belajar membuat pakta integritas sendiri kalau negara nggak bisa dipegang. Itu semua akan membantu selama ada keabsenan hukum.”
Tubuhnya diobjektifikasi, isunya dikomodifikasi. Perempuan dan penyintas kekerasan seksual berhak atas ruang aman dan representasi yang pantas di industri perfilman, baik di depan maupun di belakang layar (*).
Referensi
Teks: Aurizza Amanda, M. Qhisyam
Ilustrasi: Brilian Kesumanegara
Editor: Ninda Maghfira
Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!