Politik Jatah Preman: “Preman Berseragam” Ada karena Elite Politik

Redaksi Suara Mahasiswa · 10 Desember 2021
2 menit

Judul: Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru
Penulis: Ian Douglas Wilson
Penerjemah: Mirza Jaka Suryana
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman: 315

Sesudah runtuhnya Orde Baru, muncul usaha membangkitkan iklim demokrasi dalam politik di Indonesia seperti mengembangkan sistem multipartai dan penciutan peran militer. Akan tetapi, keberadaan jaringan para spesialis kekerasan nonpemerintah ala Orba tetap eksis. Mereka hadir dalam ormas-ormas, preman, pemeras, centeng, penjahat kecil, keamanan swasta, milisi, dan tentara swasta. Para kelompok spesialis kekerasan nonpemerintah ini memiliki peran dalam melanggengkan kekuasaan dan kewenangan politik penguasa.

Keberadaan sistem jatah preman di Indonesia sendiri sudah ada sejak rezim kolonialisme. Dalam mengontrol daerah pedesaan di Indonesia, pemerintah pusat kolonial di Batavia memanfaatkan para pejabat pribumi. Selama bekerja mengawasi wilayah pedesaan, para pejabat pribumi bekerja sama dengan para jago. Di era kolonialisme, para jago dipercaya memiliki kemampuan bela diri dan kesaktian gaib seperti ilmu kebal. Para jago sering kali menyerang desa lain, tetapi di satu sisi mereka sangat protektif terhadap komunitasnya sendiri. Hal ini membuat mereka mendapatkan kepercayaan dari masyarakat desa lainnya meskipun dilandasi oleh rasa takut.

Kekuasaan para jago ini terus berlanjut memasuki masa revolusi dan kemerdekaan Indonesia. Kekosongan pemerintahan setelah kemunduran Jepang dan proklamasi kemerdekaan dimanfaatkan oleh para jago dan petarung lokal lainnya untuk merebut kekuasaan lokal. Periode ini ditandai dengan praktik kekerasan terhadap pejabat daerah, polisi, dan etnis Tionghoa. Ketika Belanda dan sekutu kembali ke Indonesia, para jago membentuk kelompok perlawanan terorganisasi yang berada di luar struktur tentara resmi. Meskipun berkontribusi atas perjuangan mempertahankan kemerdekaan, masyarakat desa menganggap jago sebagai kelompok yang berbahaya karena sering memberikan beban pungutan pangan kepada penduduk setempat sebagai imbalan jasa keamanan.

Memasuki era Orba, kelompok jago atau geng-geng preman semakin terlembagakan. Rezim Orba menugaskan para geng-geng preman dengan corak nasionalis. Mereka meneror dan melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan mempertahankan Pancasila terhadap kelompok yang dianggap dapat mengancam stabilitas dan status quo. Beberapa ormas dengan corak nasionalisme ini misalnya adalah Pemuda Pancasila.

Setelah Orba runtuh, berbagai partai baru bermunculan. Hal baru tersebut disertai dengan pembentukan satgas-satgas paramiliter yang memiliki posisi sebagai “tentara tetap” bagi tiap partai. Misalnya, PDIP mengklaim unit satgas paramiliter ini untuk membela diri dari serang kekuatan partai lain terutama Golkar. Para satgas ini juga bertugas dalam pengamanan acara kampanye, pengawal petinggi partai, dan menyebarkan info partai ke tingkat lokal. Akan tetapi, mereka akhirnya bertransformasi melakukan premanisme politik yang sering kali melakukan kekerasan, misalnya menyerang jurnalis, pesaing politik, dan mengintimidasi warga untuk memilih partai mereka.

Beberapa ormas lain yang disinggung dalam buku ini misalnya adalah Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rakyat (FBR). Demokratisasi pasca-1998 telah mendorong lahirnya kelompok keagamaan yang selama rezim Orba kerap kali dibekukan. Desentralisasi sosial juga telah memunculkan berbagai ormas yang diikat oleh etnisitas tertentu. Rasa termarginalisasi, kemiskinan yang dialami oleh penduduk asli dari pendatang dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan moral agama telah memunculkan dua organisasi ini.

Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru menggambarkan secara komprehensif bagaimana hubungan antara elite politik dan geng kekerasan. Meskipun cenderung membahas perkembangan ormas vigilantis di Pulau Jawa,  buku ini tetap layak dibaca khususnya oleh para pencinta sejarah. Dengan membaca buku ini, pembaca dapat memahami gambaran umum mengenai perkembangan sistem “jatah preman” itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari penulis buku itu sendiri, yaitu Ian Douglas Wilson. Ia adalah seorang penulis sekaligus peneliti dari Murdoch University yang telah melakukan penelitian mengenai premanisme di Jakarta. Melalui buku ini, pembaca dapat memahami fenomena munculnya “preman berseragam”, pembentukannya, dan bagaimana ia dapat bertahan di era Reformasi saat ini.

Teks: Fauzan Dewanda
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!