Pada Sabtu (19/10), UI Bergerak, berkolaborasi dengan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Reformasi Polri (RFP), dan Serikat Mahasiswa Universitas Indonesia (Semar UI) telah menyelenggarakan diskusi publik bertajuk "Kekerasan Aparat di Ruang Digital, Teruskah Terjadi di Rezim Berkelanjutan?" di Jojie Artspace, Kampus UI, Depok.
Acara yang bertujuan untuk menjadi wadah dalam mengulas bagaimana sikap represif dari aparat terhadap segala bentuk pergerakan oleh masyarakat ini dihadiri oleh empat orang pembicara, yaitu Rafly Fadhly Putra (Pemimpin Umum Badan Otonom Economica), Muzaffar (Blok Politik Pelajar), Hafizh (SAFEnet), dan Asfinawati (dosen STHI Jentera). Keempat pembicara secara bergantian menyampaikan pandangannya dan pengalamannya berkaitan dengan isu tindakan represif yang kerap terjadi pada masyarakat yang sedang menyampaikan aspirasi.
Selama Joko Widodo menjabat, tindakan represif aparat kepada masyarakat terus terjadi. Baik di ruang fisik maupun digital. Nilai “keberlanjutan” yang dibawa oleh Prabowo dan Gibran selaku pemimpin Indonesia selanjutnya tentu menuai kekhawatiran akan ikut berlanjutnya tindakan-tindakan represif aparat kepada masyarakat.
Kisah Intimidasi dari Berbagai Sisi
Diskusi dibuka oleh Rafly yang berbagi kisah mengenai tindakan represif yang dialami oleh narasumber BOE (Badan Otonom Economica), yakni seorang tenaga pendidik saat BOE mengangkat tulisan soal isu ketidakadilan yang dialami oleh tendik (tenaga pendidik) di lingkungan FEB UI. “Nggak ada seminggu (setelah isu tersebut diunggah BOE di Instagram), narasumber langsung bilang ke salah satu penanggung jawab dari tulisan ini untuk meminta tulisan tersebut diturunkan,” tutur Rafly.
Hafiz dari SAFEnet juga menceritakan mengenai tindakan represif yang dialami mantan Direktur Eksekutif SAFEnet pada tahun 2019. Direktur Eksekutif SAFEnet pada masa itu mendapat ancaman melalui surel karena merilis laporan riset mengenai dugaan keterlibatan aktor politik tertentu dalam penyebaran ujaran kebencian. “Beliau mendapatkan ancaman akan diserang secara fisik,” ujar Hafiz.
Asfin selanjutnya menjelaskan bahwa kegiatan pertukaran pikiran oleh masyarakat ini dianggap “mengganggu keamanan” bagi pemerintahan yang otoriter karena diskusi publik bisa membebaskan pikiran masyarakat dan bisa melawan ketidakadilan. “Negara yang memata-matai rakyatnya, apalagi di dalam kampus, maka itu artinya (negara yang) diktator dan demokrasi kita rusak,” tegas Asfin.
Muzaffar menambahkan bahwa kultur kekerasan oleh aparat itu didasarkan karena polisi melihat rakyat sebagai statistik. Polisi jadi seperti memiliki impunitas. “Polisi ini tidak menganggap kalian ini punya hak asasi atau apa, hanya sebagai statistik saja,” pungkas Muzaffar
Prospek “Keberlanjutan” Represifitas Aparat
Tindakan represif aparat oleh rezim Jokowi dikhawatirkan akan terus terjadi oleh rezim pemerintahan baru yang mengusung tema “keberlanjutan” rezim yang sekarang. Asfin menuturkan bahwa mungkin akan semakin banyak penyerangan pada acara diskusi hingga pameran. Penyerangan tersebut bukan dilakukan oleh polisi atau tentara, tapi oleh ormas, preman, atau para milisi.
“Ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 mengenai pengelolaan sumber daya nasional. Sumber daya nasional itu termasuk mahasiswa sebagai komcad (komponen cadangan). Dulu Menwa (Resimen Mahasiswa) dibentuk oleh Orde Baru untuk militerisasi. Sebetulnya itu bagian dari mengendalikan kampus dari dalam karena mereka (pemerintah) tahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus, maka mereka (mengendalikan) lewat Menwa,” jelasnya.
Melihat potensi berkembangnya komcad di pemerintahan baru, Asfin mengkhawatirkan lingkungan berdemokrasi di dalam kampus kedepannya karena keamanan para mahasiswa yang melakukan pergerakan di dalam kampus akan terancam oleh sesama teman mahasiswa yang menjadi komcad.
“Ketika Prabowo masih menjadi Menteri Pertahanan, dia melakukan banyak sekali komcad-komcad ini. Nanti makin banyak mahasiswa yang jadi komcad dalam bayangan saya, lalu ketika teman-teman mahasiswa bersuara, nanti akan dipukuli oleh sesama teman mahasiswa. Mereka (komcad) dapat uang saku dan status mahasiswanya tetap. Jadi mereka bisa masuk dengan bebas ke dalam kampus. Jadi itu yang perlu dipikirkan,” tegas Asfin.
Menghadapi Tindakan Represif Dengan Partisipatif
Pada sesi tanya jawab, ada peserta yang bertanya bagaimana cara menghadapi rasa takut untuk berpendapat. Hafiz menjelaskan bahwa dengan berkaca ke perspektif hak asasi manusia, jika masyarakat ingin mengkritik seharusnya bisa langsung mengkritik saja tanpa takut selama yang dikritik itu kebijakannya.
“Tidak ada batasan-batasan dalam mengkritik karena itu, kan, hanya ekspresi kekesalan kita pada mereka yang kita mandatkan untuk membuat kehidupan rakyat lebih baik tapi pada akhirnya justru mereka tidak melaksanakan tugasnya,” pungkas Hafiz.
Muzaffar menjawab pertanyaan tersebut dengan slogan fight what you fear. Masyarakat harus tetap mempertahankan partisipatif mereka dalam bersuara. “Ketakutan itu seperti otot. Kalau nggak dilatih, ya, nggak bakal kuat. Jadi kalian jangan pernah menghilangkan sifat partisipatif”, ujar Muzaffar.
Teks: Ghozi Akhsan Fatahillah
Editor: M. Rifaldy Zelan
Pers Suara Mahasiswa UI 2024
Independen, Lugas, dan Berkualitas