Potong Kompas ChatGPT: Antara Kejujuran dan Kesempatan

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 Maret 2023
4 menit

ChatGPT belum setengah tahun umurnya, tetapi kehadirannya begitu kontroversial, terutama di puak akademia. Kehadirannya seakan menggenapi perkataan profetik ahli sejarah berkebangsaan Israel, Yuval Noah Harari, dalam bukunya, Sapiens: A Brief History of Mankind (2011). Harari, dalam buku itu menyatakan bahwa kemajuan teknologi saat ini memungkinkan suatu program komputer berevolusi mandiri.

Artinya, meski yang memasukkan pengkodean adalah manusia, program itu sudah mampu mengumpulkan informasi, mempelajari sendiri keahlian baru, hingga mencapai kemampuan melampaui penciptanya. Ketika sampai di titik itu, kata Harari, manusia akan tersingkirkan.

Kata-kata Harari mula-mula dianggap orang sebagai ramalan, sampai suatu artificial intelligence (AI) yang dikenal dengan ChatGPT menghadirkan polemik. Internet robot (bot) itu dapat diajak berdiskusi, menulis esai, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan teoritis yang disebut-sebut dapat menggantikan proses kreatif dan berpikir manusia. Benarkah demikian?

ChatGPT dan Mahasiswa

Asal-usul ChatGPT dimulai pada November 2022, ketika sebuah laboratorium penelitian yang fokus mengembangkan kecerdasan buatan, OpenAI, mengeluarkan bot purwarupa yang mulai  diujicobakan secara gratis yaitu ChatGPT. Kemampuan unggulannya adalah menghasilkan pesan singkat yang diprogram untuk mengakses jumlah data yang sangat besar.

Tulisan yang keluar darinya menjadi cukup komprehensif dan mampu menjawab hampir semua pertanyaan yang diajukan pengguna secara logis dan meyakinkan. Tak heran, banyak orang terpikat menggunakan bot ini, termasuk pelajar dan mahasiswa, untuk menyelesaikan tugas, terutama berbentuk esai. Di mata para pegiat integritas akademis, fungsi ini membuat ChatGPT menjadi tercela.

“Saya pertama kali pake ChatGPT waktu Ujian Tengah Semester (UTS) kemarin, karena saya ambil 6 kelas dan semua meminta esai 5.000-7.000 kata. Saya stres karena waktu pengerjaannya cuma 2 minggu. Akhirnya yang saya lakukan, saya ada ide, topik, saya tanya ke ChatGPT,” ujar Andre, mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia. Bagi Andre, ChatGPT dapat memangkas waktu secara signifikan sehingga ia bisa menyelesaikan dua esai dalam satu hari. Akan tetapi, ia tidak langsung mengambil mentah-mentah hasil teks yang ditulis ChatGPT. Pasalnya, esai-esai yang dihasilkan ChatGPT tidak bersumber sehingga harus ia harus mencari referensinya. Selain itu, diksi yang digunakan ChatGPT sangat robotik dan tak memiliki personality sehingga harus diparafrase kembali.

“Kalau orang akademik, ini cuman kayak, ‘Ah, ini konjektur doang, cuma ngomong sampah.’ Tapi kalau yang denger orang biasa yang pendidikannya masih rata-rata, mereka iyain aja karena logis, alur tulisan ini. Cuma karena kita orang akademik, karena kurang sumber jadi kan kurang meyakinkan, toh,” tukas Andre.

Hal senada diutarakan Dodi Sudiana, pengajar Teknik Komputer di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Menurut Dodi, yang membedakan teks ChatGPT dan tulisan manusia sangat mudah.

“Karena ChatGPT menggunakan pemrograman, istilah input dan output-nya sudah bisa ditebak. Jadi, ChatGPT ini tidak mengeluarkan pendapat yang kontroversi menurut kita, dan dia akan mengeluarkan informasi yang general. Tapi jika kita mau memanfaatkan informasi yang general itu bisa aja, tinggal kita nanti memperincinya dengan pemikiran kita sendiri. Jadi sebenarnya banyak manfaatnya buat mahasiswa,” tutur Dodi.

Mengancam atau Menunjang?

Lantas, mengapa ChatGPT ini menuai banyak pro-kontra di ranah akademia? Dodi menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan kemudahan mahasiswa mengakses dan memanfaatkannya untuk membuat tugas seperti esai, paper, bahkan programming. ChatGPT juga bisa dipergunakan untuk meringkas literatur. “Misalkan sebuah paper, kita bisa tahu si ini bicara tentang ini, parameternya apa yang dibahas, sampai benar-benar menghasilkan resume yang kalau dikumpulkan ke dosen yang tidak mengerti [bacaan] itu, akan langsung [diberi nilai] 100.”

“Kita harus menerima kalau teknologi itu (ChatGPT-red) sekarang ada, sebagai bagian dari kemajuan yang mau tidak mau harus diterima,” ujar Dodi. Ia menerangkan bahwa perkembangan teknologi dari waktu ke waktu selalu memunculkan hal dan inovasi baru, yang mana hal ini memang tak terhindarkan dan mustahil dibendung.

Menurut Dodi pula, ChatGPT secara umum sangat membantu pembelajaran mahasiswa. Ia pun mengaku merasa senang jika mahasiswa memanfaatkannya. “Yang bisa kita tanamkan kepada mahasiswa atau para penggunanya adalah tidak boleh menjadi plagiarisme. Integritas akademik itu sesuatu yang sangat penting dan sangat krusial, bahkan nomor satu dibandingkan parameter akademik yang lain,” ucap Dodi. Selain nilai-nilai kejujuran dan etika, ia menambahkan bahwa mahasiswa harus memiliki confidence atau kepercayaan terhadap diri sendiri.

“Saya ingin menyampaikan juga dalam kesempatan ini kepada para mahasiswa khususnya, be yourself, jangan jadi mesin, jangan percaya pada mesin. Kenapa? Karena banyak kekurangannya. Salah satu kekurangan yang mendasar adalah tidak selamanya benar, yang kita tanyakan itu tidak selamanya benar.”

Dodi lantas menjelaskan bahwa dalam suatu kesempatan, ia mencoba meminta ChatGPT untuk menganalisis sesuatu secara mendalam dengan referensi-referensi. Hasilnya, beberapa paper yang diberikan ternyata fiktif karena nihil keberadaannya di internet, menunjukkan adanya ketidakakuratan dari informasi yang diberikan ChatGPT.

Lantas, bagaimana langkah konkret pengajar untuk mengkondisikan mahasiswa agar ChatGPT tidak disalahgunakan sebagai bahan plagiarisme? Dalam hal ini, Dodi menyebutkan salah satunya adalah dengan mekanisme ujian, yaitu dengan diberlakukannya ujian lisan dan ujian tulis tangan secara luring di kampus.

Ia juga menekankan bahwa apabila kemudian harus berkompromi dengan ChatGPT, universitas harus mampu memeriksa dengan lebih teliti, misalkan menggunakan software untuk mendeteksi kesamaan.  “Kalau di Harvard ataupun Yale, mereka menggunakan software yang namanya GPT Zero untuk melawan, untuk counter attack, atau counter offensive kalau dalam peperangan,”

Belum Ada Regulasi?

ChatGPT telah menjadi isu krusial di dunia akademik karena penggunaannya yang semakin populer. Berbagai universitas di luar negeri mempertimbangkan suatu regulasi preventif terhadap penggunaan ChatGPT guna mencegah pelanggaran etik. Montclair State University, antara lain telah memberikan tanggapan berupa panduan praktis untuk para pengajar dalam menghadapi penyalahgunaan ChatGPT oleh mahasiswa. Lain Montclair, lain pula Depok. Lantas, bagaimana UI menanggapi situasi ini?

Prof. Harkristuti Harkrisnowo, atau akrab disapa Prof. Tuti, selaku Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UI, mengungkapkan bahwa dosen beserta Guru Besar UI telah menguji coba penggunaan ChatGPT dan menyimpulkan bahwa ChatGPT memang dapat memberikan respon dengan cepat namun belum dapat dipastikan kebenarannya karena jawaban tidak disertai dengan referensi.

Prof. Tuti juga menjelaskan bahwa penggunaan langsung jawaban yang diberikan oleh ChatGPT dikategorikan sebagai tindak plagiarisme dan mengancam integritas serta melanggar kode etik. Walaupun begitu, beliau menambahkan bahwa jawaban ChatGPT dapat dimanfaatkan membantu proses pembelajaran.

“Hasil ChatGPT dapat dimanfaatkan sebagai alat penunjang pembelajaran, jika dosennya juga aktif berinteraksi dengannya, kemudian mahasiswa dipacu untuk memastikan bahwa jawaban yang diperolehnya berasal dari suatu referensi yang tepat, dan mahasiswa didorong untuk dapat mengeluarkan pendapat pribadinya.” ujar guru besar Fakultas Hukum ini.

Mengenai langkah dan kebijakan preventif yang harus diterapkan, Tuti menjelaskan, penggunaan ChatGPT tidak sepenuhnya dilarang melainkan perlu ada perumusan terkait ketentuan dan norma akademik terlebih dahulu. Beliau menekankan bahwa mahasiswa tidak boleh bergantung pada alat bantu seperti ChatGPT dan memastikan kebenaran informasi jawaban dengan referensi yang jelas.

Tuti menambahkan bahwa UI akan membicarakan rencana lebih lanjut menghadapi kehadiran ChatGPT. “Dalam waktu dekat organ-organ di UI akan melakukan diskusi, dan hasilnya akan direkomendasikan ke Pimpinan UI untuk dipertimbangkan sebagai kebijakan,” pungkasnya.

Teks : Nada Azka Maulida dan Aulia Arsa Andhiza
Editor : Chris Wibisana
Ilustrator : Ferre Reza

Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen Lugas Berkualitas!