
Ketidakberpihakan pemerintah pada hak buruh melalui Pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan 2026 memantik nyala konferensi pers yang digelar Perempuan Mahardhika pada Senin (22/12). Dengan tajuk “PP Pengupahan 2026, Kebijakan yang Mengabaikan Hidup dan Kerja Buruh Perempuan”, Perempuan Mahardhika menyoroti bagaimana komponen-komponen kebijakan baru menunjukkan bahwa negara hari ini lebih sibuk menjaga keuntungan pengusaha, bukan memenuhi hak buruh sebagai penggerak yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Sorotan utama konferensi pers tersebut ditujukan pada keterlambatan penetapan upah minimum. Aturan upah minimum biasanya telah muncul pada bulan November. Namun, tahun ini, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) baru akan ditetapkan paling lambat oleh gubernur pada 24 Desember 2026.
“Sudahlah terlambat, negara justru lebih sibuk menjaga keuntungan pengusaha daripada memastikan buruh dapat hidup layak. Aturan ini bisa saja disahkan, tetapi tidak adil bagi seluruh pekerja,” ungkap Ajeng Pengesti, Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika.
Upah Dibatasi, Bukan Dilindungi
PP Pengupahan 2026 menunjukkan bahwa negara tidak menjadikan upah sebagai instrumen perlindungan buruh. Upah minimum yang seharusnya menjamin kehidupan layak justru dibatasi agar kenaikannya tidak dianggap mengganggu kepentingan dan stabilitas ekonomi pengusaha. Dalam konferensi pers Perempuan Mahardhika, ditegaskan bahwa kebijakan ini memperlihatkan keberpihakan negara pada logika pertumbuhan ekonomi, bukan pada kebutuhan hidup pekerja.
Pembatasan tersebut dilegalkan melalui mekanisme indeks tertentu yang berfungsi menahan kenaikan upah meskipun perusahaan memperoleh keuntungan dan ekonomi tumbuh. Persoalan ini diperparah dengan tidak adanya rumus penghitungan upah yang transparan dan dapat diuji publik. Akibatnya, keputusan pengupahan menjadi sangat politis dan menjauh dari realitas kehidupan buruh sehari-hari.
Proses Penetapan Pengupahan yang Abai Partisipasi dan Kerja Perempuan
Penggunaan indeks dan rumusan kebijakan yang tidak transparan dan tidak bisa diuji publik ini menekankan bahwa PP Pengupahan 2026 masih menggunakan logika sektor formal. Padahal, saat ini pekerja yang berada di sektor-sektor yang diinformalkan tersebut lebih banyak jumlahnya, terutama di kalangan perempuan.
“Sebenarnya siapa yang disebut sebagai pekerja oleh pemerintah? Bahkan bagi buruh perempuan, tidak hanya ranah publik, sejak bangun tidur perempuan juga berkontribusi pada ranah domestik. Kita berkontribusi sebagai perempuan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mulai dari membeli bahan makanan, mengolahnya, hingga menyediakan tenaga bagi pekerja untuk menghasilkan tenaga produksi,” papar Ajeng.
Ajeng turut menyoroti tentang bagaimana penetapan pengupahan ini memiliki partisipasi yang sangat minim bahkan nihil dari dari pihak buruh, terutama buruh perempuan.
“Pemerintah selalu menyampaikan bahwa ini adalah proses partisipasi, dan sudah melalui proses musyawarah kepada buruh. Namun, pada kenyataannya, buruh berada pada posisi tawar-menawar yang lemah dibandingkan pengusaha dan pemerintah. Bagi kami, musyawarah tanpa keseimbangan kekuasaan bukanlah keadilan,” pungkasnya.
Dampak Berat bagi Buruh, Terutama di Daerah
Kenaikan upah yang dibatasi indeks tertentu tidak sebanding dengan lonjakan harga kebutuhan pokok, transportasi, dan pendidikan. Upah memang mengalami kenaikan secara nominal, tetapi dalam praktiknya, daya beli buruh terus menurun. Situasi ini membuat kehidupan buruh semakin rentan, terutama bagi mereka yang sudah berada di posisi ekonomi yang tidak aman.
Buruh di daerah menghadapi tekanan yang lebih berat. Upah yang relatif lebih rendah, minimnya perlindungan, serta ketergantungan pada kebijakan pusat yang seragam membuat buruh di daerah semakin terpinggirkan. PP Pengupahan 2026 tidak mempertimbangkan ketimpangan kondisi hidup antarwilayah, sehingga kebijakan ini justru memperlebar jurang ketidakadilan.
Tiga Problematika PP Pengupahan 2026
Ketua Umum Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menambahkan tiga poin pokok untuk mengkritisi kebijakan terkait penetapan pengupahan ini.
Perempuan Mahardhika secara tegas menolak PP Pengupahan 2026 karena dinilai melanggengkan politik upah murah dan mengabaikan kehidupan buruh. Pernyataan sikap Perempuan Mahardhika dalam konferensi pers ini menuntut penetapan upah yang berdasarkan pada kebutuhan hidup riil, bukan indikator ekonomi makro seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi semata.
Selain itu, Perempuan Mahardhika mendorong proses penetapan upah yang demokratis dan partisipatif dengan keterlibatan bermakna buruh, khususnya buruh perempuan. Penolakan ini menjadi bagian dari seruan untuk melawan kebijakan pengupahan yang melegalkan eksploitasi dan menjauhkan buruh dari hak atas kehidupan yang layak.
Teks: Alya Noor Fathiah, Tufani Aprilia
Editor: Naswa Dwidayanti Khairunnisa
Foto: Istimewa
Desain: Aqilah Noer Khalishah
Pers Suara Mahasiswa UI 2025
Independen, Lugas, dan Berkualitas!