Pria-Pria Berwajah Garang

Redaksi Suara Mahasiswa · 21 Januari 2022
4 menit

Dadaku terguncang-guncang pada penghabisan mimpiku malam ini. Di atas pembaringanku yang berupa tikar plastik bergambar Doraemon dan teman-temannya yang menyeringai bahagia, segerombolan pria berwajah garang mengejar-ngejarku sembari memaki-maki dengan ragam sebutan hewan. Anjing, babi, bangsat, monyet, semuanya melompat keluar dari mulut mereka. Nama-nama hewan tersebut terus memburuku dari segala sudut.

Berondongan makian dan kalimat intimidatif lainnya yang terlontar dari gerombolan pria itu meninggalkan luka sayatan pada tubuhku yang membuat darah segar terpancur keluar darinya. Seiring bersimburnya darah dari badan, penerawanganku mulai kabur dan sendi kaki hingga tanganku mulai tak terasa, tetapi apa boleh buat? Kengerian yang terpancar dari gerombolan pria yang menguberku membuat semua kepayahan yang menjerat badan menjadi tak dirasa biar setitik pun.

Entah kemana pun aku berlari menjauh mencari tempat yang tak dapat mereka cari di benak orang kebanyakan, berbelok menuju gang-gang menyesakkan bak labirin yang tak teraba cahaya matahari atau berlindung di gubuk-gubuk liar pinggir kali yang tiap musim hujan disulap menyerupai Venesia, mereka selalu meraih jalan untuk menemukanku. Wajah garang mereka bisa muncul di mana saja: menyergap di hadapanku, menempel di belakangku, melayang di atasku, mengambang di bawahku, semua ruang-ruang dalam mimpiku dikuasai mereka, tak ada yang disisakan untukku biar hanya untuk menghela napas sejenak.

Mungkinkah delapan jam? Atau sembilan jam? Entahlah. Aku tak sadar berapa lama sudah waktu yang tersita dari hidup untuk berlari-lari mengitari seluruh titik dalam mimpiku. Darah dan keringatku telah membanjiri dunia di atas bantalku. Merembes masuk ke bawah menghujam batinku. Dentuman degup jantung menggerayangi kepala hingga ujung pangkal kakiku.

Di momen ketika diriku sudah tak tahan siksaan ini, jemari tanganku menggapai tembok perbatasan antara mimpi dan dunia nyata lalu merobeknya dengan kukuku. Dari robekan itu, aku segera melompat keluar dari mimpi dan sepertinya berhasil lolos dari teror gerombolan pria garang yang dari tadi menggenggam seisi mimpiku. Ketika itu, bola mataku nyaris saja melompat keluar dari kepala. Aku kembali ke dunia nyata.

Terik matahari di luar jendela sudah menyilaukan mata. Dari pembaringanku, nampak wajah lembut Aliya yang sedang tertidur pulas di ranjang besi rumah sakit. Selang infus juga nampak menghiasi punggung tangan kanannya. Biarpun pucat, lekuk wajahnya masih menunjukkan kepadaku betapa rupawannya dirinya. Dari kedalaman parasnya, benakku ditarik kembali oleh ingatan dua tahun yang lalu ketika aku bersumpah di depan bapaknya untuk menjadi kawan hidupnya yang senantiasa mendampingi apa pun kondisi yang kami hadapi di kemudian hari. Sumpah itu tak pernah aku langgar. Apa yang kulakukan sekarang adalah wujud dari kepatuhanku terhadap sumpah itu.

Menatap parasnya membuat aku larut dalam perasaan yang sama ketika mata kami pertama kali berpapasan di pabrik tempat kami dahulu bekerja sebelum akhirnya sama-sama ditendang bersama puluhan buruh lain dari pabrik itu lewat secarik kertas berisi pemutusan kontrak kerja. Perusahaan yang menaungi pabrik tempat kami bekerja memanglah bajingan, tetapi ia mempertemukanku dengan perempuan yang namanya harum bermekaran di salah satu sudut dalam dadaku. Haruskah aku berterima kasih dengan perusahaan bajingan itu? Entahlah.

Akibat lamunan yang dibawa wajah Aliya ke benakku, untuk sementara diriku lupa akan bunga tidur busuk yang baru saja menyatroni lelapku. Sayangnya, dering telepon genggam seseorang di sebelah ranjang Aliya yang terpisah sekat berupa tirai berwarna hijau pucat membuyarkan lamunanku. Rasa panik yang persis kurasakan saat sedang berada di dalam mimpi barusan kembali kurasakan. Cepat-cepat aku menggali saku celana untuk menggapai telepon genggamku sebelum akhirnya aku tersadar kalau bukan telepon genggamku yang berdering.

Keringat dingin menyelimuti telapak tanganku. Pria-pria berwajah garang sepertinya berhasil melompat keluar dari mimpi barusan. Kuperiksa layar telepon genggam dan benar saja. Entah ada berapa notifikasi panggilan telepon tak terjawab bertengger di sana bersama pesan teks berisi kata-kata yang tak sedap dibaca. Mematikan dering telepon genggam sudah pasti membuat telepon genggamku bisu, tetapi tetap saja pria-pria garang tersebut masih bisa menggapai diriku walau nyaring suaranya tak mampu mampir di gendang telingaku. Tak ada jalan lari dari mereka, baik di mimpi maupun di dunia nyata.

Menengok posisi matahari yang sudah tinggi di luar sana, aku perlu segera berangkat ke gudang logistik untuk menerima jatah barang yang perlu kuantar hari ini. Sebelum beranjak dari kamar inap, kubelai pipi tirus Aliya yang lembut dan kukecup keningnya.

Kuraih jaket seragam kerja berwarna cerah milikku yang dari tadi kupakai sebagai ganjalan kepala pengganti bantal, lalu segera kukenakan di badan. Tak seperti warnanya yang terkesan hangat dan ceria, tak ada kehangatan dan keceriaan ketika aku mengantar barang demi barang untuk menyambung hidupku dan Aliya hari demi hari. Untuk saat ini hanya di bawah balutan jaket inilah aku bisa perlahan-lahan menyicil jalan pelarianku dari wajah pria-pria garang tersebut. Biar berat tanggungan di bahu sekalipun, memang hanya inilah satu-satunya yang dapat merajut nafas kami berdua waktu ke waktu. Demi menutup lubang hari ini, menutup lubang hari esok,  menutup lubang hari lusa, dan menutup lubang hari seterusnya.

Ketika baru saja keluar dari kamar inap Aliya, segenggam akar aku rasakan tumbuh di tulang belakangku. Otot-ototku perlahan-lahan digerogotinya. Berjalan di lorong-lorong sunyi rumah sakit sepertinya membuat rasanya semakin buruk. Ketika seorang perawat berseragam putih bersih berpapasan denganku, rasa-rasanya mulutku ini ingin berteriak minta tolong padanya, tetapi jumlah lembaran uang di saku kemeja menahanku untuk melakukannya. Penyakit ini lumayan sering kurasakan. Namun, kali ini agak berbeda dari biasanya, bayangan wajah pria-pria garang yang dari tadi mondar-mandir di kepalaku menambah kuat cengkraman akar di tulang belakangku.

Perlahan-lahan akar di tulang belakangku merambat ke seluruh sisi tubuhku. Melalui retina mataku, dunia di sekitar mulai menari-nari. Langkahku mulai goyah. Otot kakiku yang lunglai kurasakan serupa seutas mi yang baru saja direbus dari panci. Di hadapanku, gerombolan pria berwajah garang kembali muncul. Wajah garang mereka berdansa di atas sorot mataku yang sebentar lagi luput dari kesadaran.

Teks: M. Qhisyam (FIB UI)
Ilustrasi: Rizal Taufiqurrafi
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2022
Independen, Lugas, dan Berkualitas!