Propaganda Berisi Kritik Tuai Partisipasi Masyarakat

Redaksi Suara Mahasiswa · 4 Juli 2021
3 menit

Memasuki pertengahan 2021, di kala pandemi Covid-19 yang belum terlihat kapan berakhirnya di Indonesia, selain dibingungkan dengan berbagai istilah kebijakan penanganan Covid-19, mulai dari PSBB, PPKM, PPKM berskala mikro, dan PPKM darurat, masyarakat juga diramaikan dengan propaganda yang menyebutkan Presiden Jokowi sebagai “The King of Lip Service”. Propaganda yang dibuat oleh Brigade UI 2021 lalu dipublikasikan melalui kanal-kanal media sosial BEM UI 2021 sangat menyeret perhatian masyarakat dalam beberapa waktu terakhir ini. Melalui tulisan ini, saya tertarik untuk sedikit mengulas sudut pandang saya terkait propaganda yang bisa dijadikan hal positif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada rangkaian panjang proses suatu pengambilan keputusan atau kebijakan publik. Partisipasi masyarakat sendiri sangat penting dalam kehidupan bernegara sebagai proses menciptakan keputusan atau kebijakan publik yang demokratis.

Dibanding menjadi seorang “The King of Lip Service” seperti sekarang, saya rasa Jokowi sebagai presiden seharusnya semakin mengembangkan paradigma New Public Service saja dalam menjalankan pemerintahannya. New Public Service merupakan suatu paradigma yang menekankan bahwa pemerintah hadir untuk memberikan pelayanan prima kepada warga negaranya (Denhardt & Denhardt, 2015). Dalam menjalankan paradigma ini, tentu saja sangat diperlukan partisipasi masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat bisa diartikan sebagai bentuk adanya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, hingga proses evaluasi dari suatu keputusan atau kebijakan publik. Oleh karena itu, jika kritik kepada pemerintah dilihat sebagai suatu bentuk dari partisipasi masyarakat, maka bisa menjadi suatu hal yang positif. Ini akan semakin positif apabila ditanggapi oleh pemangku kepentingan terkait sebagai suatu hal yang bisa dipertimbangkan.

Untuk mendapatkan partisipasi masyarakat, pemerintah harus selalu mendengar suara masyarakatnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar suatu kebijakan yang tercipta bisa berlandaskan bottom up atau tidak melulu top down. Menurut saya, propaganda yang dilakukan oleh BEM UI maupun organisasi atau kelompok masyarakat lainnya dapat berdampak untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat yang dimaksud. Setidaknya, masyarakat menjadi tahu dan sadar terkait apa yang sedang terjadi di negaranya sendiri. Maka dari itu, propaganda memang harus dibuat semenarik mungkin karena untuk menarik perhatian dari masyarakat itu sendiri, dengan tidak melupakan data dan fakta yang melandasinya.

Di sisi lain, ada juga orang yang seakan-akan menutup mata untuk melihat kenyataan yang sedang terjadi. Mereka biasanya orang-orang yang fanatik sebagai pendukung rezim pemerintah saat ini. Mereka lebih sering menyerang balik kritikan-kritikan kepada pemerintah dengan hal-hal yang jauh dari substansi kritikan. Contohnya, seorang Ade Armando yang lebih memilih untuk memojokkan mahasiswa dengan julukan “pandir” dibanding membalas substansi kritik dengan data serta fakta. Selain itu,  ada juga seorang Denny Siregar yang beropini “Jantan dong. Masih remaja kok udah bencong” dalam menanggapi kritik dari BEM UI. Entah sadar entah tidak, dalam cuitannya tersebut ia sudah merendahkan orang lain dengan menggunakan istilah kelompok rentan disertai glorifikasi maskulinitas, dibanding memberikan tanggapan-tanggapan yang bersubstansi. Saya beranggapan saja mungkin mereka terlalu gengsi untuk melihat kenyataan dan fakta dari sang idola.

Serangan-serangan balik terhadap kritik-kritik yang muncul seperti itu tidak hanya mengganggu kehidupan demokrasi kita, tapi juga berdampak banyak dalam menghambat proses partisipasi masyarakat yang dibutuhkan oleh pemerintah itu sendiri. Belum lagi berbagai serangan lainnya yang sering terjadi hingga bisa diprediksi seperti peretasan, doxing, teror digital, dan aktivitas-aktivitas lain yang sangat merugikan. Padahal, kita harus tahu bahwa kebijakan-kebijakan publik yang demokratis tidak bisa melepaskan diri dari partisipasi masyarakat.

Melihat berbagai dinamika yang terjadi antara kampus, pemerintah, dan para pendukungnya dalam merespon suatu kritik yang dibalut dalam bentuk propaganda, hal ini sangat sejalan dengan istilah Kampus Merdeka yang digalakkan oleh pemerintah beserta institusi pendidikan akhir-akhir ini. Saya semakin sadar benar adanya Kampus Merdeka yang dimaksudkan. Merdeka dalam arti bebas, bebas dalam membatasi ruang ekspresi para sivitas akademikanya yang diwujudkan dalam permohonan take down postingan propaganda BEM UI. Bebas juga mengada-ada, seperti menyebutkan presiden adalah simbol negara. Hingga bebas rangkap jabatan, sebagai rektor dan komisaris. Padahal, hal itu sudah terbukti melanggar statuta dari sang kampus sendiri. Namun, yang penting benar, kan? Itu adalah arti dari kata “merdeka” itu sendiri.

Catatan: tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Magkme
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!