Proyek Mercusuar ketika Negara Ambyar?

Redaksi Suara Mahasiswa · 31 Juli 2021
5 menit

Proyek mercusuar bukan lagi menjadi istilah asing di Indonesia. Kita menggunakan istilah ini untuk menggambarkan proyek pembangunan megah yang dipertanyakan manfaat ekonominya. Kemegahan dilihat dari rancang bangun dan luas lingkup proyek. Lantas, manfaat ekonomi dilihat dari tingkat utilitas/kegunaan serta efek pengganda (multiplier) dari proyek tersebut.

Pada masa Orde Lama, ada berbagai infrastruktur megah yang dibangun di Indonesia. Padahal, mayoritas rakyat Indonesia waktu itu masih berada di bawah garis kemiskinan. Sebut saja nama-nama seperti pusat perbelanjaan Sarinah, Hotel Indonesia, Kompleks Gelora Senayan, dan lain sebagainya. Jika kita lihat nilai ekonominya, mereka jelas jauh di atas kapasitas kita. Namun, kita tetap melaksanakannya against all odds.

Sekarang, kita kembali dihadapkan dengan dilema serupa. Kita memiliki rencana ambisius untuk membangun sebuah proyek mercusuar. Akan tetapi, situasi ekonomi kita tidak sepadan dengan kebesaran proyek tersebut. Bisa diterka apa proyeknya? Iya, dia adalah proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Proyek IKN baru sendiri bukan wacana baru bagi Indonesia. Sejak zaman Belanda, kita sudah berusaha memindahkan ibu kota dari Batavia/Jakarta. Daendels ingin memindahkannya ke Surabaya. Kemudian, Van Limburg Stirum berusaha memindahkan ibu kota ke Bandung sebagai pusat pertahanan pada era 1920-an. Bahkan, Presiden Sukarno sendiri bermimpi bahwa Palangkaraya adalah lokasi ideal untuk ibu kota baru Indonesia (CNN Indonesia, 2019).

Setelah Orde Lama berakhir, rencana pemindahan ibu kota sempat terhenti. Hanya sempat muncul satu gagasan pemindahan ibu kota ke Jonggol, Bogor, pada masa Orde Baru. Setelah Jonggol, tidak ada lagi kejelasan pemindahan IKN. Baru pada 2019, muncul wacana yang mengagetkan mengenai pemindahan IKN ke sebuah lokasi di tengah gugusan kepulauan kita (CNN Indonesia, 2019).

Lokasi tengah tersebut adalah lahan seluas 40.000 hektare di Penajam Paser Utara. Dari luas tersebut, pemerintah akan membangun kawasan induk dari IKN baru. Kawasan IKN itu sendiri masih bisa diperluas sampai 180.000 hektare. Luas tersebut didapat dari jumlah tanah yang pemerintah miliki di wilayah tersebut (Indonesia.go.id, 2019).

Dalam membangun kawasan IKN tersebut, diperlukan pembiayaan sebesar 323–466 Triliun Rupiah (Bappenas, 2019:17). Tentu saja bukan jumlah yang sedikit. Namun, saat rencana ini diumumkan, kita masih berada di sebuah dunia lain. Sebuah dunia masa lalu yang semakin jauh dari memori publik. Kenangan manis yang tiba-tiba berakhir karena pandemi.

Pada Desember 2019, tersiar kabar bahwa sebuah virus misterius mulai mewabah di Wuhan, Tiongkok. Penulis masih ingat bahwa banyak kalangan waktu itu tidak yakin bahwa wabah ini akan sampai ke Indonesia. Tiga bulan kemudian, ternyata virus bernama Corona/Covid-19 ini sampai ke Indonesia. Ketibaannya memberikan pukulan signifikan kepada segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali perekonomian kita secara umum.

Hingga detik ini, kita masih berada di dalam sebuah doldrum resesi terparah sepanjang sejarah. Untuk pertama kalinya pula pemerintah membatasi mobilitas sosial masyarakat sebagai basis ekonomi demi memulihkan kesehatan. Bahkan dengan pembatasan tersebut, kita sekarang menjadi episentrum Covid-19 baru di benua Asia (Widianto & Suroyo, 2021). Alhasil, berbagai indikator perekonomian memburuk.

Pertumbuhan ekonomi kita berada pada -0,74% selama kuartal I 2021 (Sukmana, 2021). Tingkat kemiskinan melambung sampai 10,14% karena ada 1,12 juta orang miskin baru (CNN Indonesia, 2021). Defisit tahunan APBN juga sudah melonggar dari batasan 3% dari PDB. Kelonggaran itu terjadi karena belanja yang membengkak untuk penanganan pandemi.

Dalam APBN 2021, defisit kita mencapai 5,70% dari PDB. Memang, angka itu sudah berkurang dari APBN 2020 dengan defisit 6,34% dari PDB (Tim Kementerian Keuangan, 2021:7). Namun penyebaran virus Covid-19 sebagai pemicu krisis ekonomi belum juga selesai. Jadi, masih ada belanja-belanja esensial darurat yang akan naik ke depannya, misalkan bantuan sosial, insentif nakes, dan lain-lain.

Melihat situasi di atas, rasanya tidak elok jika pembangunan IKN baru diteruskan dengan kecepatan normal. Apakah pantas jika sektor publik bermewah-mewah, ketika banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan, sektor privat-informal hancur, dan angka kasus Covid-19 mencapai lima puluh ribu? Rasanya rakyat sebagai konstituen akan menanggapinya dengan antipati. Padahal, proyek IKN ditujukan untuk membangun empati akan wawasan Indonesia-sentris.

Akan tetapi, jangan salah. Kalau kita memandang dari perspektif Keynesian, ada pula sisi positif dari proyek mercusuar ini. Apalagi ketika resesi ekonomi dengan kenaikan tingkat pengangguran dan penurunan siklus bisnis. Bappenas (2019:15) memperkirakan bahwa proyek ini memiliki output and employment multiplier sebesar 2,3 dan 2,9 kali.

Maknanya, setiap Rp1 yang dikeluarkan untuk pembangunan IKN akan menaikkan PDB riil sebesar Rp2,3. Setiap 1 lapangan kerja yang tercipta dari pembangunan IKN juga menciptakan 2,9 lapangan kerja untuk sektor lainnya. Keduanya jelas figur yang atraktif bagi pemerintahan yang sedang berusaha membangunkan ekonomi Indonesia yang pingsan.

Apalagi natur pembiayaan dari pembangunan IKN juga berbeda dari proyek mercusuar masa lalu. Pemerintah berusaha mendorong keterlibatan swasta lewat skema Kerja Sama Pemerintah-Badan Usaha (KPBU). Swasta didorong untuk membangun properti perumahan dan perkantoran di lokasi IKN. Kemudian, pemerintah akan menyewa gedung-gedung tersebut untuk keperluan sektor publik (Kristianus, 2021).

Argumentasi di atas memang sahih secara teori. Namun, jelas terlihat bahwa mereka hanya berlaku dalam konteks situasi resesi normal. Masalahnya, resesi ini tidak normal sama sekali. Baru kali ini, kesehatan publik menjadi determinan signifikan dari kepercayaan konsumen dan pelaku bisnis (consumer and business confidence). Tanpa perbaikan kesehatan publik terlebih dahulu, maka confidence sebagai kunci pemulihan ekonomi tidak akan terwujud.

Soal confidence itulah yang membuat penulis sangsi. Apakah sektor privat akan mau terlibat lebih jauh dalam pembangunan properti IKN? Dengan confidence yang masih belum bangkit secara penuh, kebanyakan pasti ragu untuk terjun. Keraguan tersebut akan membuat proyek IKN semakin membebani APBN. Inilah yang harus kita hindari!

Maka dari itu, lebih baik negara mengalihkan fokusnya terlebih dahulu. Kembalikan kepercayaan pelaku ekonomi dengan meredam penyebaran Covid-19 dengan mendorong ketaatan terhadap protokol kesehatan. Upaya tersebut memerlukan aksi pendisiplinan serta ketaatan preventif-promotif yang lebih kuat. Selain itu, vaksinasi juga perlu digiatkan dengan mendorong jumlah turnout lewat kampanye publik yang lebih luas.

Dalam melakukannya, tentu diperlukan pengeluaran sektor kesehatan yang lebih besar. Mau tidak mau, tambahan tersebut perlu ditambal dengan mengurangi pengeluaran belanja yang bersifat jangka panjang. Proyek IKN baru adalah salah satunya. Tidak bisa kita terus mengandalkan utang kepada publik maupun pihak luar negeri untuk melakukan ini.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang salah bukan proyeknya, melainkan waktunya. Upaya pembangunan ini tentu memberikan manfaat ekonomi, terutama untuk bangkit dari resesi lewat efek multiplier. Sayangnya, faktor kebangkitan confidence ekonomi kita terletak pada situasi kesehatan dan bukan animal spirits semata. Maka, sudah semestinya kita menunda proyek IKN baru dan mengalihkannya kepada restorasi situasi kesehatan.

Setelah situasi ambyar ini selesai, barulah kita bisa mengejar asa proyek mercusuar IKN sebagai aktualisasi aspirasi historis yang tertunda.

REFERENSI

Bappenas. (2019, June 26). Dampak Ekonomi dan Skema Pembiayaan Pemindahan Ibu Kota Negara. Jakarta; Kementerian PPN/Bappenas.

CNN Indonesia. (2021, July 15). Jumlah Penduduk Miskin RI Tembus 27,54 Juta Orang Maret 2021. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210715131917-532-668072/jumlah-penduduk-miskin-ri-tembus-2754-juta-orang-maret-2021

CNN Indonesia. (2019, April 29). Sejarah Pemindahan Ibu Kota Sejak Era Hindia Belanda. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190429081114-20-390452/sejarah-pemindahan-ibu-kota-sejak-era-hindia-belanda

Indonesia.go.id. (2019, November 12). Ibu Kota Negara Impian Sang Presiden. Laman Resmi Republik Indonesia • Portal Informasi Indonesia. https://indonesia.go.id/kategori/indonesia-dalam-angka/1348/ibu-kota-negara-impian-sang-presiden

Kristianus, A. (2021, February 9). Keterlibatan Swasta dalam Pembangunan IKN akan Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi di Luar Jawa. Beritasatu.com. https://www.beritasatu.com/ekonomi/730845/keterlibatan-swasta-dalam-pembangunan-ikn-akan-tingkatkan-pertumbuhan-ekonomi-di-luar-jawa

Sukmana, Y. (2021, May 5). RI Masih Resesi, Pertumbuhan Ekonomi Minus 0,74 Persen pada Kuartal I-2021 Halaman all. KOMPAS.com. https://money.kompas.com/read/2021/05/05/113857126/ri-masih-resesi-pertumbuhan-ekonomi-minus-074-persen-pada-kuartal-i-2021?page=all

Tim Kementerian Keuangan. (2021). Informasi APBN 2021: Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. Jakarta; Kementerian Keuangan.

Widianto, S., & Suroyo, G. (2021, July 15). Grappling with 'worst-case scenario', Indonesia faces more COVID-19 pain. Reuters. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-warns-covid-19-cases-may-rise-further-hopes-wont-top-60000-2021-07-15/

Catatan: Tulisan ini merupakan adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Rionanda Dhamma Putra (FEB UI)
Foto: Istimewa
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!