Pada Selasa (7/11), Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) telah menyelenggarakan diskusi publik bertajuk "Kuliah untuk Melawan: Pengkhianatan Konstitusi oleh Dinasti" di Lapangan Rotunda, Kampus UI, Depok.
Acara yang bertujuan untuk menjadi wadah dalam menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres yang dinilai sangat kontroversial ini dihadiri oleh lima orang pembicara, yaitu Melki Sedek Huang, Rocky Gerung, Bivitri Susanti, Haris Azhar, dan Faisal Basri. Kelima pembicara secara bergantian menyampaikan pandangannya berkaitan dengan isu politik dinasti yang belakangan menjadi topik pembicaraan hangat masyarakat Indonesia.
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut dinilai terlalu dipaksakan demi memudahkan jalan Gibran Rakabuming Raka mendapatkan kursi cawapres. Apalagi Anwar Usman selaku Ketua MK merupakan paman dari sosok Gibran yang menambah kejanggalan dari putusan MK.
Putusan MK Bukan untuk Anak Muda
Diskusi dibuka oleh Melki, Ketua BEM UI, yang menekankan bahwa saat ini Konstitusi sedang diinjak-injak. “Mahkamah Konstitusi yang harusnya mampu berperan sebagai guardian of the Constitution, penjaga Konstitusi, malah menginjak Konstitusi dengan sebangga-bangganya,” tegas Melki.
“Apa gunanya kita punya pemimpin berusia muda, kalau pemimpin berusia muda tersebut mengacaukan Konstitusi?” ucap Melki.
Bivitri Susanti menambahkan bahwa putusan MK yang menambahkan klausul adanya pengalaman menjadi kepala daerah bukanlah ditujukan bagi anak muda saat ini melainkan khusus untuk Gibran.
“Putusan ini bukan untuk anak muda, melainkan untuk Gibran karena spesifik sekali di situ siapa yang sekarang bisa memiliki kualifikasi itu,” tegas Bivitri, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera yang juga menjadi salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik Hakim Konstitusi.
Di akhir bicaranya, Melki menghimbau kepada seluruh mahasiswa yang hadir dalam diskusi untuk melawan kesalahan praktik berpolitik yang tengah terjadi. “Dan kalau ditanya, apa yang harus dilakukan mahasiswa hari ini, jawabannya cuma tiga kata lawan, lawan, lawan,” ungkap Melki menutup orasinya.
Pentingnya peran anak muda dalam melawan dinasti politik juga disampaikan oleh Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar. “Kalau kalian tidak bertindak sekarang, situasi akan memburuk dan 10 tahun lagi, anda akan ditodong oleh anak-anak muda (di masa itu),” ungkapnya saat menjelaskan betapa pentingnya bagi mahasiswa untuk bertindak sekarang, mengecam manipulasi peraturan yang telah terjadi.
Putusan MK Langgengkan Politik Dinasti
Bivitri Susanti meluruskan bahwa dinasti politik bukan sekedar tentang keluarga, melainkan cara berpolitik. “Definisinya itu dinasti politik kenapa mereka (ahli politik) pakai kata dinasti justru untuk merujuk pada cara-cara kerajaan Yang mewariskan kekuasaan secara turun-temurun. Jadi dengan sengaja tuh diksi dinasti itu dipakai, yaitu cara yang tanpa melihat kapasitas, tanpa melihat rekam jejak, pokoknya yang punya hubungan keluarga dengan orang yang sedang berkuasa, itu yang dipilih,” jelasnya.
Menurutnya, tidak masalah jika satu keluarga memiliki karir politik. Akan tetapi, cara-cara yang digunakan dalam berpolitik itulah yang menjadi masalah. Bivitri menyinggung Putusan MK terkait usia capres yang begitu sarat akan dinasti politik.
“Tambahan kata ‘atau, sedang, pernah’ dan seterusnya (dalam Putusan MK) sangat jelas ditujukan pada Gibran,” tutur Bivitri. “Kenapa? karena dalam permohonan disebut yang memohon bilang kalau dia mengidolakan Gibran dan dia kecewa karena menurut dia (pemohon), dia jadi tidak bisa memilih Gibran karena Gibran belum berusia 40 tahun. Diberi jalan oleh pamannya (Anwar Usman), ditambahkan kata-kata itu.”
Haris Azhar dalam diskusi mengatakan praktik dinasti berkaitan dengan pelanggaran HAM. Argumentasi Haris pun sejalan dengan Faisal yang memberikan gambaran bagaimana di masa orde baru politik dinasti melahirkan kemiskinan dan menguntungkan sekelompok elit saja, serta begitu banyak pelanggaran HAM terjadi.
Haris juga turut mengkritik politik dinasti yang kini kerap dijustifikasi. “Yang terjadi hari ini, (politik dinasti) dipakai sebagai sebuah argumentasi, … ‘emang kenapa dengan dinasti? semua dari kita mempraktikkan dinasti’,” paparnya. “Jadi kesalahan, pelanggaran, bahkan kejahatan, ketika dia didengungkan berulang-ulang, diperbanyak agen-agennya yang bersuara, maka dia akan menjadi sebuah fakta yang kita harus terima.”
Tidak Memilih Juga Hak
Mengakhiri sesi diskusi oleh para pembicara, Bivitri Susanti berbagi tips untuk menentukan pilihan pemimpin yang tepat di 2024 mendatang. Ia mengatakan bahwa kelayakan para calon pemimpin negeri tidak dapat disimpulkan hanya dari apa yang mereka katakan ketika kampanye, tetapi juga harus melihat rekam jejak mereka sebelumnya.
Menurutnya, rekam jejak dapat disorot dari tiga aspek penting. Pertama adalah komitmen para capres-cawapres terkait pemberantasan korupsi, kedua riwayat pelanggaran HAM dan kekerasan yang pernah mereka lakukan, dan yang terakhir etika atau perilaku mereka ketika sebelumnya terlibat dalam kompetisi politik. Ia juga dengan tegas mengatakan pentingnya pikiran yang kritis dalam menentukan pilihan untuk pemilu 2024.
Bivitri pun meminta audiens untuk mengubah pola pikir terkait keharusan memilih di Pemilu 2024 nanti. Ia mengatakan bahwa tidak memilih juga merupakan hak. Kondisi ini dapat terjadi bila nantinya menurut calon pemilih, tidak ada satu pun dari pasangan capres-cawapres yang layak untuk memimpin Indonesia.
Berkaitan dengan kondisi ini, Bivitri memberikan solusi untuk pencoblosan nanti. Ia menghimbau untuk tetap datang ke TPS agar suara kita tidak disalahgunakan. Pemilih dapat mencoblos lebih dari satu gambar paslon agar suara yang masuk terhitung tidak sah. Sependapat dengan Bivitri, Melki menegaskan hal serupa. "Ingat, memilih itu hak, bukan kewajiban. Jadi, jangan sampai punya persepsi bahwa, 'Ya, kita harus milih, nih. Kita milih pertama kali' dan lain sebagainya,'" ucapnya.
Melki juga menyebut hal terpenting yang harus dilakukan calon pemilih dalam menentukan pilihan nantinya adalah melihat "nilai" dari para capres-cawapres dan bukan hanya pencitraan yang mereka lakukan demi menarik simpati publik.
"Jadi yang paling penting punya nilai dulu. Lihat calon mana yang sesuai sama nilai kita, baru dipilih!" tegasnya.
Sebagai penutup, Melki menyampaikan bagaimana saat ini konstitusi sedang berada dalam ancaman dan harus dikembalikan ke nilai-nilai yang seharusnya. Ia juga mengajak audiens untuk tetap menjaga semangat dalam mengawal dan mempertahankan konstitusi dan konsep negara hukum yang telah dianut Indonesia sejak zaman para pendahulu bangsa.
"Mohammad Hatta pernah bilang, 'Apapun yang membuatmu takut, hadapilah dengan berani!'" pungkasnya.
Teks: Miryam Hasudungan S., Made Harina I.
Foto: Shalihuddin Taufiqurrahman, Miryam Hasudungan S.
Editor: M. Rifaldy Zelan
Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, Lugas, dan Berkualitas!