Logo Suma

Rangkaian Canda di Tengah Mara dalam Film Death to 2020

Redaksi Suara Mahasiswa · 14 Januari 2021
2 menit

By Ruth Margaretha M

Judul film: Death to 2020
Sutradara: Al Campbell dan Alice Mathias
Produser: Charlie Brooker
Genre film: Mockumentary
Tanggal rilis: 27 Desember 2020
Durasi: 70 menit
Pemain: Samuel L. Jackson, Hugh Grant, Lisa Kudrow, Leslie Jones, Joe Keery, dll.

Satu warsa berlalu begitu singkat, seakan Bumi berhenti sejenak. Para penduduk pun merasa sang waktu berteleportasi dari bulan Maret ke Desember. Proses panjang selama dua belas bulan itu kian tak terasa walau diwarnai berbagai fenomena. Sebuah film hasil ramuan Charlie Brooker, kreator serial Black Mirror, dengan tajuk Death to 2020 pun berusaha merangkum lini masa tahun kelabu tersebut.

Death to 2020 meyakinkan penonton bahwa seluruh dunia menghadapi kegelapan dan kesuraman yang sama. Penonton diajak untuk menyaksikan kembali situasi setahun ke belakang selama tujuh puluh menit. Melalui sentuhan mockumentary, film ini menilai tahun penuh lara dengan sudut pandang yang jenaka dari para tokoh dengan berbagai latar belakang, seperti jurnalis, pebisnis, politikus, ahli sejarah, ilmuwan, psikolog, hingga rakyat biasa. Krisis global yang tak kunjung usai tersebut menuntut kehadiran angin segar sebagai penghibur diri. Lebih tepatnya, Death to 2020 dijadikan ajang untuk menertawakan penderitaan bersama.

Film dimulai dari kelahiran tahun 2020 yang tidak berbeda dari masa sebelumnya, yakni melalui pergerakan Bumi sebagaimana mestinya. Perbedaan mulai terlihat ketika penampakan Bumi diperbesar. Kebakaran hebat berhasil melahap sebagian besar wilayah hutan Australia pada awal tahun 2020. Peristiwa itu segera disusul oleh berbagai kejadian lain yang tidak hanya mengancam kehidupan alam, tetapi juga eksistensi manusia. Tahun 2020 disoroti oleh hadirnya sebuah virus bermahkota yang ditemukan di Wuhan, China, dan dalam sekejap menjalar ke seluruh sisi dunia. Di belahan dunia barat, Inggris berurusan dengan masalah Brexit dan keluarnya pangeran dari kerajaan. Seiring dengan pandemi yang terus berkembang, Amerika Serikat berhadapan dengan isu rasial akibat penyiksaan terhadap orang berkulit hitam yang dilakukan oleh polisi kulit putih di sana.

Pertengahan film pun didominasi oleh kontestasi politik Amerika Serikat, seiring dengan banyaknya pernyataan kontroversial Presiden ke-45 Donald Trump. Hal ini menuai penilaian yang kurang baik dari beberapa penonton karena penyajian cerita yang cenderung Amerikasentris. Meskipun belahan dunia lain juga mendapat sorotan, hal itu tidak mengimbangi porsi penyajian Amerika. Namun, fakta akan dikenalnya Amerika sebagai negara adidaya turut berperan sebagai pemengaruh dan role model bagi negara lain, salah satunya dalam hal demokrasi. Oleh karena itu, tercorengnya demokrasi AS belakangan ini patut mendapat perhatian lebih.

Pada film ini, selain pandemi Covid-19, dominasi dunia barat dicairkan melalui ajang penghargaan film bergengsi, yakni Oscar. Pasalnya, pemborong piala terbanyak diraih oleh film Parasite asal Korea Selatan, yang sekaligus mewakili Asia. Hal menarik dan memancing perhatian dunia terjadi ketika fenomena itu diantarkan dengan supremasi kaum kulit putih yang seolah patut menjadi pemenang mutlak. Melalui hal tersebut, film ini menunjukkan betapa tahun 2020 menawarkan berbagai kejutan.

Pandemi kian menjadi tantangan tersendiri dalam proses pembuatan film. Dilansir dari The Guardian, Brooker menyatakan bahwa visualisasi film berasal dari gaya dokumenter khas Netflix: dibuka dengan bidikan pesawat nirawak (drone) dari hutan, nada suram di piano, dan kemudian banyak pembicaraan serta terjadinya hal-hal buruk. Penulisan Death to 2020 berlangsung selama empat bulan, dilanjutkan dengan pengambilan gambar selama 10 hari pada akhir November, di London dan Los Angeles.

Berbagai kejadian tak terduga telah mewarnai tahun 2020 yang kelabu. Melalui film ini, penonton diajarkan untuk tetap bertahan di tengah ketidakpastian. Sebagai penutup tahun, Death to 2020 dapat menjadi refleksi untuk kembali bangkit dan melanjutkan mimpi di masa yang silih berganti. Akhirnya, tidak lupa bahwa akan selalu ada mara di kehidupan yang butuh sepintas canda sebagai penawarnya, atau sebaliknya berharap bahwa penderitaan itu tidaklah nyata.

“But then, at the last moment, we all woke up and it had all been a horrible dream”.

Teks: Ruth Margaretha M
Foto: Istimewa
Editor: Faizah Diena

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!