“Sebenarnya awalnya pas daftar dikasih tahu bahwa kita ini dibayar (selama magang–red), tapi pas udah magang, tiap bulan nggak ada (dibayar–red),” ujar Dita.
Antara bingung, marah, dan pasrah, begitulah kira-kira campur aduk perasaan yang dirasakan oleh Dita –nama disamarkan, mahasiswi Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI) yang tengah mengikuti program magang di salah satu instansi pemerintah. Bagi seorang mahasiswa seperti Dita, magang seringkali dianggap sebagai peluang untuk mengenal lebih dalam dunia kerja dan memperoleh pengalaman profesional.
Idealnya, magang menciptakan situasi saling menguntungkan yang memberikan keuntungan bagi kedua pihak karena pihak perusahaan juga menikmati tambahan sumber daya. Namun, kenyataan tak selalu seindah bayangan. Relasi kuasa, kekosongan payung hukum, dan kurangnya edukasi tentang hak-hak pekerja kepada mahasiswa membuat mahasiswa magang dalam posisi rentan dieksploitasi.
Untuk mencari pengalaman kerja, Dita ikut program Magang Merdeka. Lima hari dalam seminggu, delapan jam sehari, Dita wajib ke kantor. Dita bekerja di instansi tersebut mengikuti beban kerja dan jam kerja karyawan penuh waktu. Namun, tidak dibayar seperti pekerja.
“Jam kerja sama kayak karyawan biasa, nine to five, Senin-Jumat. Bahkan sebagai anak magang kita juga ga enak balik duluan dari karyawan di sana,” dita bertutur. Meskipun upah yang dijanjikan tidak kunjung dibayarkan setiap bulan, saat diwawancarai Suara Mahasiswa UI, ia telah menjalani masa magang tersebut selama tiga bulan sejak kontrak kerja ditandatangani.
“Awalnya sih positive thinking aja ya, mungkin dibayar pas periode magang selesai (6 bulan–red), tapi pas nanya ke teman-teman yang udah selesai magang di sana, katanya mereka gak dapet sama sekali bayarannya, kita juga bingung,” kata Dita.
Meskipun ada surat perjanjian kerja, rupanya isi kontrak tersebut tidak terlalu jelas. Idealnya, surat perjanjian kerja mengatur berbagai aspek pekerjaan seperti hak dan kewajiban kedua pihak. Kontrak kerja adalah dokumen hukum yang diperuntukkan melindungi hak dan kepentingan baik pekerja maupun pemberi kerja.
Kendati demikian, seperti kebanyakan pemagang, khususnya yang masih mahasiswa seperti Dita tidak mengerti apa saja yang harus tercantum di dalam kontrak. Nasib malang, kontrak yang ditandatangani Dita tersebut ‘abu-abu’, mengatakan bahwa pekerja magang akan menerima upah, namun tidak mencantumkan nominal yang akan diterima Dita saat magang di sana. Selain itu, mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, seharusnya ada pelatihan atau pembekalan terlebih dahulu mengenai deskripsi kerja pemagang.
“Aku bertanya pada salah satu karyawan tetap di sana, dia mengakui bahwa sebenarnya ada anggarannya, tapi nggak disalurkan ke para peserta magang, mungkin diambil sebagai ‘jatah’ yang di atas, ” ujar Dita.
Bukan Hanya Dita
Sebenarnya, kasus-kasus eksploitasi peserta magang berseliweran di media sosial, khususnya Twitter, sosial media yang kerap digunakan penggunanya untuk mengeluhkan masalah sehari-hari. Pada 2021, salah seorang pengguna Twitter mengunggah utas keluhan dari sejumlah peserta magang akan adanya tekanan kerja yang berat selama menjadi peserta magang di sebuah startup pendidikan. Utas tersebut disertai sejumlah bukti screenshot dari para pemagang. Para peserta magang mengeluhkan bahwa tenaga dan pikiran mereka dikuras setengah mati karena adanya tuntutan kerja yang banyaknya tak terkira. Akibat beban kerja yang terlalu banyak, mereka seringkali harus bekerja melebihi jam kerja mereka agar tugas harian terselesaikan. Alih-alih mendapatkan bonus, mereka lembur tanpa uang lembur. Alhasil sekeras apapun mereka memenuhi tuntutan pekerjaan, yang mereka dapat tetap upah kecil yang tidak sepadan dengan beban kerja mereka.
Tanpa memungkiri bahwa Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) Kampus Merdeka adalah program pendidikan yang progresif, namun dalam eksekusi program magangnya cukup bermasalah dalam hal memberikan hak mahasiswa peserta magang, khususnya dana bantuan biaya hidup (BBH) atau uang saku. Saat persoalan ini dilaporkan, pihak Kemdikbudristek beberapa kali memberikan janji kosong terkait pencairan uang saku, serta beberapa kali terkesan menyepelekan permasalahan uang saku.
“Coba, ya, teman-teman, semangatnya jangan kendor hanya karena uang saku belum turun.” “Jangan sampai malu-maluin Kemdikbud dengan ikutan demo atau bikin petisi itu. Pihak Kemdikbud sudah berusaha sekuat tenaga kok.”
Padahal banyak dari mahasiswa yang mengikuti program magang juga mengejar uang saku untuk menutupi biaya hidup, ongkos, dan makan sehari-hari mereka saat bekerja. Salah satu akun, @ciipopp, mengunggah thread yang mengeluhkan adanya keterlambatan dalam pencairan dana BBH yang sudah 10 minggu tidak kunjung dicairkan. Bahkan, akibat dari keterlambatan pencairan dana BBH, banyak rekan magangnya yang terpaksa untuk mengajukan pinjaman online (pinjol) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, seperti biaya makan, biaya transportasi, biaya sewa, dan sebagainya.
Serupa dengan Dita, Naya (nama disamarkan–red), mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) angkatan 2020 juga mengeluhkan hal serupa. Ia saat ini sedang menjalani proses pemagangan di salah satu media ternama di Indonesia. Seperti Dita, ia mengaku beban kerja dan jam kerjanya setara dengan pekerja tetap. Regulasi pemagang di tempat Naya magang mengharuskan para peserta magang mengikuti jam kerja pegawai biasa, delapan hingga sembilan jam dalam sehari. Ia juga menambahkan bahwa durasi hari libur dipersingkat dan perusahaannya tidak mengikuti jadwal resmi yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah pusat.
“Jam kerja aku benar-benar padat dari Senin sampai Jumat (09.00–17.00), cuma itu buat karyawan (working hoursnya) masih normal cuma buat anak magang yang pemenuhan 20 SKS kalau dihitung lebih,” terang Naya.
“Libur hari Minggu aja dan pas Lebaran harusnya cuti seminggu, tapi perusahaan ini cuma libur 4 hari saja. Liburnya lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan lain,” tambah Naya.
Selanjutnya, permasalahan yang kerap disoroti oleh orang awam dan mungkin dari para calon peserta magang adalah penerimaan upah. Penerimaan upah yang sesuai dengan kinerja selama mengemban kewajiban menjadi daya tarik sendiri bagi para calon peserta magang untuk meregistrasi dirinya ke perusahaan maupun instansi terkait dan bertujuan untuk mewujudkan impian masing-masing individu yang bekerja serta menghindari perusahaan egois yang hanya mencari keuntungan semata. Namun, apa jadinya jika upah yang diterima tidak sebanding dengan kerja keras yang telah dilakukan? Hal inilah yang kerap menimpa peserta magang ketika sedang menjalankan proses pemagangan.
Seringkali, mereka bekerja tanpa diupah sepeser perak pun atau orang awam sering mengenalnya sebagai ‘unpaid.’ Kondisi ini menjadi situasi sulit karena tidak semua peserta magang berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan akan sarana dan prasarana mereka dalam menjangkau perusahaan tempat mereka mencari pengalaman. Kondisi serta situasi tersebut tercermin dalam instansi pemerintah yang telah disampaikan oleh Dita. Kondisi ini seakan diamini oleh Naya yang menyatakan bahwa para peserta magang mandiri di perusahaannya tersebut juga tidak diberikan upah seribu rupiah pun, padahal perusahaannya mewajibkan peserta magang untuk merancang proyek yang diselenggarakan pada setiap satu minggu sekali.
Tidak sampai disitu, pegawai tetap seringkali mengalihkan pekerjaan atau tanggung jawab yang semestinya mereka emban kepada peserta magang dan tidak terstrukturnya pembagian kerja. Hal ini yang kemudian membuat beban kerja peserta magang berlipat ganda dan menyusahkan mereka dalam mengerjakan hal lain diluar pekerjaan yang diberikan.
“Sedangkan beberapa karyawan mereka itu setelah jam 11 udah ada yang santai-santai, benar-benar udah selesai kerjaannya, yang jam 11 udah free, masuk kantor setelah jam 11 cuma duduk-duduk doang. Hampir semua pekerjaan yang kita kerjakan itu pekerjaan senior.” keluh Naya.
Selain pengalihan tanggung jawab, perusahaan, instansi, maupun startup berskala kecil hingga besar kurang memberikan ruang bagi peserta magang untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi serta skill yang dimiliki lewat mentoring ataupun bimbingan yang semestinya disediakan oleh perusahaan tempat mereka magang.
“Tidak ada yang ngebimbing, harus kita yang aktif dan nanya-nanya, soalnya mereka nggak ngajarin atau ngasih tau gitu,” ujar Dita.
Permasalahan-permasalahan di atas bukanlah akhir dari segala keruwetan permasalahan yang terjadi. Justru permasalahan lain yang kerap disepelekan menjadi hal fundamental yang perlu disadari oleh perusahaan maupun instansi di luar sana, yaitu penyediaan perlengkapan kesehatan seperti obat-obatan atau P3K, akses gratis dan mudah untuk menjangkau fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit maupun klinik. Namun, penyediaan hal-hal dasar tersebut belum dapat dipenuhi secara gratis dan lengkap bagi para peserta magang. Naya menuturkan ketersediaan kotak P3K tidak sepenuhnya berisi obat-obatan semata, namun berisi beberapa kertas fotokopian yang tidak terpakai. Selain itu, Naya juga menambahkan bahwa di perusahaannya hanya tersedia satu buah galon air minum di satu gedung 4 lantai. Kemudian, masih terbatasnya akses peserta magang untuk menjangkau fasilitas kesehatan yang mudah dan gratis di tempat mereka mencari pengalaman.
“Gak ada sama sekali, akses buat kesehatan kayak klinik, obat-obatan di kantor aku ga ada deh karena kantorku kantor cabang dan pusatnya ada di Jakarta terus kantor lainnya ada di Jogja, Malang, jadi nyebar gitu tapi tetap satu perusahaan,” tukas Naya.
Apakah dengan berbagai ketidakadilan yang terjadi peserta magang memiliki saluran pengaduan? Tidak semua perusahaan, startup, dan instansi pemerintah memiliki saluran pengaduan yang resmi dan efektif. Jika ada sekalipun, anak magang enggan untuk melaporkan penyimpangan yang terjadi ke saluran pengaduan yang ada dengan dalih takut serta tingginya risiko untuk melaporkan tindak eksploitasi yang terjadi.
“Sebenarnya ada, tapi dari anak magang ini gak ada yang berani untuk melaporkan hal itu (risikonya terlalu besar), kita sempat sharing-sharing dengan salah satu pegawai cuma ‘waduh bahaya’ karena ga semuanya pro sama kita kan?” ungkap Dita.
Seperti yang sudah diramalkan sebelumnya, kejadian keterlambatan pencairan dana BBH ini juga dialami oleh rekan satu perusahaan Naya. Naya kerap mendapatkan keluhan dari rekannya bahwa pencairan dana BBH selalu terlambat dan baru dicairkan setelah memasuki minggu ke-10 atau ke-11 yang mana sudah melebihi tenggat waktu yang dijanjikan oleh pemerintah, yaitu minggu ke-8. Dalam hal ini juga, perusahaan tidak mengurusi permasalahan keterlambatan pencairan dana BBH.
“Pencairan BBH selalu terlambat, BBH kita dicairkan dua kali yang pertama itu bener-bener ngaret yang harusnya di minggu ke-8 jadinya di minggu ke-10 atau 11 dan dari pihak kampus merdeka pun masih berkelit-kelit gitu pas ditagih, kemana nih dan kapan cairnya,” Ujar Naya.
Magang dan Kerja: Dua Hal yang Berbeda
Magang menjadi trend terkini bagi mahasiswa tingkat awal hingga tingkat akhir, dimana magang menjadi peluang emas bagi mahasiswa untuk merasakan pengalaman bekerja secara langsung, mengembangkan keterampilan, meningkatkan relasi dalam lingkungan profesional, meningkatkan kualitas diri, dan membuka wawasan mahasiswa. Namun, itikad baik peserta magang untuk mencari pengalaman dan sebagainya, justru dimanfaatkan tenaga dan pikirannya oleh perusahaan maupun instansi pemerintah yang dipercaya untuk menjadi tempat terbaik bagi peserta magang untuk menimba ilmu.
Selanjutnya, apakah konsep dari kerja dan magang itu dapat disamakan satu sama lain? Tentunya, jika berbicara tentang peserta magang orang awam selalu menyamakan pengertiannya dengan pekerja biasa, yang sama-sama bekerja di kantor. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang berbeda jika dilihat dari segi pengalaman, kesiapan kerja, dan tujuannya. Peserta magang sendiri merupakan seorang yang belum melakukan pekerjaan, tetapi sedang diarahkan dan dipersiapkan untuk bekerja. Magang juga merupakan bagian dari pelatihan kerja itu sendiri. Oleh karena itu, pelabelan bahwa peserta magang itu ‘sama’ dengan pekerja biasa adalah hal yang perlu diluruskan di kalangan masyarakat hingga pemerintah karena adanya perbedaan tujuan diantara kedua hal tersebut.
“Saya mau tegaskan bahwa magang itu merupakan bagian dari pelatihan kerja.” Tegas Fitria, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).
Sementara itu, secara normatif, tujuan dari magang atau pelatihan kerja itu sendiri bukan untuk mencari uang, melainkan tujuannya mencari kompetensi kerja yang di akhir masa pelatihan kerja akan mendapatkan sertifikasi dan kualifikasi kompetensi yang didasarkan atas serangkaian penilaian kinerja selama proses pemagangan berlangsung. Selain itu, proses pemagangan bertujuan sebagai ruang untuk mempersiapkan peserta magang agar mampu bersaing ketika memasuki dunia kerja. Kesiapan mental dan fisik secara bertahap akan terbentuk melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan atau instansi terkait. Sedangkan, tujuan dari bekerja sendiri pada umumnya untuk mencari uang dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Akibat adanay perbedaan tujuan dan pemahaman tersebut, seringkali pemerintah tidak memberikan standarisasi hak yang harus diterima oleh anak magang seperti syarat minimal upah yang harus diberikan, syarat maksimal durasi jam kerja, dan batasan-batasan lainnya.
“Jadi, ini konteks untuk mempersiapkan para tenaga kerja itu untuk mampu bersaing nantinya ketika dia masuk ke dunia kerja. Tapi, permasalahannya, memang karena berbeda tujuannya, oleh karena itu pemerintah tidak memberikan standarisasi syarat uang yang harus diterima oleh peserta magang,” terang Fitria, Dosen FH UI.
“Meskipun definisi pekerja itu luas, tetapi definisi kerja dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan itu dibatasi, yaitu orang-orang yang mempunyai perjanjian kerja dan memenuhi unsur perintah pekerjaan dan upah,” tambah Nabiyla Risfa, Dosen FH UGM.
Kurang Sadar Hukum, Jadi Celah Eksploitasi
Adanya ketidaktahuan dan kurangnya edukasi mengenai hak serta kewajibannya, kurangnya kesadaran hukum, dan tidak mengetahui hukum yang melindungi hak peserta magang. Hal tersebut menjadi celah yang digunakan perusahaan untuk melakukan eksploitasi terhadap peserta magang. Selain itu, tindak eksploitasi dapat terjadi karena orang-orang yang bekerja dalam suatu perusahaan, instansi, maupun startup bukanlah individu yang mengerti sepenuhnya tentang regulasi yang mengatur proses pemagangan.
“kelemahan dan kekurangan dari segi ketidaktahuan peserta magang yang bersangkutan dan juga karena kurang sadar hukum, ia tidak tahu hak dan kewajibannya, tidak tahu perlindungan hukumnya seperti apa, hal itu menjadi celah untuk terjadinya eksploitasi itu.” ujar Fitria, Dosen FH UI.
Aturan yang dimaksud mengenai regulasi tentang pelaksanaan proses pemagangan yang tertuang di UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan pelaksanaannya diatur dalam Permenaker No. 6 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan pemagangan. Kedua peraturan tersebut mewajibkan kepada perusahaan, instansi, maupun startup yang akan menyelenggarakan proses pemagangan atau perekrutan peserta magang harus mengadakan perjanjian pemagangan terlebih dahulu. Apalagi, berbicara mengenai Kampus Merdeka yang mayoritas peserta magang adalah mereka yang tidak mempunyai cukup pengetahuan dan pengalaman seputar dunia kerja, jadi peserta magang akan lebih patuh kepada pimpinan, yang dalam arti tidak mempertanyakan lebih lanjut mengenai kelangsungan dalam proses pemagangan yang akhirnya menyebabkan ketimpangan dan membutuhkan kejelasan hukum
Ketidakjelasan Regulasi dan Tidak Adanya Monitoring yang Efektif
Ketidakjelasan regulasi serta payung hukum dan tidak efektifnya monitoring oleh instansi terkait menjadikan sikap penguasa makin menjadi-jadi. Jika dibandingkan dengan pekerja biasa atau formal, mereka memiliki payung hukum yang jelas seperti pengaturan minimum upah yang diterima dan jaminan sosial yang lebih ditegakkan. Pekerja formal memiliki tempat pengaduan yang jelas dan terstruktur dari hulu ke hilir untuk menindaklanjuti ketika menemukan penyimpangan dalam pelaksanaan pemagangan. Sedangkan, nasib berbeda menimpa peserta magang yang sekiranya mereka kebingungan jika menemukan tindak penyimpangan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Monitoring atau pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan berjalan tidak efektif karena tidak adanya data yang masuk. Hal ini tentunya berkaitan dengan perjanjian pemagangan yang tidak diberikan secara jelas dan rinci di awal-awal kontrak pemagangan. Selain harus transparan dan juga jelas, perjanjian kontrak ini harus disahkan ketika proses permohonan pengajuan yang kemudian dapat diawasi berdasarkan syarat-syarat kerja yang tertuang dalam perjanjian kontrak pemagangan.
“Ada peraturan menteri ketenagakerjaan tentang pemagangan di dalam negeri itu sebenarnya ada mensyaratkan, jadi sebelum perusahaan menyelenggarakan magang dia itu harusnya mengajukan permohonan persetujuan. Nanti, permohonan persetujuan itu juga harus melampirkan beberapa dokumen, seperti silabus dalam arti kayak apa sih program-program pemagangannya.” tukas Fitria, Dosen FH UI.
“Nggak ada yang bisa dilakukan dalam kacamata ketenagakerjaan karena memang permasalahannya adalah ketika kita membawa masalah ketenagakerjaan yang non-hubungan kerja ke Dinas Ketenagakerjaan akan enggan menerima kasus seperti itu sehingga mau tidak mau harus diselesaikan secara internal antara pemberi kerja dengan penerima kerja.” tambah Nabiyla Risfa, Dosen FH UGM.
Lalu, pemerintah dan masyarakat harus apa?
Peran serta andil pemerintah sangat penting dalam mengawasi penyelenggaraan dan berjalannya proses pemagangan secara aktif tanpa harus menunggu laporan atau kasus penyimpangan viral terlebih dahulu di media sosial. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada calon peserta magang maupun perusahaan, instansi, maupun startup yang menyelenggarakan program magang agar keduanya teredukasi dengan baik. Namun, sayangnya pemerintah lebih responsif dalam menindaklanjuti penyimpangan yang terjadi ketika viral di media sosial. Dalam hal ini, pemerintah juga perlu menjalin kolaborasi yang baik dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Selain itu, bagaimana peran dari Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (KemendikbudRistek)? Permendikbud dalam hal ini ini juga menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pendidikan karena melihat dari segi pendidikan membutuhkan sebuah program yang dapat mempersiapkan peserta didik ketika memasuki dunia kerja agar dapat menyesuaikan dengan cepat yang dibutuhkan di dunia kerja. Meskipun dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang pendidikan melibatkan KemendikbudRistek di dalamnya, kewenangan ini tetap menjadi kewenangan Kemenaker untuk memastikan bagaimana penyelenggaraan pelatihan kerja berjalan semestinya. Sementara itu, KemendikbudRistek tidak lepas tangan dan dapat melakukan koordinasi dengan Kemenaker karena bidang ketenagakerjaan asasnya terpadu.
“Kalau kita bicara tentang pelatihan kerja itu lebih kepada Kemenaker, tetapi bukan berarti dikotak-kotakan, Permendikbud lepas tangan? gak, bisa juga melakukan koordinasi karena memang bidang ketenagakerjaan itu, asasnya terpadu. Perpaduan antara stakeholder itu harus saling bekerja sama,” terang Fitria, Dosen FH UI.
Peran masyarakat disini sangat dibutuhkan, sebagai agen perubahan masyarakat dapat berkontribusi dengan pemerintah dan instansi untuk mengawasi dan melaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat hika ada penyimpangan pada saat penyelenggaraan pemagangan. Masyarakat diharapkan tidak menutup mata dan tidak apatis terhadap tindak penyimpangan yang terjadi di sekitarnya. Guna mengatasi tindak eksploitasi yang terjadi perlu penegakan, pelaksanaan, dan penyempurnaan regulasi yang telah dibentuk sebelumnya. Hal tersebut penting dilakukan karena ketentuan atau regulasi yang telah ada sebelumnya tidak menjamin kepastian hukumnya, sanksi yang pantas dilontarkan terhadap perusahaan yang melakukan tindak eksploitasi dan melakukan proses pemagangan tanpa adanya persetujuan dari pemerintah
Secercah Harapan dari Mahasiswa
Di akhir sesi wawancara, mata Ayu dan Naya berbinar, mulut yang bergumam dipenuhi oleh sejuta harapan dan impian yang mengisyaratkan serta mengharapkan adanya perubahan pada masa yang akan datang. Harapan yang dilontarkan Ayu terkait dengan kejelasan Undang-Undang yang mengatur proses pemagangan.
“Harapannya UU itu harus jelas, teman-teman mau audiensi sama kementerian ketenagakerjaan kan ini sebenarnya ranah si kementerian ketenagakerjaan atau si kemendikbud karena mahasiswa masuknya kesitu, tapi malah lempar-lemparan,” timpal Dita.
Sama halnya dengan Dita, Naya juga mengharapkan bahwa Undang-Undang yang mengatur proses pemagangan ini diperjelas serta diperbarui agar payung hukum yang melindungi para peserta magang jelas dan supaya pemerintah dapat lebih tegas lagi untuk menangani serta mengatasi tindak eksploitasi yang terjadi.
“Mungkin UU-nya diperbarui lagi gitu, entah anak magang ga di bawah UU Permenaker jadi anak magang gak punya payung hukum yang jelas, supaya pemerintah bisa lebih tegas aja,” tutup Naya.
Teks: Daffa Ulhaq
Editor: Dian Amalia Ariani
Ilustrator:
Pers Suara Mahasiswa UI 2023
Independen, lugas, berkualitas!