Redefinisi Kebahagiaan: Quo Vadis Tujuan Hidup Manusia?

Redaksi Suara Mahasiswa · 17 April 2021
4 menit

Kebahagiaan bak menjadi definisi final tujuan hidup manusia sekarang. Definisi ini diangkat dari bagaimana kehidupan kita diajarkan untuk senantiasa bekerja dengan giat supaya berpenghasilan tinggi sehingga mencapai kebahagiaan. Narasi atas kebahagiaan ini juga tercermin dari dialog di institusi pendidikan bahwa mereka sang pengajar berkata, “Kamu harus sekolah yang tinggi agar bisa sukses dan mampu membeli apa yang kamu mau”. Premis-premis yang dihadirkan tentang bahagia ini mencakup budaya konsumerisme seperti membeli semua barang yang manusia inginkan. Akan tetapi, bagaimanakah problematika di mana uang dan kebahagiaan manusia?

Pada 1974, ekonom Richard Easterlin memaparkan suatu konsep yang dinamakan Easterlin Paradox. Konsep ini menjelaskan kondisi ketika kebahagiaan akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Akan tetapi, pada suatu titik akan terdapat kondisi ketika meningkatnya pendapatan tidak menyebabkan meningkatnya kebahagiaan. Implikasi dari paradoks ini dapat kita lihat di China pada 1990. Meskipun GDP negara tersebut meningkat secara drastis, kebahagiaan cenderung stabil. Paradoks ini berimplikasi bahwa ketika kita meningkatkan konsumsi kita seiring dengan meningkatnya pendapatan akan membuat kita bahagia. Namun, kenyataannya tidak.

Konsep ini juga mengantarkan kita pada the hedonic treadmill. Dalam hal ini, manusia memiliki tendensi untuk kembali ke baseline tingkat kebahagiaan mereka meskipun mereka telah mengalami kondisi yang negatif dan positif. Konsep ini memberikan visualisasi semiotik orang yang berlari, tetapi tetap berada pada tempatnya. Manusia yang mengalami berbagai kondisi, baik bahagia maupun sedih, akan kembali ke taraf awal level kebahagiaan (happiness set point). Konsep ini bekerja melalui tiga proses, yaitu shifting adaptation levels, sensitisasi, dan desensitisasi. Shifting adaptation levels adalah kondisi ketika misalnya seseorang yang awalnya hanya menjadi tukang bersih-bersih pada suatu perusahaan mendapatkan promosi jabatan baru pada pekerjaannya. Dengan demikian, happiness set point-nya akan berubah menjadi neutral point yang baru. Kondisi ini akan melibatkan sensitisasi yang terjadi, misalnya ketika ia mendapatkan jatah hari libur lebih banyak, ia akan menjadi lebih bahagia. Desensitisasi terjadi ketika ia mengalami bencana yang akan mendisrupsi taraf kebahagiaannya pada skala yang lebih rendah, contohnya ketika gajinya dipotong. Tiga fase ini akan secara terus-menerus terjadi secara berulang ketika manusia memimpikan taraf kebahagiaan yang tak terhingga.

Happiness set point ini berbeda-beda pada setiap individu, tergantung pada personal tiap manusia yang berkontribusi pada nilai awal kebahagiaan yang berbeda-beda. Faktor predisposisi genetik pun memainkan peranan krusial dalam menentukan taraf kebahagiaan seseorang. Pertanyaan pengaruh genetik terhadap taraf kebahagiaan seseorang ini menjadi sebuah misteri besar. Seberapa besar kebahagiaan dapat kita atur? Pada sebuah penelitian yang melibatkan 4.000 data populasi kembar, dibandingkan taraf kebahagiaan antara kembar identik vs fraternal, dan menghasilkan konklusi bahwa faktor genetik memainkan 50% dari kebahagiaan seseorang. Ide ini mengungkap bahwa mengapa variasi antarpopulasi manusia memiliki happiness set point yang berbeda-beda.

Fakta bahwa secara biologis, perasaan bahagia dan senang adalah permainan antara genetik, hormon, dan reseptor pada otak manusia membuat manusia hilang arah mengenai konsep organik dari rasa senang. Dengan stimulasi titik-titik yang tepat pada otak manusia, dimungkinkan pula hal ini dapat menciptakan dan melenyapkan perasaan rumit seperti cinta, marah, takut, dan depresi. Untuk memungkinkan hal tersebut terjadi, digunakan alat yang dinamakan transcranial dirrect-current simulator. Beberapa studi menunjukkan bahwa metode tersebut benar-benar bisa memperkuat kognitif manusia dan rasa bahagia. Beberapa eksperimen percobaan dilakukan terhadap manusia. Beberapa di antaranya mengaku mengalami pengalaman “nyaris spiritual” seperti mendapatkan wahyu. Alat tersebut bekerja dengan menstimulasi plastisitas neuron dan aktivasi aktivitas listrik neuron.

Kita baru saja menyentuh tahap pemahaman hubungan kompleks gen dengan lingkungan. Pemahaman ini menuntun kita kepada redefinisi konsep kebahagiaan itu sendiri. Bahwasanya bahagia bukanlah mengenai resultan antara momen senang minus momen sedih. Penerapan dan pembayangan konsep ini mengantarkan kita pada suatu alegori mitos Sisyphus. Mitos Sisyphus ini dipopulerkan oleh Albert Camus dalam sebuah esainya. Kisah ini bercerita tentang Sisyphus, seorang raja yang licik dan suka membunuh untuk mengagungkan kekuasaannya, yang membuat para dewa marah. Zeus kemudian memerintahkan Thanatos untuk merantai Sisyphus, meskipun Sisyphus akhirnya dapat kabur dengan cara menipu Thanatos. Thanatos diminta untuk memperagakan bagaimana rantai tersebut bekerja, sehingga Thanatos tertipu dan akhirnya merantai dirinya sendiri. Sebagai hukuman atas kelicikannya, Hades menghukum Sisyphus dengan hukuman bahwa ia harus menggulung batu besar tanpa henti ke atas bukit yang curam. Hal ini menyebabkan batu yang telah ia gulung ke puncak akan turun kembali ke lembah, lalu Sisyphus harus menggulungnya lagi ke puncak, dan begitulah seterusnya siklus itu terjadi.

Alegori Sisyphus ini mengajarkan kita mengenai absurditas kehidupan yang tak bermakna. Absurditas dan ketidakberartian melekat dari tindakan Sisyphus menggulung batu ke atas bukit hanya untuk itu menggelinding, dan melakukan ini tanpa henti selama-lamanya. Salah satu kutipan yang saya garis bawahi adalah “One must imagine Sisyphus happy”. Ia tak mengatakan bahwa Sisyphus bahagia, tetapi kita harus membayangkan dia bahagia. Dari gambaran yang besar, kita melihat seseorang yang menggelindingkan batu hanya agar terjatuh akan terlihat seperti kesia-siaan dan ketidakbergunaan. Namun, apabila manusia berdamai dengan kenyataan bahwa hidup memang begitu, manusia akan menerima bahwa perjuangan itulah yang menghasilkan kebahagiaan. Hampir sama seperti pandangan bahwa hidup tidak berarti manusia hidup dan kemudian mati. Serupa dengan bongkahan batu, jika manusia berpikir bahwa bongkahan batu itu hidup dan berguling kembali ke bawah yang berarti kematian, hal ini merupakan absurditas keseluruhan dari keberadaan itu sendiri.

Sisyphus tahu ia telah dihukum selama-lamanya untuk mendorong batu itu ke atas, lalu melakukannya berulang-ulang. Apabila dia mengharapkan sesuatu dari hukumannya, mungkin untuk batu besar menetap di atas, maka hanya kekecewaan yang menunggunya. Untuk membayangkan Sisyphus bahagia, kita harus meninggalkan gambaran yang lebih besar. Dengan begitu, kita hanya akan melihat absurditas tindakannya dan gambaran sedih secara keseluruhan. Kebahagiaannya terletak pada tujuan, yaitu mendorong batu itu ke atas, selalu, tanpa henti. Dia memperoleh kebahagiaan dengan upaya mendorong batu itu ke atas. Dia berusaha memberikan yang terbaik setiap hari, “The struggle itself is enough to fill a man’s heart”, bahwa redefinisi bahagia ialah saat kita memaknai setiap perjuangan dalam hidup itu sendiri.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil kontributor dan belum tentu mencerminkan sikap Pers Suara Mahasiswa UI 2021.

Teks: Faiz Amirullah (FKUI)
Foto: inc.com
Editor: Ruth Margaretha M.

Pers Suara Mahasiswa UI 2021
Independen, Lugas, dan Berkualitas!

Daftar Referensi:

Easterlin RA, O’connor KJ. The Easterlin Paradox [Internet]. 2020 [cited 2021 Mar 27]. Available from: www.iza.org

Hedonic Treadmill. In: Encyclopedia of Quality of Life and Well-Being Research. Springer Netherlands; 2014. p. 2837–2837.

Smith C. Easterlin Paradox. In: Encyclopedia of Quality of Life and Well-Being Research [Internet]. Springer Netherlands; 2014 [cited 2021 Mar 27]. p. 1754–7. Available from: https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-94-007-0753-5_802

Veenhoven R. Happiness. In: Encyclopedia of Quality of Life and Well-Being Research [Internet]. Dordrecht: Springer Netherlands; 2014 [cited 2021 Mar 27]. p. 2637–41. Available from: http://link.springer.com/10.1007/978-94-007-0753-5_1224

Blum K. Neuropsychiatric Genetics of Happiness, Friendships, and Politics: Hypothesizing Homophily (“Birds of a Feather Flock Together”) as a Function of Reward Gene Polymorphisms. J Genet Syndr Gene Ther [Internet]. 2012 [cited 2021 Mar 27];03(02). Available from: /pmc/articles/PMC3547641/

Camus’ “The Myth of Sisyphus”: A Close Reading of the Absurd | NEH-Edsitement [Internet]. [cited 2021 Mar 27]. Available from: https://edsitement.neh.gov/student-activities/camus-myth-sisyphus-close-reading-absurd