Film dokumenter Eksil merupakan hasil produksi Lola Amaria yang mengangkat kisah para Eksil, Warga Negara Indonesia yang diasingkan pemerintah pasca terjadinya Gerakan 30 September. Film ini menyajikan narasi dengan sudut pandang Eksil, generasi intelektual Indonesia yang menjadi saksi sekaligus korban diskriminasi pada masa pemerintahan Rezim Soeharto. Narasumber dalam film ini diantaranya adalah Hartoni Ubes, Asahan Aidit, Sardjio Mintardjo, I Gede Arka, dan Tom Ilyas. Kisah para Eksil ini kemudian berhasil meraih penghargaan Piala Citra untuk film dokumenter panjang terbaik tahun 2023.
Semenjak naiknya Tap 25 MPR tentang pelarangan Marxisme dan PKI di Indonesia, banyak kemudian bermunculan gerakan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Hal ini lah yang menjadi alasan banyak orang terduga PKI dibunuh. Tragedi ini terjadi sejalan dengan gelombang anti komunis di Indonesia yang meningkat pada masa itu. Tidak hanya maraknya pembunuhan, diskriminasi juga banyak terjadi di masyarakat. Salah satunya dialami oleh anggota keluarga Eksil. Alasannya adalah karena para Eksil dianggap sebagai bagian dari anggota PKI karena menuntut ilmu ke negara-negara komunis. Tidak hanya para Eksil, akibat pembersihan berakibat banyak anak dari mantan anggota PKI yang terancam tidak bisa sekolah. Bahkan, warga sipil yang diduga bagian dari anggota PKI juga dilarang untuk membeli beras. Akibat keadaan yang begitu sulit tersebut, membuat bekas anggota PKI terpaksa mengkonsumsi cicak untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Kisah Eksil berawal pada tahun 1965 saat Presiden Soekarno memberikan beasiswa dengan mengirim anak bangsa ke negara-negara komunis, yang saat itu memiliki kedekatan dengan Rezim Soekarno, untuk menimba ilmu. Melalui program ini, harapannya nanti sekembalinya ke tanah air mampu berpartisipasi untuk membangun negeri. Salah satunya adalah Hartoni Lubis yang saat itu tengah menempuh pendidikannya ke Republik Ceko. Namun, pada saat masa pendidikan Hartoni dan Eksil lain di luar negeri, terjadilah pergolakan dan gerakan antikomunisme di Indonesia pada masa itu. Sehingga, para Eksil tidak bisa pulang ke tanah air karena dapat mengancam keselamatan mereka dan akan dianggap menyebarkan paham komunisme di Indonesia. Tak terpikir oleh mereka bahwa Indonesia akan berada dalam cengkeraman rezim militer hingga 32 tahun.
“Kalau pembunuh dihukum 20 tahun, kita dihukum lebih dari itu. Padahal (kita) nggak ngelakuin apa-apa.”
Pasca kudeta yang dilakukan Presiden Soeharto, para mahasiswa di Moskow dipanggil untuk diperiksa dan screening. Mereka dipaksa memilih untuk bertahan atau mengutuk pemerintahan Presiden Soekarno. Apabila mereka menolak, maka paspornya tidak akan diperpanjang. Hal ini kemudian menyebabkan perpecahan. Mahasiswa terpecah pendiriannya dan terbagi golongannya. Golongan terpecah menjadi golongan mahasiswa kiri, yang masih bertahan dengan Soekarno dan mahasiswa kanan, yang mendukung pemerintahan Soeharto. Ketegangan ini mirip dengan kejadian di Jakarta, baku hantam antar mahasiswa tak terhindarkan.
Sementara itu, Pemerintah Uni Soviet pada masa itu membentuk organisasi sebagai tempat berkumpul para mahasiswa Indonesia. Namun ditolak, hal ini karena mereka takut akan menghilangkan kepribadian nasional mereka jika ikut organisasi yang dibentuk negara lain. Akibatnya, mereka yang menolak organisasi ini kemudian dibuang ke kota kecil, Voronezh, yang berjarak 600 KM dari Moskow. Tidak hanya itu, para mahasiswa yang berada di Uni Soviet juga dibatasi pergerakannya, seperti diikuti setiap gerak-geriknya dan disensor setiap surat yang masuk dan keluar.
Pergolakan lain terjadi di China. Akibat terjadinya revolusi kebudayaan, para petinggi PKI kemudian melindungi diri dan keluarga mereka dengan membawanya ke China. Namun tidak lama, pada tahun 1972, Tom Ilyas pada akhirnya memboyong keluarganya meninggalkan China ke Swedia, negeri yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
"Saya mau pulang sejak awal, hanya saja tidak bisa."
Kisah berasal dari tokoh lain bernama Waruno Mahdi. Dirinya pergi ke Berlin untuk meminta suaka. Namun, sulit baginya untuk mendapat pekerjaan layak. Setelah lama bekerja menjadi buruh dan penjaga malam, akhirnya dirinya diterima bekerja di Institut King Wilhelm. Sarmadji bekerja di perusahaan kaca selama 20 tahun. Selama itu pula, dirinya melakukan pekerjaan memfotokopi buku sejarah dan menyimpannya sebagai arsip sebagai upaya untuk menyelamatkan sejarah yang bisa dirinya diselamatkan.
Trauma senantiasa mengikuti para Eksil. Kejadian anti komunisme ini seolah menjadi bagian yang mengisi segala aspek kehidupan mereka. Hal ini kemudian terkisahkan dari kisah yang diceritakan Sarmadji kepada peliput dalam sesi wawancara, meskipun sudah berlalu, dirinya tetap merasa masih ada musuh berbahaya berada di sekelilingnya. Hal ini kemudian membuat dirinya selalu tetap bersikap waspada. Kisah lain berasal dari Waruno Mahdi. Dirinya mengisahkan bahwa pernah memiliki kekasih yang berasal dari Rusia. Malangnya, kekasih Waruno Mahdi ternyata adalah seorang agen mata-mata. Trauma tersebut terus menghantui dirinya dan menganggap semua orang adalah mata-mata. Sejak saat itu, dirinya tidak bisa menjalin hubungan dengan orang lain dari hati ke hati.
“Ingatan tentang Orde Baru adalah ingatan tentang represi dan supresi.”
Tahun 1998, rakyat akhirnya berhasil menjatuhkan tirani kekuasaan Presiden Soeharto. Setelah 32 tahun berada di penjara tanpa jeruji besi, para Eksil akhirnya memiliki kesempatan untuk pulang ke tanah air. Namun, efek keterpanjangan rezim Soeharto tidak menghilangkan sikap anti komunis masyarakat.
Hal ini digambarkan dengan kisah Asahan yang hendak menemui anggota keluarga yang tersisa di Indonesia. Akan tetapi, keluarga Asahan tidak menerima keberadaannya lagi. Hal ini karena masih ada rasa takut akan pemerintah yang masih mengawasi keluarganya. Sama halnya dengan Kartawirya. Dirinya tidak mengetahui bahwa orang tuanya telah meninggal. Sebagai seorang anak, dirinya tidak berkesempatan untuk mengangkat dan menguburkan jasad orang tuanya. Kisah lain berasal dari Tom Ilyas, dirinya dideportasi ketika berusaha mencari kuburan massal korban pembantaian. Segala upaya dilakukan Tom untuk mencari letak kuburan ayahnya yang dibunuh dalam pembantaian terduga PKI, sementara keluarganya yang lain dipenjara.
Meski telah lama terjadi, tetap ada rasa berat hati untuk memaafkan pelaku, terlebih pelakunya adalah warga negara sendiri. Salah satu pelaku pembantaian PKI adalah Gerakan Pemuda Ansor. Mereka adalah gerakan yang telah terdidik militer dengan base-nya berada di Bali. Namun, di satu sisi, para pelaku pembantaian ini adalah korban propaganda pemerintah. Waruno Mahdi menyebut bahwa dirinya tidak akan memaafkan Soeharto dan jenderal lainnya yang masih hidup, tetapi tidak berani membuka sejarah.
Meskipun Orde baru masih ada, yang berubah hanya luarnya saja. Orang-orang yang terlibat dalam rezim militer Soeharto masih ikut serta dalam pemerintahan, dengan dosa-dosa yang belum ditebus. Dosa-dosa rezim Orde Baru masih dilanggengkan oleh mereka masih memegang kekuasaan di pemerintahan saat ini.
Di Indonesia, simbol palu dan arit identik dengan PKI dianggap terror. Simbol ini dianggap sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik. Tidak hanya itu, simbol ini juga digunakan untuk menyerang para aktivis. Hal ini digambarkan dengan ajaran pendidikan saat ini yang mengharuskan generasi bangsa dididik untuk membenci PKI melalui film dan propaganda yang dibuat pemerintah.
Meskipun begitu, PKI pernah berjaya pada masanya sebagai partai komunis terbesar setelah Uni Soviet dan RRC, hal ini berbanding terbalik dengan keadaan masa kini. Partai ini telah berdiri 25 tahun sebelum Indonesia merdeka. Sejarah PKI sejalan dengan perjuangan kemerdekaan negara ini, mereka turut andil dalam pemberontakan melawan penjajah. Selain itu, pada tahun 1955, PKI juga menang dalam pemilu bersaing dengan Masyumi, PNI, dan NU.
Namun, akibat upaya untuk menghapus jejak PKI yang dikomandokan oleh pemerintah, peraturan yang dibuat kemudian memaksa masyarakat saling mencurigai dan bahkan berbuntut aksi saling membunuh orang-orang yang diduga anggota PKI. Lebih dari 450 ribu orang-orang desa dengan pekerjaan buruh, dan petani menjadi korban pembantaian walau belum terbukti. Pun, jika memang tragedi ini merupakan kesalahan dari petinggi organisasi, tidak seharusnya dengan sepadan dengan merenggut nyawa orang begitu saja.
“Yang disalahkan PKI, dibilang tidak bertuhan. Menteri Agama mengangkut uang orang naik haji, menyusahkan orang mau beribadah, sekarang siapa yang tidak beragama?”
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui kebijakan kontroversialnya, melakukan pencabutan Tap MPR tentang PKI. Hal ini karena peraturan tersebut dianggap tidak sesuai dengan UUD. Tatkala ditanya alasan mengapa mencabut kebijakan tersebut, dirinya menegaskan bahwa mengucilkan PKI bukanlah tugas negara. Melindungi semua rakyat adalah tugas negara, yang gagal dilaksanakan pemerintah.
Melalui Kemenkumham, pemerintah mengirim Yusril ke Eropa sebagai langkah awal rekonsiliasi, tetapi tidak diketahui apa yang dikerjakannya. Padahal masih ada total 600 orang Eksil yang terombang-ambing nasibnya. Tahun 2000, pemerintah memberikan janji bahwa masalahnya akan diselesaikan.
Harapan ini membawa Kuslan Budiman menahan diri untuk berubah kewarganegaraan. Selama 30 tahun, Kuslan Budiman tidak pernah meminta hak warga negara Belanda. Hal ini karena dirinya masih menunggu secercah harapan jikalau pemerintah berusaha mengembalikan apa yang menjadi hak mereka, yakni kewarganegaraan Indonesia. Harapan dari mereka yang selama 30 tahun menjadi orang asing bukan atas kemauan sendiri.
Namun, janji yang dijanjikan sampai saat ini hanya sekadar janji. Satu persatu dari mereka akhirnya menyerah, memilih untuk mengambil kewarganegaraan lain, sebuah paspor yang bagi mereka hanya sebatas dokumen. Ikatan dengan tanah air masih dirasakan dalam darah dan tubuhnya. Namun, Indonesia tidak lagi menjadi milik mereka.
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.
Penggalan lirik lagu Indonesia Pusaka, gambaran Indonesia sebagai tempat peristirahatan mereka di hari tua. Rupanya tak dirasakan oleh para Eksil korban kekejaman rezim militer Soeharto. Mereka yang dianggap asing oleh tempat kelahirannya. Dipaksa meninggalkan tanah air. Upaya mereka ikut memperjuangkan kemerdekaan, hanya untuk disingkirkan oleh negara sendiri.
Teks: Syifa Anggun A.
Editor: Dita Pratiwi
Foto: Cinema 21
Suara Mahasiswa UI 2024
Independen, Lugas dan Berkualitas