Resensi Nobody Knows: Menjadi Keberadaan yang Tak Disadari dalam Hiruk Pikuk Kota Tokyo

Redaksi Suara Mahasiswa · 3 Juli 2024
3 menit

Tentang Film
Judul Film : Nobody Knows (誰も知らない, Dare mo Shiranai)
Sutradara : Kore-eda Hirokazu
Tahun : 2004
Genre : Drama
Rating : 13+
Durasi : 2 jam 21 menit

“Akira, you already know all this, but… Mom will be late sometimes, so please take care of the others too.”

Nobody Knows bercerita tentang Akira, seorang anak lelaki berusia dua belas tahun yang diharuskan menjaga ketiga adiknya kala sang ibu pergi meninggalkan mereka di sebuah apartemen kecil di Tokyo, dengan beberapa puluh ribu yen untuk bertahan hidup. Film ini mengambil referensi langsung dari Kasus Penelantaran Anak Sugamo yang terjadi pada tahun 1988 di Distrik Toshima, Tokyo. Pertama kali ditayangkan di 2004 Cannes Film Festival pada 12 Mei 2004, Nobody Knows berhasil memenangkan kategori Best Actor, membuat Yuya Yagira—yang berusia 14 tahun saat itu—mencetak rekor sebagai aktor Jepang pertama sekaligus termuda yang memenangkan kategori tersebut di Cannes Film Festival.

Dunia dalam Sebuah Apartemen Kecil

Keiko Fukushima, seorang ibu, dan Akira Fukushima (12), anak tertuanya, memperkenalkan diri sebagai penghuni baru apartemen kepada pemilik gedung. Yang mereka tak ingin orang lain tahu, adalah fakta bahwa Akira bukanlah anak satu-satunya; ia adalah kakak dari ketiga adiknya—Kyouko (11), Shigeru dan Yuki (5)—yang diselundupkan masuk sebagai upaya kabur dari apartemen sebelumnya. Mereka adalah saudara satu ibu, namun berbeda-beda ayah.

Bersyarat tidak boleh keluar dari rumah, Kyouko, Shigeru dan Yuki bergantung sepenuhnya pada Akira untuk makan dan berbelanja. Keempatnya tak bersekolah, membuat kehidupan sehari-hari mereka diisi oleh kegiatan sepele untuk menghabiskan waktu dan menunggu Keiko pulang pada malam hari. Apartemen kecil itu jadi dunia mereka.

Selang beberapa lama setelah kepindahan itu, Keiko pergi meninggalkan keempat anaknya untuk hidup bersama pacar barunya dan tidak memberikan tanda untuk kembali. Menolak hubungi kepolisian untuk meminta bantuan karena takut dipisahkan, Akira dan Kyouko sepenuhnya menjadi peran pengganti Keiko sebagai orang tua dari Shigeru dan Yuki yang masih sangat belia. Membawa mereka pada situasi yang mengacak-acak hati—sebuah potret langsung keadaan emosional mereka sebagai anak-anak yang ditelantarkan di tengah ramainya kota Tokyo.

Ketika Anak Tak Punya Privilese untuk Menjadi Anak-Anak

Potongan-potongan cerita film ini memperlihatkan bagaimana Akira dan adik-adiknya dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Mereka diminta untuk bertanggungjawab atas diri sendiri dan menjaga satu sama lain, ketika seharusnya mereka punya figur orang tua sebagai tempat bergantung.

Sebagai saudara berbeda-beda ayah, Akira mendatangi “ayah-ayah” mereka saat kekurangan uang untuk makan. Dalam adegan ini, diimplikasikan bahwa Keiko adalah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK). Keengganan Keiko untuk menyekolahkan anak-anaknya hadir karena hal ini: mereka bukan anak-anak yang terdaftar. Pun Keiko akan kesulitan menjaga anak-anaknya yang masih sangat kecil sendirian jika Akira dan Kyouko bersekolah.

Menjadi anak-anak, tiadanya kegiatan dalam apartemen kecil itu melahirkan dambaan untuk menjadi bebas dan diketahui—karena rasa kesepian yang dirasakan oleh Akira, Kyouko, Shigeru dan Yuki lambat laun kian tak tertahankan.

Akira sebagai anak tertua merasakan keinginan akan pertemanan yang paling terlihat dibanding adik-adiknya mengingat usia dan frekuensinya keluar rumah. Ia akhirnya berteman dengan anak-anak seumurannya, kemudian terjerumus pada pergaulan yang tak sehat; di mana “teman-teman”-nya memanfaatkan dirinya dan rumahnya yang tidak memiliki wali untuk digunakan sebagai tempat bermain, hingga diajak untuk mengutil. Ini membuat rumahnya tak terurus dan adik-adiknya merasa tak nyaman.

Ketika sadar dijelek-jelekkan di belakang, Akira tak lagi bermain dengan anak-anak itu. Saat ia membawa adik-adiknya keluar rumah sebagai gestur permintaan maaf, mereka bertemu dengan seorang siswi SMA yang selalu sendirian di taman dengan seragam sekolah. Bernama Saki, ia adalah korban perundungan yang dilakukan oleh teman sekolahnya. Sebagai sesama orang kesepian, Saki menjadi teman Akira dan adik-adiknya. Ini membuat Akira menyadari ketimpangan ekonomi mereka.

Saat Akira bercerita soal kekurangan uang, Saki berinisiatif untuk membantu Akira dengan memberikan uang hasil kencan berkompensasi (援助交際, enjo kousai), yang kemudian ditolak oleh Akira dengan kasar. Meski akhirnya Akira meminjam uang itu, ini memperlihatkan “ketakutan” Akira akan prostitusi, yang kemungkinan diawali oleh ibunya.

“That money … Can I borrow it? I want to show Yuki … the airplanes.”

Review

Meski memperlihatkan sisi gelap kasus penelantaran anak, film ini adalah film yang indah dan memanjakan mata. Dalam membungkus isu sosial dari sudut pandang anak-anak, Kore-eda Hirokazu berhasil membawa penonton tenggelam dalam emosi dan kesedihan dalam melihat keadaan Akira dan adik-adiknya; melahirkan perasaan helpless—tidak bisa melakukan apa-apa meski ingin.

Keberanian dan keegoisan Akira untuk bertahan hidup bersama adik-adiknya memberikan gambaran atas pahitnya kehidupan mereka sebagai anak-anak yang tidak diinginkan dan tidak diketahui keberadaannya. Merekam usaha untuk hidup yang mengharukan, film ini adalah film yang kompleks meskipun terlihat sederhana dan gamblang.

Nobody Knows memberikan cara pandang yang berbeda dari isu sosial menyangkut keluarga dan anak-anak di Jepang; sebuah pengalaman menonton yang akan membekas.

Teks: Wanee Beladdin W.
Editor: Syifa Anggun A.
Foto: IMDb

Suara Mahasiswa UI 2024
Independen, Lugas dan Berkualitas