Bayangkan, suatu hari kita bangun dan mendapati semua stasiun TV, media cetak, hingga media daring hanya menampilkan berita-berita yang ‘diinginkan’ dan ‘dikendalikan’ oleh segelintir orang di pemerintahan. Apakah ini Indonesia yang kita kenal? Inilah yang akan kita hadapi apabila revisi Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang kontroversial belakangan ini ditetapkan menjadi undang-undang (UU). RUU Penyiaran hanya akan membawa kita mundur ke masa lalu, ketika kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berbicara menjadi suatu barang yang sangat mewah.
RUU Penyiaran ini sejatinya sudah dibahas selama lebih dari satu dekade oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi selalu gagal ditetapkan menjadi UU. Pada Oktober 2023, Komisi Penyiaran DPR kembali mengusulkan draf RUU Penyiaran dengan beberapa revisi yang justru menimbulkan kontroversi. Salah satu pasal kontroversial adalah Pasal 50 B Ayat (2), yang berisi larangan penayangan produk eksklusif hasil jurnalisme investigasi. DPR beralasan bahwa penayangan jurnalisme investigasi dapat memengaruhi opini publik dan mengganggu proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh penegak hukum.
Alasan tersebut tidak masuk akal. Jurnalisme merupakan salah satu pilar demokrasi, dan investigasi dalam jurnalisme adalah suatu keniscayaan. Mengutip teori tindakan komunikatif, informasi yang tidak terdistorsi ‘terbuka dan transparan’ adalah syarat utama agar masyarakat dapat berpartisipasi secara penuh dalam proses demokrasi. Jurnalisme investigasi bukanlah musuh yang harus dibasmi, melainkan teman yang perlu dirangkul untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas di pemerintahan.
Selain itu, pelarangan penayangan jurnalisme investigasi dalam RUU Penyiaran tumpang tindih dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang untuk tindakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Larangan terhadap jurnalisme investigasi tidak hanya membungkam kebebasan pers, tetapi juga memotong jalur informasi bagi masyarakat.
Apabila jalur informasi dipotong, ibarat memaksa publik untuk menutup mata terhadap keadaan di sekitarnya. Tanpa pengawasan yang jelas, kontrol terhadap kekuasaan pun menjadi lemah. Hal itu dikhawatirkan akan membuka jalan bagi “mereka” yang berkuasa untuk menyalahgunakan kekuasaan, seperti tanaman liar yang tumbuh subur tanpa ada yang merawat dan mengendalikan, menjalar ke mana-mana, merusak struktur yang telah ada. Hal itu tentu mengancam prinsip-prinsip demokrasi.
Kita bisa belajar dari sejarah Indonesia sebelum masa reformasi, ketika kebebasan pers dikekang oleh pemerintahan Orde Baru. Media pada masa itu diharuskan untuk tunduk pada kebijakan pemerintah, dan berita-berita yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa harus disensor, bahkan dilarang terbit. Contohnya, beberapa surat kabar seperti Tempo, Editor, dan Detik pernah diberedel karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah. Akibatnya, masyarakat hanya mendapat informasi yang sudah dikurasi oleh pemerintah. Apabila RUU Penyiaran ini disahkan, kita berisiko kembali ke masa kelam tersebut.
Kita juga dapat belajar dari negara-negara lain yang telah mengalami pembatasan kebebasan pers. Misalnya, di Rusia, pengendalian media oleh pemerintah Rusia telah menyebabkan hilangnya kebebasan pers dan meningkatnya otoritarianisme. Negara tersebut menunjukkan bagaimana campur tangan pemerintah terhadap media dapat mengikis demokrasi dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.
Dengan mempertimbangkan semua potensi ancaman ini, jelas bahwa RUU Penyiaran harus ditolak. RUU ini tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga berpotensi mengguncang dasar-dasar demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah di negara kita. Jangan sampai kerja keras selama bertahun-tahun untuk melakukan reformasi menjadi sia-sia hanya karena segelintir pihak yang egois mementingkan tujuan pribadi. Terlebih lagi, jika RUU ini disahkan, sikap pemerintah hanya akan memperburuk keadaan demokrasi yang sudah terguncang belakangan ini di Indonesia, serta berpotensi merusak reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
Teks: Abira Massi Armond, Mahasiswa Ilmu Politik UI
Editor: Choirunnisa Nur F.
Referensi
Adam, A. (2024). Akal-akalan DPR Menjegal Putusan Mahkamah Konstitusi. Diakses pada 20 Agustus 2024 melalui https://koran.tempo.co/
Cooke, M. (2018). Five arguments for deliberative democracy. In Democracy as public deliberation. Routledge.
Johnson, J. (1991). Habermas on strategic and communicative action. Political theory, 19(2), 181-201.
Mazrieva, E. (2022). Aturan baru soal pers di Rusia picu media asing mundur. Diakses pada 20 Agustus 2024 melalui https://www.voaindonesia.com
Tempo.co. (2021). Kronologi pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Detik 27 tahun silam. Diakses pada 20 Agustus 2024 melalui https://nasional.tempo.co/